Tahun-tahun telah lewat bangsa ini ditinggal seorang ulama besar sekaligus bapak bangsa Presiden RI ke IV, Gus Dur (KH Abdurrachman Wahid) yang sangat dicintai rakyatnya. Maria Pakpahan, salah seorang yang dekat dengan Gus Dur dari Edinburgh, United Kingdom mengenang dan menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Maria Pakpahan
MENGENANG 10 tahun Gus Dur mangkat banyak hal dikemukakan di berbagai media mulai talk show hingga berbagai kesaksian Gus Durian soal nilai kemanusiaan yang sungguh almarhum junjung tinggi dan praktekan. Hingga Presiden Jokowipun ikutan bicara soal kualitas hubungan Gus Dur dan Romo Mangunwijaya, dua sosok yang saya kenal dekat. Saya sedikit jelaskan konteks saya mengenal kedua sosok ini bukan karena lini keluarga, lebih karena gagasan, shared values, shared ideas and hope.
Gus Dur pernah jadi advisory board di INFID saat saya bekerja di umbrella forum LSM ini tahun 1995-1997. Sebelumnya, saat Forum Demokrasi aktif, juga lewat lembaga Interfide lewat Aristides Katoppo, Marianne Katoppo, Ibu Gedong Oka, Pak Ton, sosok Gus Dur sudah saya kenal.
Jaman di INFID jadi lebih intensif. Karena berbagai pertemuan, proyek buku, berbagai isu anti kekerasan hingga demokrasi, Papua hingga dukun santet, Soeharto hingga anti nuklir, bisa dibilang hampir tiap minggu saya mampir ke Jalan Kramat Raya, kantor PBNU, ya kantor Gus Dur atau terkadang harus ikutan jalan, terbang ke Solo, Madiun, Surabaya dan lain lain.

Adapun dengan almarhum Romo Mangun, saya kenal sejak SMA di St. Ursula. Lebih kenal lagi saat saya kuliah di Yogya dan pernah jadi volunteer, mengajar anak-anak jalanan Malioboro tahun 1988-1991. Kawasan Code di Yogyakarta bukan daerah asing bagi saya. Bahkan pertemuan organisasi FDPY (Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta) pernah beberapa kali rapat di Code. Di rumah Mbak Lis tepatnya.
Beberapa tahun kemudian Romo Mangun bersedia jadi advisory board Solidamor (Solidaritas Penyelesaian Damai Timor Timur) dimana saya berfungsi sebagai sekretaris organisasi ini. Jadi sosok Romo Mangun bukan sosok asing bagi perjalanan hidup saya.
Gus Dur sendiri setelah reformasi 1998, membentuk PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) tahun 1999 bersama para ulama. Saya mulai diajak-ajak setelah saya kembali dari UK, bahkan diundang menghadiri Muktamar Luar Biasa PKB di Yogyakarta.
Ternyata benaran, tahun 2005 hasil Muktamar Semarang, saya masuk ke dalam kepengurusan Dewan Tanfidz sebagai salah satu ketua dewan. Hal ini membuat saya harus memilih antara ILO (International Labour Organisation) tempat saya bekerja saat itu dengan PKB. Saya termasuk orang yang tidak percaya dengan rangkap jabatan, karena sehari itu kan hanya 24 jam. Jika merangkap pekerjaan atau jabatan, apalagi yang jelas digaji, bagaimana mungkin bisa jam kerja yang jelas di ILO misalnya jam 9 hingga jam 5 petang dilakoni? Bagaimana bisa di PKB juga full time. Belum lagi soal politisnya jabatan di partai politik dan bagaimana ILO sebagai lembaga PBB harus impartial. Tidak boleh terlihat in favour terhadap partai politik tertentu.
Bukan keputusan mudah karena saya tahu di PKB tidak ada gaji sama sekali sementara saat itu saya tulang punggung keluarga kecil yang baru saja saya bentuk. Bukan juga keputusan yang sulit karena saya juga paham, ini peluang untuk bisa langsung praxis. Belum lagi bekerja langsung bersama Gus Dur. Gus Dur meminta kesediaan saya membantu, bergabung di PKB. Visi Gus Dur akan PKB adalah partai terbuka, bukan partai berbasis agama. Gus Dur anti sektarianisme. Nama partai PKB jelas menunjukkan arah partai yang digagasnya.
Keputusan menerima “pinangan” Gus Dur bergabung dengan PKB otomatis membuat saya semakin sering bertemu, berjumpa, berkegiatan, berdiskusi, keluyuran, blusukan bersama, diajak Gus Dur. Sebelumnya saya di PKB, terkadang saya yang mengajak Gus Dur. Misalnya saya pernah ajak Gus Dur ke penjara Cipinang, membezuk Xanana Gusmao pemimpin Timor-timur yang ditahan di Cipinang.
Setelah saya di PKB, saya pernah ajak, malam-malam jam 10-an, orang-orang Papua yang saat itu pas datang ke Jakarta, membezuk Gus Dur di RS Cipto Mangun Kusumo. Mereka harus kembali dini harinya terbang ke Papua, tetapi mendengar Gus Dur sakit, ingin benar membezuk beliau. Sayapun tahu, Gus Dur paham peliknya issue Papua dan beliau disayangi rakyat Papua, tentunya kesempatan bertemu, baik untuk kedua belah pihak, manusiawi sekali. Plus, saya ingat Gus Dur suka lek-lek an, ngobrol hingga larut. Saya juga pernah ajak Gus Dur ikutan membantu advocacy issue pekerja rumah tanga (PRT). Belum lagi saya ajak ke acara di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hingga ke STF Ledalero di Flores, NTT.
Dalam perjalanan-perjalanan ini, banyak hal yang ‘diobrolin’ mulai politik, budaya, music hingga banyolan. Ada kalanya saya bawakan buku audio yang saya dapatkan saat saya kembali dari kunjungan luar negri. Gus Dur kerap bercerita bagaimana saat di Mesir, beliau doyan nonton film. Saya juga suka film. Kloplah.
Hanya saja karena pengliatan beliau yang semakin minim, menonton film tidak lagi jadi opsi untuk Gus Dur. Saya ingat dalam salah satu obrolan tercetus film yang baru saya tonton, “Empire” (2005) drama seri dimana alur ceritanya kurang lebih mengenai sosok Tyrannus seorang centarion Romawi yang bersumpah sebelum Ceasar mangkat akan menjaga, melindungi Octavian, penerus Ceasar. Mereka harus exiled untuk menyelamatkan diri dari ancaman Mark Antony dan lainnya. Gus Dur semangat mendengarkan percakapan, intrik dan update cerita dari Romawi ini.
Sesekali saya mengingatkan bagaimana sejarah bisa menjadi guru. Bagaimana sosok manusia bisa dinilai dari tindakan-perilakunya. Integritas diuji saat krisis menerpa. Kamipun “bergossip” soal bagaimana orang-orang yang dikenal Gus Dur bersikap, saat beliau sebagai budayawan, penulis, ketua PBNU, saat sebagai ulama, jadi Presiden, saat tidak lagi jadi Presiden. Bagaimana saat TNI memasang panser mengarah ke istana. Saat Gus Dur dengan santai melenggang keluar dari istana, tidak ribut soal kursi kepresidenan, tidak heboh soal “melempemnya” orang-orang yang dipercayainya saat krisis tersebut, yang dimulai dengan issue “Bruneigate” dan ” Buloggate” yang tidak terbukti keterlibatan Gus Dur. Gus Dur jelas korban politik hoax. Rakyat Indonesia juga menjadi korban karena tidak pernah ada proses investigasi serius soal pemakzulan Gus Dur. Biang keroknya tidak pernah diusut, apalagi ditindak. Ironisnya PKB, partai yang dibesarkan Gus Dur saat inipun acuh tak acuh dalam memperjuangkan rehabilitasi nama Gus Dur dalam konteks perkara pemakzulan beliau dari jabatan kepresidenan.
Belum lagi, perlu dipertanyakan bagaimana membaca agenda, tantangan zaman. Misalnya, sebagai contoh, salah satu aras partai yang Gus Dur inginkan karena masalah vital adalah issue lingkungan hidup. Salah satu kegiatan publik diakhir-akhir jabatan Gus Dur sebagai ketua Dewan Syuro PKB adalah menanam sejuta pohon, sebagai simbol PKB berorientasi lingkungan hidup, partai hijau.
Tahun demi tahun berlalu, climate change menjadi agenda dunia, dijunjung anak sekolah seperti Greta Thunbergh hingga scientist mancanegara. Entah bagaimana PKB saat ini memaknai agenda lingkungan hidup. Belum terdengar kebijakan-kebijakannya dalam agenda yang pernah Gus Dur canangkan ini.
Pelengseran Gus Dur tanpa proses pengadilan jelas menunjukkan absennya hukum di Indonesia saat itu. Para politisi di DPR, MPR ikut terlibat dalam tindakan jumawa, bebal dan banal unjuk kuasa. 10 tahun setelah wafatpun, tidak ada upaya rehabilitasi soal ini.
Republik ini memang dikenal suka melupakan, mencuekkan bahkan menutupi sejarahnya, memanipulasi. Misalnya, lihat saja sosok Tan Malaka, sosok Amir Syarifudin yang juga perlu direhabilitasi reputasi dan kerjanya. Demikian juga sosok Gus Dur, ini hutang sejarah.
Saya tahu Gus Dur akan senang hati bila anak-anak bangsa tidak memanipulasi sejarah. Saat menulis ini, saya baru saja menonton film tentang Alexander The Great, salah satu pemimpin terbesar from “ancient time” seorang commander termuda, diusia 20 tahunan mengalahkan raja Persia Darius III yang memiliki pasukan infantri, pasukan kuda sangat jauh lebih banyak dari pasukan Alexander. Jika Gus Dur masih hidup, tentu saya akan juga share cerita film ini ke beliau. Sekarang, di alam sana mungkin Gus Dur sudah jumpa sosok Alexander of Macedonia ini yang juga dikenal sosok pemuda yang santun dan loyal.
Dalam pidatonya untuk membakar semangat dan mengingatkan anak buahnya sebelum maju berperang, Alexander berkata,–“…Remember, upon the conduct of each, depends the fate of all.” Suatu pesan sederhana, mengena. Masing-masing punya peran, perilaku kudu kompak, jika ingin berhasil, sukses.
Mengapa Gus Dur peduli dengan kaum minoritas? Selain jelas masalah keadilan, kemanusian, ada juga alasan lain. Gus Dur mengerti andil setiap orang, setiap kelompok. Gus Dur memang cerdas. Almarhum paham benar makna, “Remember, upon the conduct of each,depends the fate of all.”