JAKARTA- Indonesia sebagai bangsa besar yang menjadi bagian dari komunitas dunia harus menghormati dan melaksanakan kesepakatan-kesepakatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) apalagi sudah diretifikasi. Salah satunya adalah ikut serta menjunjung hak azasi manusia sebagai bagian dari peradaban dunia. Hal ini ditegaskan oleh Freddy Numberi kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (29/8)
“Sebagai negara anggota PBB, Indonesia wajib melaksanakan Hukum Hak Azasi Manusia (HAM), karena sudah melakukan ratifikasi dalam bentuk Undang-Undang No. 26 tahun 2000 dan Hukum Humaniter dalam Undang-Undang No. 59 tahun 1958,” ujarnya.
Disamping itu menurut mantan Gubernur Papua ini, ada Konvensi Jenewa tahun 1949 yang telah dimodifikasi dengan 3 Protokol, terutama yang kaitannya dengan Protokol II tahun 1997, mengenai perlindungan bagi masyarakat sipil yang tidak terlibat dalam suatu Konflik Bersenjata Non-internasional.
“Pada tragedi di Nduga, Papua sangat jelas sekali dengan adanya eksodus, pembakaran kampung-kampung, korban 182 jiwa orang sipil tidak berdosa yang meninggal dan lainnya masuk dalam rumpun pelanggaran HAM,” ujarnya.
Ia berharap Presiden Jokowi menertibkan TNI dan Polri dalam penangangan Papua kedepan agar tidak mencoreng nama Indonesia dimata internasional.
“Kita sangat prihatin dan malu karena sebagai bangsa beradab dan sebagai anggota PBB kita tidak melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ada secara konsekuen, sangat ironis,” ujarnya.
Insiden Dieyai
Sementara itu secara terpisah dilaporkan dua warga sipil tewas tertembak dalam insiden di Kantor Bupati Deiyai. Hal ini dilaporkan media ANTARA dan dikutip Jubi.com
Seorang warga bernama Alpius Pigai (20) tewas tertembak dalam insiden penembakan saat ribuan massa mengikuti unjukrasa anti rasisme di halaman Kantor Bupati Deiyai, Rabu (28/8). Seorang warga yang belum dikenali ditemukan tewas di lereng perbukitan di Kampung Yaba, Distrik Tigi, diduga karena kehabisan darah setelah tertembak.
Hal itu disampaikan aktivis hak asasi manusia, Yones Douw saat dihubungi Jubi melalui sambungan telepon di Nabire, Papua, Rabu (28/8) malam.
“Alpius Pigai, seorang warga dari Kampung Digibagata tewas tertembak di halaman Kantor Bupati Deiyai. Dia berusia 20 tahun,” kata Douw.
Douw menyatakan korban tewas lain ditemukan dengan luka tembak di lereng sebuah bukit di Kampung Yaba, sebuah kampung di Distrik Tigi, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Waghete.
“Ia terkena tembakan aparat keamanan di halaman Kantor Bupati Deiyai, lalu berjalan kaki sampai kehabisan darah di Yaba, dan meninggal di sana. Identitasnya belum kami ketahui,” kata Douw.
Selain kedua warga yang tewas tertembak itu, insiden di halaman Kantor Bupati Deiyai juga melukai Martinus Iyai (27) dan Naomi Pigome (27). “Martinus Iyai tertembak di paha kiri. Selain itu, seorang warga bernama Naomi Pigome jatuh ke parit setelah terkena gas air mata, dan terluka,” ujar Douw.
Douw mengkhawatirkan jumlah korban insiden itu lebih banyak , mengingat masih ada sejumlah laporan korban yang belum terverifikasi. Di antara laporan awal itu, terdapat informasi dua anak berusia sekitar 10 tahun yang tertembak. Akan tetapi, keberadaan kedua anak itu, identitas, serta kondisi mereka belum diketahui.
“Kami masih memeriksa sejumlah informasi korban lain,” kata Douw.
“Tindakan aparat dalam menangani unjukrasa itu berlebihan. Jika benar massa merusak Kantor Bupati, bukan berarti mereka harus ditembak. Harus dicatat bahwa massa marah kepada aparat keamanan yang melakukan rasisme terhadap mahasiswa di Surabaya. Di Manokwari, kemarahan massa itu terlampiaskan dengan pembakaran gedung Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat, dan ketika itu polisi tidak menembak massa. Mengapa di Deiyai terjadi penembakan?” Douw mempertanyakan.
Kantor Berita Antara melansir pernyataan Kapolda Papua Irjen Pol Rudolf Rodja yang menyebut dua warga sipil meninggal dalam insiden di Kantor Bupati Deiyai pada Rabu (28/8). Akan tetapi, Rodja tidak menyebutkan identitas kedua warga sipil itu, sehingga keterangannya tidak bisa dibandingkan dengan data yang diperoleh Yones Douw.
“Laporan [yang menyatakan] enam warga sipil tewas dan terluka dalam insiden tersebut tidak benar. Yang pasti tiga orang meninggal dalam insiden tersebut, yakni dua warga sipil dan anggota TNI AD,” kata Irjen Pol Rodja kepada Antara pada Rabu malam.
Kronologi
Video yang diterima Jubi menunjukkan massa yang terdiri dari sekitar 1.000 orang yang membawa busur dan panah tradisional tiba di Kantor Bupati Deiyai pada Rabu pukul 13.00 WP. Begitu tiba di sana, massa melakukan waita, atau berlari dalam formasi melingkar, berkeliling memusar sambil memekik bersahutan di Halaman Kantor Bupati Deiyai. Massa terlihat berlari-lari melingkar di halaman Kantor Bupati Deiyai, namun tidak terlihat melakuan kekerasan.
Akan tetapi, Rodja menyatakan penembakan terjadi karena massa yang baru tiba di Kantor Bupati Deiyai itu berlari-lari kecil, dan sebagian di antara menyerang aparat keamanan. Rodja menyatakan massa menyerang mobil yang sebelumnya ditumpangi anggota TNI dan merampas senjata api yang berada didalam mobil tersebut.
Rodja menyebut massa mengambil 10 senjata api jenis SS 1 beserta magasen berisi amunisi, mereka membunuh anggota TNI bernama Serda Rikson dengan parang dan panah. Menurutnya, setelah berhasil mengambil senjata api, kemudian melakukan penembakan ke aparat keamanan yang sedang melakukan pengamanan unjuk rasa hingga terjadi kontak senjata. Rodja menyatakan lima anggota TNI dan Polri terluka dalam rangkaian peristiwa pada Rabu itu.
Rodja menyatakan seluruh korban terluka telah dievakuasi ke RSUD Enarotali di Kabupaten Paniai. Menurutnya situasi di Waghete pada Rabu malam telah terkendali. (Web Warouw)

