Jumat, 12 Desember 2025

SEGERAAA….! Bubarkan ‘Desa-desa Hantu’, Selamatkan Dana Desa Milik Rakyat

Para pekerja termasuk Kepala Desa (No 5 dari Kiri), Camat Mentarang (No 7 dari kiri) dan disamping kirinya, sekretaris Desa Long Liku. (Ist)

MALINAU- Presiden perlu serius menindak lanjuti warning dari Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang desa-desa hantu yang menelan dana APBN dalam jumlah ratusan milyar bahkan mungkin triliunan. Karena temuan ‘desa-desa hantu’ di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara dan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, kemungkinan hanya puncak gunung es dari korupsi dana desa yang belum terungkap.

Evaluasi dan ketegasan dibutuhkan untuk menutup kebocoran negara, tidak cukup hanya dengan menepis atau bersilat lidah menutupi keberadaan desa-desa hantu. Apalagi saat ini periode pembuktian, apakah pejabat dari pusat sampai aparat di desa-desa sudah sungguh-sungguh bekerja untuk Nawacita ataukah untuk kepentingan pribadi.

Untuk itu, Kemendagri perlu segera bertindak melakukan regrouping  desa-desa yang telah ada untuk menjadi  desa baru sebagaimana diatur dalam pasal 10 Undang-Undang No 6 tahun 2014.  Sedangkan desa yang tidak memenuhi syarat harus dibubarkan dan dijadikan Dusun, Rukun Warga (RW) atau Rukun Tetangga (RT) dan digabungkan dengan desa  terdekat. Setidaknya hal ini akan menyelamatkan dana APBN dari penyelewengan.

Karena ‘dana desa’ sesungguhnya bertujuan untuk mempercepat menghidupkan desa-desa yang nyata dengan membangun sentral-sentral ekonomi berbasis desa. Agar kemakmuran bisa dirasakan oleh rakyat sampai di desa-desa.

Untuk itu laporan masyarakat harus masuk sampai ke Meja Presiden, Mendagri dan Menteri Keuangan agar serius ditindak lanjuti. Karena fenomena desa hantu adalah salah satu cermin kegagalan program dana desa yang harus segera diantisipasi.

Data Desa Long Masahan (93 jiwa), Desa Long Pua (60 jiwa), Desa Paliran (97 Jiwa) dan Desa Bena (80 jiwa) di Kecamatan Pujungan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. (Ist)

Pembekuan Dana Desa

Laporan masyarakat tentang keberadaan ‘desa-desa hantu’ di Kalimantan Utara sudah sampai ke meja Presiden, lewat Kepala Staf Presiden (KSP), Jenderal (Purn) Moeldoko. Kementerian keuangan (Kemenkeu) memutuskan utnuk menghentikan sementara penyaluran dana desa ke desa fiktif atau desa hantu karena tersebut dinilai tak tertib administrasi.

Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Prima mengatakan akan membekukan penyaluran dana desa tersebut hingga menunggu adanya klarifikasi atau laporan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Penyaluran dana desa akan dibekukan sementara lewat sistem transfer rekening keuangan negara (RKN) ke transfer rekening daerah (RKD).

“Kami akan menfreeze (bekukan) dulu sampai ada klarifikasi yang jelas. Jangan sampai ada kelepasan. Jalurnya begini, dari rekening kas negara ke rekening daerah, dan rekening desa. Kami bisanya ke rekening desa dan itu kami freeze,” kata Astera di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Selasa (19/11) ujarnya.

Astera menambahkan, bagi desa yang tidak memiliki kelengkapan administrasi yang benar seperti adanya perangkat desa dan masyarakat akan dipertimbangkan untuk tidak menerima dana desa pada tahun berikutnya.

“Masalah kerugian negara, masalah di belakangnya lagi, karena di sistemnya 1 kabupaten misal jatahnya 100 yang tidak disalurkan misalnya 20 karena tidak memenuhi syarat, maka tahun berikutnya tidak kita salurkan. Jadi ini mekanisme yang bisa kita harapkan juga memperbaiki tata kelolanya,” papar dia.

Saat ini sendiri, Kemenkeu mencatat realisasi pencairan anggaran dana desa Rp 52 triliun per Oktober 2019. Angka tersebut sudah mencapai 74% dari target yang sebesar Rp 70 triliun. Sisa penyaluran dana desa tersebut masuk ke dalam tahap ketiga.

“Semua ada peruntukannya dan jika jumlah dikurangi impact-nya ke desa bermasalah, untuk tahap ke 3 ke desa-desa bermasalah tunggu hasil identifikasi Kemendagri,” katanya.

Syarat Terbentuknya Desa

Tim Bergelora.com dan SH.Net mengingatkan, salah satu syarat untuk membentuk sebuah desa menurut pasal 8 ayat 3 b Undang-undang desa adalah jumlah penduduk. Selanjutnya  Pasal 8 ayat 7 dari Undang-undang tersebut telah mengatur bahwa pembentukan sebuah desa di Propinsi Kalimantan Utara minimal harus memiliki penduduk sebanyak   1.500 jiwa atau 300 Kepala Keluarga.

Dana desa sendiri diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang pelaksanaannya diutamakan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya/bahan baku lokal, dan diupayakan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat desa setempat. 

Dari beberapa kajian, dana desa ini telah  membawa perubahan yang  signifikan didalam meningkatkan taraf hidup/kesejahteraan masyarakat pedesaan, walaupun alokasi setiap desa dan pemanfaatannya  masih perlu disempurnakan terutama pengawasan bagi para aparat desa sebagai penerima, yang sering menyalah gunakan dana desa tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya dan berujung pidana.

Alokasi Dana Desa untuk seluruh desa di Indonesia, pada tahun 2015 sebesar Rp30.520.000.000 atau rata-rata  Rp280.000.000 setiap desa. Demikian juga pada tahun 2016 sebesar Rp65.505.410.000 atau rata-rata Rp628.490.000, per desa dan meningkat menjadi Rp97.801.627.000 atau rata-rata Rp897.262.633 setiap desa pada tahun 2017.

Selanjutnya alokasi pada tahun 2018 naik menjadi Rp Rp118.919.224.000 atau rata-rata Rp1.091.002.055 setiap desa, serta pada anggaran berjalan (2019) telah  mencapai Rp148.000.000.000 atau Rp1.358.466.743 setiap desa. 

Fakta ini menunjukkan  bahwa alokasi dana untuk membangun desa sejak  Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri adalah yang paling besar dan langsung dikelola oleh aparat desa. 

Walaupun dana desa merupakan hak Pemerintah desa, namun dalam pelaksanaannya penyaluran dana desa tetap melibatkan peran dan fungsi Pemerintah Kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.07/2017 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.07/2017, tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah (Desa). 

Sayangnya para aparat desa pengelola dana ini sebagian besar belum memiliki kemampuan dan pengalaman yang memadai dalam mengelola dana yang cukup besar untuk membangun desanya, bahkan tidak sedikit pula aparat desa yang memang bermental korupsi  menyalah gunakan dana desa yang mereka kelola.  Kondisi inilah yang merupakan salah satu titik lemah didalam pengelolaan dana desa yang  banyak ditemukan  di lapangan. 

Hal penting lainnya yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan perilaku kepala-kepala daerah yang dengan berbagai cara termasuk membuat laporan palsu tentang jumlah desa dan penduduk desa yang ada, untuk  mendapatkan uang lebih banyak dari dana desa ini. (TIM)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru