Sebuah tulisan berjudul ‘Data Surveillance dan Kebijakan Publik’ oleh admin Facebook HEAL Community yang diikuti oleh ribuan tenaga medis Indonesia menegaskan bahwa Orang Tanpa Gejala (OTG) tidak akan menularkan virus dalam dirinya ke orang lain. Tulisan ini mempertanyakan kebijakan Gubernur DKI untuk memberlakukan kembali PSBB di Jakarta. Tulisan yang dikutip dari
https://www.facebook.com/115190726973270/posts/126299399195736/ semoga bermanfaat bagi pembaca bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: HEAL Community
TELAH didengungkan informasi bahwa pada 14 September mendatang DKI Jakarta akan kembali memberlakukan PSBB yang mewajibkan masyarakat untuk tinggal di rumah dan berkegiatan dari rumah. Hal ini terjadi oleh karena ambang batas rumah sakit untuk ruang isolasi dan ICU sudah terlampaui dan akan mencapai kapasitas maksimal per 17 September 2020.
Dalam data surveillance selama 6 bulan terakhir, kasus Covid-19 di Jakarta merupakan kasus OTG yang sebesar 50% dan 35% adalah kasus ringan-sedang. Sementara, 15% kasus lainnya tidak dikategorikan secara faktual. Bila data surveillance ini menjadi dasar pemberlakuan kembali PSBB dan juga menyebabkan penuhnya Rumah Sakit, seharusnya ada hal-hal yang patut menjadi pertanyaan.
Sebagaimana telah disebutkan di dalam beberapa posting H.E.A.L, khususnya dalam posting berjudul “Benarkah Data Surveillance Covid Saat Ini” dan “PCR, OTG dan Ketakutan Masyarakat”, kita bisa mengetahui dan memahami bagaimana aktivitas surveillance covid-19 berlangsung. Angka positif yang tercatat pada data surveillance yang kita saksikan sejak awal dan bertambah hingga 203.342 kasus positif terkonfirmasi, telah diakui bahwa sebagian besarnya adalah kasus OTG.
OTG telah diperbarui istilahnya menjadi presimtomatik dan asimtomatik, yang keduanya sama-sama tidak menunjukkan gejala. Presimtomatik bisa menularkan karena virus berinkubasi dalam tubuh inang namun belum sampai menimbulkan infeksi dan menunjukkan gejala sakit. Sementara, asimtomatik tidak akan menunjukkan gejala oleh karena tubuh inang memiliki imunitas dan antibodi yang mumpuni untuk menetralisir dan mematikan virus sehingga tidak lagi bisa bereplikasi.
Data DKI yang menunjukkan dominasi kasus OTG seharusnya tidak menjadi alasan pemberlakuan PSBB kembali karena virus yang ada pada OTG belum atau tidak bisa menginfeksi orang lain, sampai ia menimbulkan gejala pada kasus presimtomatik. Begitupula dengan kasus gejala ringan sedang yang sebenarnya dapat diatasi dengan isolasi mandiri selama 14 hari. Virus akan dikenali IgM tubuh pada hari kelima dan ternetralisir pada hari ke 7.
Setelah itu, tubuh akan memiliki antibodi IgG paling tinggi pada hari ke 14 sampai 21 dan berangsur menurun. Namun demikian, antibodi akan kembali bereaksi bila terjadi paparan virus yang sama, yang akan segera ternetralisir. Tubuh orang-orang yang berada dalam status OTG atau sebagai penderita infeksi ringan-sedang sesungguhnya bisa membaik sendiri, dengan syarat istirahat maksimal pada masa kritis (7 hari pertama) dan mengisolasi diri selama 14 hari.
Oleh karenanya, pertanyaan yang muncul adalah apakah PSBB memang benar-benar diperlukan, dan bagaimanakah kondisi yang sebenarnya dari pasien-pasien yang memenuhi rumah sakit-rumah sakit di Jakarta? Tidakkah seharusnya, bila melihat data surveillance yang ada, pasien kasus ringan-sedang cukup melakukan isolasi mandiri dan tidak dirawat di Rumah Sakit?
PSBB yang diberlakukan tanpa mempertimbangkan fakta-fakta yang ada akan berimbas negatif pada kehidupan masyarakat. Kesulitan ekonomi yang sudah menghantui selama beberapa bulan terakhir akan memaksa masyarakat bertindak di luar akal sehat yang akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Promosi Kesehatan tentang menjaga jarak dan memakai masker saat tidak bisa menjaga jarak, serta selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan, seharusnya menjadi pilihan pencegahan daripada memaksa masyarakat kembali menjadi “tahanan rumah”.