Ini wawancara Imajiner dengan Bung Karno Kamis, 4 Juni 2020, tentang anatomi empiris Mei 1998 Indonesia vs Mei 2020 AS. Wawancara ini dilakukan oleh Christianto WibisonoKetua Pendiri PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia), penulis buku ‘Kencan Dinasti Menteng’ dimuat untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Christianto Wibisono
SAYA sedang menyaksikan live situasi demo di AS yang semakin anarkis ketika Bung Karno mendadak muncul di balcony apartment 23 A2 Kempinski Private Residences. Bung Karno (BK) langsung duduk di sofa sambil menunjuk layar TV digital saya.
Bung Karno (BK): Tayangan itu ditonton oleh miliaran manusia dan jutaan voters AS yang akan memilih Presiden AS 4 November atau persis 5 bulan lagi. Kita ikut berdoa supaya AS sembuh dari luka rasisme yang meledak Senin, 25 Mei, di Minnesota memicu gelombang massa BLM (Black Lives Matter) sudah hari ke-10.
Situasi AS mirip Pilpres 1968 ketika petahana Pres Johnson sudah mundur hanya satu termin, tapi capres Robert Kennedy ditembak mati 5 Juni 1968 hanya 2 bulan setelah ditembak matinya Martin Luther King, April. Konvensi nasional Partai Demokrat di Chicago menjadi kerusuhan dan Garda National AS diterjunkan menembak mati banyak korban. Maka mantan Wapres Richard Nixon menang mutlak atas Capres Hubert Humphrey (Wapresnya Johnson).
Saya pernah bertemu Johnson waktu saya akrab dengan Kennedy, baik karena secara politis JFK menjadi mediator penyerahan Irian Barat (Papua) secara damai dari Belanda lewat transisis PBB ke Indonesia 1 Mei 1963. Sayang bahwa Jack ditembak mati 22 November 1963. Sampai detik ini masih misterius siapa otak pembunuh Kennedy.
Christianto Wibisono (CW): Walah ini sejarah nostalgia masa lalu meski ada kencan Kennedy dan bapak dengan Marilyn Monroe tapi tidak relevan dengan generasi milenial yang cemas dengan situasi AS berdampak global. Apa usulan konkret Bapak mengatasi kemelut Floyd ditengah pandemi Covid global?
BK: Saya usul konkret Presiden Jokowi memimpin delegasi Trio Indonesian Presidents Club, Juru damai konflik SARA AS bersama Megawati dan SBY, sebagai living former presidents. Bisa juga dilakukan secara zoom. Di mana trio berkumpul di Istana Merdeka sedang Presiden Trump dan Ketua DPR Nancy Pelosi bisa saja dari Gedung Putih dan Capitol.
Resepnya gampang, minta kedua pemimpin kembali menyerahkan putusan kepada kedaulatan voters 3 November 2020. Kan sudah terbukti rekonsiliasi nasional dua pemimpin Jokowi dan Prabowo, bisa menciptakan koalisi Kabinet Indonesia Maju, padahal sudah sempat nyaris “Perang saudara” di depan kantor Bawaslu Sarinah.
CW: Indonesia sedang “boke” atas dasar apa kita terlalu over confidence, arrogant bahwa kita punya moral power untuk menasihati superpower AS mengatasi gejolak “SARA model Mei 1998”, yang di Indonesia justru melengserkan Presiden ke-2. Di mana skenarionya gagal total waktu Panglima Armada Pasifik, Laksamana Dennis Blair membuat statemen bahwa AS tidak menghendaki suksesi presiden model Super Mei (jiplakan Supersemar Kopkamtib) jadi Supermei Komwasmat (Komando Operasi Pemulihan Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional), yang sudah diteken Presiden Soeharto 18 Mei, setelah Ketua MPR Harmoko minta Soeharto mundur. Tapi kita bukan AS, dan Donald Trump bukan Soeharto.
BK: Saya berdiplomasi dengan 4 presiden AS, Truman, Eisenhower, Kennedy, Johnson dilanjutkan oleh Soeharto yang didukung oleh 7 presiden Johnson, Nixon, Ford, Carter, Reagan, George Bush Sr dan Bill Clinton. Yang perlu kita pelajari adalah Indonesia ini kurang canggih dalam negosiasi diolomatik leveraging geopolitik. Misalnya, kita menerima beban utang warisan Hindia Belanda 1,2 milar dolar AS pada perjanjian KMB 27 Des 1949. Hanya karena AS berjanji akan menggelontorkan dana bantuan ekonomi. Ternyata Cuma kredit ekspor proyek Semen Gresik dan Pupuk Sriwijaya. Lalu saya sempat pakai jurus beli alutsista modern kapal selam dan jet MIG21, akibatnya RI utang 2,4 miliar dolar AS dari Uni Soviet, meski tidak dipakai perang karena sudah didamaikan oleh Kennedy.
Nah, waktu saya dilengserkan di era Presiden Johnson, Soeharto hanya menerima bantuan PL480 untuk pabrik terigu Bogasari. AS dapat durian runtuh Freeport 1967 dan AS menikmati Indonesia jadi anti komunis tanpa bantuan militer satu dolar, nyaris gratisan. Sedang di Vietnam selama 10 tahun 1965-1975, AS harus keluarkan miliaran dolar AS dan 50.000 nyawa serdadu AS gugur di Vietnam.
CW: Wah, lha ini sejarah sudah lewat tidak bisa disesali. Kita harus move on pak tidak hanya nostalgia seumur hidup.
BK: OK sekarang ini dplomasi kita selalu sarat ideologi atau semantik teori geopolitik, tapi kelas SD Cuma hafalin posisi strategis silang benua dan silang samudra. So What, posisi geopolitik strategis itu bisa “diuangkan” secara konkret dalam market valuer yang setara atau sekedar “gengsi muluk”. Kini Presiden Jokowi curhat sudah capek memayungi raja Arab Saudi, tapi investasi Arab bukan mengalir konkret ke Indonesia tapi k negara lain.
CW: Sebetulnya waktu Gus Dur ke AS sebelum teror 911, Indonesia bisa memposisikan diri jadi juru damai Israel Palestina dan bisa “me-leverge” dengan bonus perdamaian Timteng, arus investasi mengalir dan Indonesia menikmati sebagai juru damai. Konkretnya waktu itu Gus Dur bilang sama Clinton, “Bill kalau Indonesia jadi juru damai, kan layak dapat bonus perdamaian.”
BK: Ya, tapi kita kan selalu gengsi bilang politik bebas aktif tidak memihak. Lho yang betul itu ya policik cerdas, tajam. Smart and sharp power. Jadi kita ini harus beralih dari hard power menuju smart power yang sharp.
Ketika BIN mendampingi Presiden ke-5 Megawati sebagai Presiden RI yang diberi prioritas pertama setelah Presiden Prancis Jacques Chirac berkunjung ke AS pasca teror WTC. Saat itu sebetulnya seluruh dunia berkepentingan menutup buku Perang Timur Tengah (Israel-Palestina). Dan jika Indonesia memainkan peran itu maka “deserve” to get “market values aids” sebagai “imbalan peran sosial” juru damai. Istilah konkretnya untuk memerangi dan menyelesaikan Taliban di Afghanistan, AS bayar uang lewat 5 miliar dolar AS.Untuk rntuhkan Tembok Berlin Helmut Kohl kasih pesangon 50 miliar dolar AS agar Gorbachev bisa PHK pasukan Soviet di Eropa Timur. There is no free lunch in the world. Nah, kita ini kepalang tanggung sok gengsi pegang social value, tanpa memperoleh imbangan market value.
CW: Lha sekarang lebih susah lagi, Uncle Sam malah boke, mau gugat Covid minta ganti rugi dari RRT. Malah tanpa diplomasi malu-malu, Trump sudah bikin statemen mau menagih budget penempatan pasukan AS di Jepang dan Korea dengan imbalan 9 miliar dolar AS untuk Jepang dan 1,7 miliar dolar AS untuk Korea Selatan. Bagaimana kita mau “menagih” market value posisi strategik geopolitik kita.
BK: Nah ini soal SARA ini kalau Indonesia bisa berdamai dengan masa lalu, sejarah kelam perang saudara kita, dan beri teladan konkret rekonsiliasi tuntas Jokowi-Prabowo, maka itu bisa jadi New Normal, Normal Baru dibidang geopolitik, lintas SARA, beyond SARA. Indonesia dan Pancasila jadi panutan, teladan untuk menghentikan SARA model Mei 1998 di Jakarta dan Mei 2020 di Minnesota. Dari pada ikut manasi demo di AS, mending kita jadi juru damai dengan market value yang setara dengan anggaran militer yang bisa dihemat bila dunia bebas dari predator virus SARA yang lebih gawat dari Covid-19.
CW: Lho, konkretnya apa ya usul bapak?
BK: Kalian Homo Sapiens sedang berkencan dengan karma, kalau semua bergenetik Kabil, Brutus, Ken Arok Machiavelli 4 in 1, ya pasti The Golden Rule of Karma akan menimpa siapapun Anda, superpower apapun kapan pun. Trump berdamai dengan Pelosi seperti Prabowo dengan Jokowi itu saja.Tapi stop pakai SARA, predator, penjarah model Mei 1998 dan Mei2020
CW: Selamat ulang tahun ke-119 Pak, semoga Pancasila yang Bapak paparkan ke dunia 75 tahun lalu tetap relevan dalam mendamaikan dan menyelamatkan bukan hanya Indonesia tapi juga dunia ditengah ancaman virus Covid. Homo sapiens bisa berdamai dengan sesamanya.