JAKARTA- Program Jaminan Kesehatan Nasional sejak awal sudah bermasalah sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 40/2004. Layanan jaminan sosial kesehatan seharusnya dikelola penuh oleh negara yaitu oleh Kementerian Kesehatan seperti yang pernah dilakukan dalam sistim Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Sistim yang dijalankan oleh BPJS saat ini adalah asuransi yang jelas-jelas mencari keuntungan. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Wahida Baharuddin Upa kepada Bergelora.com, Kamis (5/9).
“Seluruh rakyat kami pastikan menolak Kenaikan Iuran BPJS. Kembalikan Jamkesmas yang pernah dibikin Menteri Kesehatan 2004-2009 Siti Fadilah Supari yang mengratiskan seluruh rakyat di kelas 3 dan tanpa pungutan iuran,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa tidak ada jalan lain bagi pemerintah saat ini selain membebaskan rakyat Indonesia dari BPJS yang membebani rakyat.
“Gak ada jalan keluar bagi rakyat dan Presiden Jokowi selain membebaskan rakyat dari rezim BPJS yang semakin merugikan rakyat, rumah sakit dan pemerintah sendiri,” ujarnya.
Perbandingan dengan Jamkesmas
Ia mengingatkan bahwa sebelum ada BPJS pada tahun 2004 Menkes RI Siti Fadilah Supari membuat program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS). Dengan JAMKESMAS, seluruh rakyat Indonesia berhak berobat gratis di kelas 3 seluruh puskesmas dan rumah sakit seluruh Indonesia.
“Jangan belagak lupa! Saat itu tidak ada kewajiban membayar iuran karena negera yang bayar pakai APBN. Rumah sakit dan puskesmas berkembang. Dokter, perawat dan bidan tenang bekerja. Rakyat dari Aceh sampai Papua, dari desa sampai kota,–semua bisa berobat dimana saja asal di kelas 3 yang ditanggung pemerintah RI,” jelasnya.
Ia mengingatkan, program JAMKESMAS yang pernah dijalankan oleh Pemerintah RI sendiri, anggarannya tidak lebih dari 8,6 T di tahun 2014. Bahkan yang malah terdapat dana sisa yang dikembalikan pada kas Negara.
“Tidak pernah ada defisit, bahkan setiap tahun bersisa dan kembali ke kas negara dan dipakai lagi tahun berikutnya. Kondisi kesehatan rakyat lebih baik dari sekarang,” jelasnya.
Ia membandingkan dengan BPJS Kesehatan yang setiap tahun defisit. Tidak tanggung-tanggung, defisit BPJS Kesehatan sampai akhir agustus 2019 mencapai 14 Triliun, bahkan diprediksi akan mencapai 32,84 Triliun.
“Sebelumnya tahun 2014 BPJS defisit 3,3 triliun, Tahun 2015 defisit 5,7 triliun. Tahun 2016 defisit 9,7 triliun. Tahun 2017 defisit 9,75 triliun. Tahun 2018 defisit 16,5 triliun. Tahun 2019 diprediksi defisit 32,84 trilyun. Kalau terus menerus, ini sengaja defisit dan merampok negara dan rakyat,” tegasnya.
Ia mengingatkan, pemerintah telah berupaya menalangi setiap tahun defisit sejak tahun 2015 sebesar 5 Triliun, pada tahun 2016 sebesar 6,9 T, lalu ditahun 2017 sebesar 3,7 T, dan setahun yang lalu di 2018 sebesar 10,25 T.
“Jumlah yang sangat menakjubkan. Sudah saatnya bagi pemerintah melakukan evaluasi terhadap sistem BPJS dan melakukan audit keuangan secara menyeluruh, mulai dari tingkat layanan faskes hingga pada tindakan rujukan. Setelah itu kembali negara ambil alih dan kembali ke Jamkesmas Siti Fadilah,” ujarnya.
100% Rakyat Menolak
Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, 100 persen masyarakat menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mulai diberlakukan 1 Januari 2020.
“Kami yang mendengarkan aspirasi ya mayoritas atau bahkan 100 persen masyarakat menolak terhadap kenaikan tarif yg akan dilakukan,” kata Tulus Abadi di Jakarta, Selasa (3/9) lalu.
Tulus mengatakan, penolakan tersebut dilandasi oleh beberapa alasan, seperti soal daya beli masyarakat kelas menengah dan klaim layanan kesehatan dari BPJS Kesehatan yang belum optimal.
Tulus menegaskan, kenaikan tarif BPJS Kesehatan untuk menutup defisit bukanlah satu-satunya solusi yang harus ditempuh. Masih banyak solusi lain yang bisa ditempuh seperti pemberian subsidi oleh pemerintah. (Web Warouw)