Pembakaran hutan oleh korporasi tak bisa dihentikan. Sudah saatnya perangkat hukum terhadap pembakaran hutan oleh korporasi ditingkatkan menjadi ekosida. Ahmad Arif seorang kolumnis menuliskannya dan tersebar di media sosial. Bergelora.com memuatnya kembali. (Redaksi)
Oleh: Ahmad Arif
PEMBAKARAN hutan seharusnya dikategorikan sebagai ekosida, atau kejahatan penghancuran ekologi, yang berdampak hilangnya kehidupan orang banyak, bahkan bisa menghilangkan generasi masa depan.
Studi oleh peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia, Amerika yang dipublikasikan di jurnal Environmental Research Letters (2016) menyebutkan, setidaknya 90.000 orang di Indonesia mengalami kematian dini akibat kabut asap kebakaran hutan tahun 2015.
Riset terbaru yang terbit di jurnal Nature Comunication pada 17 September 2019 untuk pertama kalinya, membuktikan jelaga atau karbon hitam dari pembakaran bahan bakar fosil—ataupun dari kebakaran hutan—yang terhirup ibu hamil bisa menembus hingga plasenta.
Semua jaringan plasenta dari ibu yang selama kehamilannya terpapar jelaga memiliki kandungan ribuan partikel karbon hitam per meter kubik. Semakin tinggi paparan polusi yang dialami ibu hamil, kandungan karbon hitam dalam plasenta semakin tinggi.
Bahkan, janin dari perempuan yang mengalami keguguran saat kandungannya masih berusia 12 minggu telah ditemukan adanya partikel karbon. Ini menunjukkan bahwa masuknya partikel karbon ke plasenta bisa terjadi sejak fase awal kehamilan.
Kaitan antara paparan polusi udara dan meningkatnya risiko kelahiran prematur dan bayi lahir dengan berat badan di bawah normal sebenarnya telah banyak dipublikasikan di jurnal ilmiah, misalnya oleh David M Stieb (2012) dan Lamichhane (2015).
Sebelumnya, penjelasannya adalah polusi udara memicu peradangan ibu hamil, yang kemudian memengaruhi janin. Kajian terbaru ini memberikan bukti bahwa partikel pencemar dalam jelaga itu sendiri bisa berkontribusi langsung terhadap kesehatan janin.
Kenapa kabut asap kebakaran hutan sangat berbahaya? Dalam kabut asap kebakaran terdapat berbagai senyawa berbahaya, sejumlah gas, selain partikel-partikel berukuran mikro dan nano yang bisa terhirup ke paru-paru.
Beberapa senyawa tersebut di antaranya hidrokarbon, akrolein, formaldehid, dan benzena. Selain itu terdapat CO2, NO, CO, cianida, sulfur dioksida, radikal bebas, ozone (O3), dan PM10 serta PM 2,5. Berbagai senyawa ini bersifat karsinogenik.
Dengan berbagai kandungan berbahaya kabut asap ini, pemerintah tak bisa lagi menutup mata atas dampak buruknya terhadap kesehatan masyarakat di sekitar lokasi kebakaran. Apalagi, kebakaran hutan terus berulang, dan tahun ini termasuk yang terparah setelah tahun 1997 dan 2015.
Kajian Miriam E Marlier dalam jurnal GeoHealth (Juli 2019) memperingatkan, asap kebakaran hutan dapat menyebabkan 36.000 kematian prematur per tahun di seluruh Indonesia, Singapura, dan Malaysia selama beberapa dekade mendatang, jika tidak ada upaya radikal untuk mengatasinya.
Namun, sekali lagi pemerintah lalai, dan tidak serius mengatasi akar dari persoalan kebakaran ini.
Buktinya, 10 perusahaan pembakar hutan dan lahan pada periode 2012-2015 yg telah divonis bersalah dan dijatuhi kewajiban membayar denda Rp18,3 triliun, Hingga kini, denda itu belum dipenuhi.
Bukti lainnya, pemerintah belum mau menjalankan putusan pengadilan yang memenangkan masyarakat Kalteng soal kebakaran hutan yang berulang.
Menggunakan mekanisme gugatan warga negara, sejumlah warga beberapa tahun lalu telah menggugat Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah.
Dalam gugatannya, masyarakat menuntut tergugat atas perbuatan melawan hukum yang merugikan warga negara. Pengadilan Negeri Palangka Raya melalui Putusan Nomor 118/Pdt.G.LH/2016/PN.Plk. mengabulkan sebagian tuntutan mereka. Pemerintah selaku tergugat terus melakukan upaya hukum sampai dengan kasasi di Mahkamah Agung. Bertindak sebagai benteng terakhir keadilan, MA menolak permohonan kasasi pemerintah.
Padahal, pokok gugatan warga ini menuntut agar pemerintah menanggulangi kebakaran hutan dan melindungi mereka dari dampaknya, termasuk dampak bagi kesehatan.
Putusan pengadilan telah memerintahkan Presiden menerbitkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden tentang pembentukan tim gabungan pemerintah yang berfungsi meninjau ulang dan merevisi izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan; menegakkan hukum lingkungan perdata, pidana, maupun administrasi terhadap perusahaan-perusahaan yang lahannya terbakar; membuat peta jalan pencegahan dini; penanggulangan; dan pemulihan korban kebakaran hutan.
Selain itu, Pesiden, Menteri Lingkungan, Menteri Agraria, dan Menteri Kesehatan diperintahkan segera mendirikan rumah sakit di Kalimantan Tengah yang khusus menangani penyakit paru dan penyakit lain akibat asap yang dapat diakses gratis oleh korban. Mereka juga diperintahkan segera membuat tempat evakuasi ruang bebas pencemaran guna mengantisipasi potensi kebakaran hutan yang mengakibatkan pencemaran udara.
Dalam hal pertanggungjawaban kepada publik, Menteri Lingkungan dan Menteri Agraria diperintahkan pengadilan untuk mempublikasikan lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya; mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan dan perkebunan di Kalimantan Tengah; dan mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan.
Alih-alih mematuhi tuntutan rakyat, pengajuan PK ini menjadi preseden buruk utk mengatasi akar masalah dan dampak kebakaran hutan. Jika Presiden saja lebih memilih PK dibandingkan mematuhi atau menjalankan keputusan MA, artinya kan seperti memberi angin kepada para pembakar hutan.
Kini hutan-hutan kita kembali terbakar. Ratusan ribu jiwa, dan sebagian anak-anak yang belum dilahirkan terancam kehidupannya.

