JAKARTA- Center for the Studi of Religion and Culture (CSRC) menggelar seminar dengan tema “Membangun Papua yang Maju, Damai dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI” pada Jumat (19/6). Seminar yang dilakukan secara online ini diikuti lebih dari 100 orang dan dibuka oleh Direktur CSRC Idris. Dalam pembukaannya idris menjelaskan bahwa dalam 10 tahun terakhir banyak perkembangan yang terjadi di Papua termasuk infrastruktur. Seminar diharapkan dapat memberikan pemahaman, pengetahuan, dan pengembangan bagi Papua.
“10 tahun terkahir mengalami pertumbuhan infrakstruktur yang luar biasa. Pengembangan sektor ekonomi dan SDM. Diperiode Jokowi jilid kedua juga difokuskan dalam hal ini juga bagaimana membangun SDM unggul. Semoga seminar ini dapat meberikan pengetahuan, bekal pengetahuan bagi semuanya dan pengembangan bagi Papua,” jelasnya.
Yuliana Langowuyo yang merupakan Direktur SKPKC Fransiskan Papua sekaligus menjadi narasumber dalam seminar ini menjelaskan bahwa dalam permasalahan yang ada di Papua perlu melibatkan semua elemen masyarakat.
“Dalam konteks terkini perlu hadir dan dilibatkan berbagai elemen di Papua termasuk kepala adat dan tokoh di luar papua yg tinggal di Papua,” jelasnya.
Selain itu, Yuliana menjelaskan konflik di Papua disebabkan beberapa faktor seperti peralihan budaya, komposisi masyarakat, hingga unsur-unsur persamaan yang jarang dianggap.
“Terdapat beberapa faktor yang menjadi sebab konflik ini dari mulai peralihan budaya, komposisi masyatakat, sampai kepada unsur-unsur persamaan yang jarang dianggap justri yang sering diangkat adalah perbadaan yang terjadi di Papua,” tegas Yuliana.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, menurut Yuliana, suasana sosial politik terkait sejarah yang seringkali menjadi akar masalah, pelanggaran HAM, kebijakan keamanan adalah akar masalah politik lain. Seharusnya semua pihak mulai menghayati nilai-nilai hidup, persamaan, dan persaudaraan.
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi (BPIP) Antonius Benny Susetyo yang menejelaskan bahwa pendekatan untuk mencapai Papua damai harus diganti menjadi pendekatan dialog.
“Papua damai harus menggunakan dialog. Melibatkan dialog semua tokoh yang ada, dan dialog dari bawah,” jelasnya
Pendiri Setara institute itu juga menjelaskan bahwa dialog tersebut dimulai dengan problem yang ada di papua baik dari kesehatan, ekonomi, infrastruktur, penddidikan hingga sejarah. Dialog ini perlu kesabaran dan ketekunan demi mengembalikan martabat manusia.
“Mewujudkan Papua tanah damai perlu kesabaran dan ketekunan dan budaya untuk memulihkan kembali martabat manusia,” jelas Benny.
Benny menambahkan bahwa masyarakat Papua mempunyai keterbukaan terhadap masalahnya. melakukan dialog dengan pendekatan kultur sangat diperlukan.
Kedepannya Benny berharap harus mampu berempati demi perdamaian. Memperjuangankan rakyat Papua harus memperhatialan keadilan dan memutuskan permasalahan disana.
Pembelokan Arah Rekonsilasi
Sementara itu, Dekan Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ali Munhanif menekankan bahwa terjadi pembelokan arah rekonsiliasi di Papua.
“Terjadi pembelokan arah rekonsiliasi Papua yang awalnya didorong berjalan stabil tetapi ternyata tidak demikian. Otonomi daerah gagal juga diimplementasikan karena banyaknya penyimpangan,”jelasnya.
Ali Munhanif menjelaskan yang sebab konflik di Papua adalah karena tidak diupayakan politik secara damai. Otonomi yang misinya ada kedamaian dan kesejahteraan menjadi arena persaingan politik. Konflik di Papua harus diperhatikan.
“Pendekatan politik menjadi dominan di Papua. Selain itu yang seharusnya Otonomi mempunyai misi perdamaian dan kesejahteraan malah menjadi arena persaingan politik. Perlindungan hak-hak masyarakat harus diperhatikan,” tutupnya. (Web Warouw)