Pengaduan Gus Muwafiq oleh Front Pembela Islam (FPI) ke polisi atas ceramahnya yang dinilai menghina keluarga Nabi Muhammad, menarik dilihat dalam konteks Kadarkum. Ada kesadaran menuntut yang sangat tinggi pada FPI sebagai mekanisme penyelesaian hukum di tengah adanya peluang pasal penghinaan agama melalui peradilan, dan bukan dialog. Hasan Aoni dari Omah Dongeng Marwah di Kudus menuliskannya kepada pembaca Bergelora.com (Redaksi)
(Oleh: Hasan Aoni)
DI TAHUN pertama Ismail Saleh menjabat Menteri Kehakiman (1984-1993), ia meluncurkan program “Keluarga Sadar Hukum” atau Kadarkum. Program ini cukup berhasil membangun kesadaran masyarakat akan prosedur dan dampak perbuatan hukum di tengah maraknya “aksi main hakim sendiri”.
Untuk mengukur tingkat pengetahuan hukum, pemerintah sampai perlu mengadakan lomba cerdas-cermat melalui skema Kelompencapir. Kelompencapir adalah kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa bentukan pemerintah Orde Baru. Saat hanya ada satu stasiun televisi, yaitu TVRI, lomba Kelompencapir selalu ditayangkan dan menjadi salah satu tontonan yang menarik.
Menghitung kesadaran hukum memang tidak cukup diukur dari daya hapal pasal. Tetapi, sebagai kampanye kesadaran hukum, program ini berhasil mendominasi tema pembicarakan di masyarakat. Jadi, secara komunikasi program ini sukses.
Kini setelah hampir 40 tahun Kadarkum, masyarakat makin banyak yang tahu hukum. Ukuran tahu adalah makin tingginya angka penggunaan lembaga peradilan dalam menyelesaikan persoalan hukum.
Hanya ketika mekanisme penyelesaian hukum melalui kelembagaan adat di masyarakat tidak difungsikan, trend penyelesaian hukum di lembaga formal makin bertambah. Makin banyak perkara hukum yang ditangani, sampai ke soal paling remeh-temeh kadar hukumnya, makin sulit aparat hukum menyelesaikan masalah hukum yang muncul.
Kadarkum dalam konteks ini sukses membangun kesadaran menuntut dan atau menggugat, bukan kesadaran menyelesaikan perkara dan potensi perkara agar tidak jadi persoalan hukum. Kadarkum sebuah jawaban sekaligus pertanyaan hukum.
Pengaduan Gus Muwafiq oleh Front Pembela Islam (FPI) ke polisi atas ceramahnya yang dinilai menghina keluarga Nabi Muhammad, menarik dilihat dalam konteks Kadarkum. Ada kesadaran menuntut yang sangat tinggi pada FPI sebagai mekanisme penyelesaian hukum di tengah adanya peluang pasal penghinaan agama melalui peradilan, dan bukan dialog.
Bahwa itu dimungkinkan dalam sebuah negara berlandaskan hukum, tentu benar. Tapi, sesama umat beragama saling menuntut sementara upaya dialog dengan ulama muda NU itu belum dilakukan, menunjukkan tingginya tingkat friksi FPI terhadap ulama-ulama NU.
Makin unik, karena tradisi penyelesaian masalah pada setiap perbedaan pandangan di NU dan Muhammadiyah dilakukan melalui mekanisme dialog dan peran tokoh, bukan hukum. Apakah ini “catcalling” atau siulan FPI agar tokoh mereka HRS dipulangkan ke Indonesia mengisi kekosongan ketokohan itu? Entah lah.
Uniknya, pelaporan tetap diteruskan meski Gus Muwafiq sebagai ulama yang sangat memupuk rasa cinta kepada Rasul, sudah menyatakan permohonan maaf secara terbuka. Sikap yang tidak dilakukan oleh Ustadz Abdul Shomad kepada umat agama lain yang tersinggung atas ceramahnya.
Kasus pengaduan Gus Muwafiq adalah satu contoh. Ada banyak kasus lain bahkan yang sepele, karena terbukanya peluang penanganan hukum di lembaga peradilan, menempuh jalur hukum seolah itu satu-satunya cara penyelesaian masalah.
Maka, setelah sekian lama ber-Kadarkum, perlu kiranya menawarkan program Kadardil atau “Keluarga Sadar Keadilan”. Keadilan sebagai nilai yang melandasi proses penyelesaian dan tujuan, lebih dibutuhkan masyarakat di level apapun.
Dengan basis keadilan, prosedur penyelesaian tidak melulu ditempuh melalui lembaga peradilan formal. Ia bisa melalui mekanisme kebudayaan dan kelembagaan masyarakat sepanjang dilalui secara bijak dan memerhatikan ruang berperan bagi semua pihak yang bersengketa.