Drama pilkada yang rawan konflik karena kerumunan bisa jadi jauh berkurang karena setiap tim sukses harus disiplin tidak boleh ada kerumunan dalam Pilkada 2020. Hal ini tentu positif bagi Pilkada yang sehat. Pengamat sosial Fathurrohmand dari Blitar menulis bagi pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Fathurrohman
BABAK demi babak, tepatnya tahapan pemilihan kepala daerah, yang sesuai rencana serentak digelar 9 Desember 2020 sudah memasuki pengundian nomor urut pasangan calon, setelah ditetapkan oleh KPU lolos syarat administrasi.
Baliho dan banner, spanduk ‘kampanye’ paslon, bakal calon perseorangan, bakal pasangan calon yang bertebaran di pinggir jalan sudah diturunkan.
Sebentar lagi berganti dengan wajah pasangan calon kepala daerah lengkap dengan nomor urutnya segera terpasang. Itu komunikasi politik bakal calon yang marak berebut rekomendasi dengan modal populer, sebelum ditetapkan KPU. Itu kisah permukaan alias ombak politik nan penuh buih semata.
Tahapan berikutnya adalah seluruh alat peraga kampanye dibuat oleh KPU, tim paslon menyerahkan bahan dan materi kampanye yang dibutuhkan.
Pilkada 270 kepala daerah baik bupati/walikota dan gubernur beserta wakilnya di masa pandemi memiliki puncak momen dramatik yang berbeda dengan situasi normal. Tak ada pengerahan massa (idealnya) selama proses tahapan menuju pemungutan suara di TPS.
Kekhawatiran proses pilkada menjadi sumber klaster penyebaran Covid-19 oleh elemen masyarakat sipil, ormas keagamaan juga himbauan penundaan waktu pemilihan dijawab dengan argumen, sudah dilakukan penundaan dan politik butuh kepastian.
Seruan, pilihan argumentasi kemanusiaan tidak bergaung di meja dan ruang politik parlemen. Adu argumentasi lewat media massa, tekanan publik agar pilkada tak diselenggarakan dulu sementara waktu dijawab dengan argumentasi, pemerintah ingin memastikan proses politik elektoral terus berjalan.
Manut logika argumentasi ini, adaptasi kebiasaan baru, disiplin protokol kesehatan dan kebutuhan pengadaan alat pelindung diri (APD) bagi penyelenggara pemilihan jadi konsekuensi logis. Siapa yang wajib menjalankan itu semua? Seluruh pihak
Di sisi lain, suara keras agar golput alias tak memilih menjadi cara ‘protes’ sebagian elemen publik untuk jalankan sikap memutus mata rantai penyebaran penyakit menular baru ini.
Menuju 9 Desember 2020, Mendagri Tito Karnavian berpesan agar calon kepala daerah mampu mengkampanyekan soal pentingnya kemampuan daerah menangani Covid-19, kalau tidak salah ingat seluruh paslon diberikan keleluasaan mengangkat isu pandemi dengan bingkai memastikan kebijakan/janji program untuk menjamin kesehatan rakyat.
Nah, tahapan nomor urut paslon sudah bergulir. Tantangan bagi paslon untuk menyapa publik dan memberikan janji politik dalam berkomunikasi agar populer, diingat publik dan bisa terpilih di kotak suara.
Pilkada sebenarnya bukan hanya soal paslon semata, meski mereka lah aktor utama yang berebut kuasai panggung. Ada penyelenggara pemilihan, pengawas, parpol dan pemimpin politik dan keterlibatan publik sebagai faktor penentu kemenangan.
Di masa pandemi ini, unsur pelibatan massa riil dalam kerumunan, rapat akbar, panggung kampanye diminimalkan dan protokol kesehatan di upayakan benar-benar dijalankan. Ada kesempatan untuk menghindarkan psikologi massa yang rawan konflik terbuka.
Menuju kotak suara, 9 Desember 2020, memilih adalah hal sederhana saja, selebihnya adalah drama (pandemi) politik.
Drama pilkada yang rawan konflik karena kerumunan bisa jadi jauh berkurang kala para pihak disiplin. Simulasi yang dibutuhkan dan terus perlu disosialisasikan kepada publik jelas pentingnya disiplin jalankan protokol kesehatan. Ada banyak pilihan saluran berkomunikasi, sayangnya platform aplikasi yang populer tak dimiliki bangsa sendiri.
Kedaulatan digital, satu hal yang jadi pekerjaan rumah dan bisa jadi isu menarik dikembangkan, jadi opini publik.
Selamat berkompetisi dan mengenalkan program janji dan nomor urut bagi seluruh paslon, biar publik bersikap, mencoblos di bilik suara, mana suka.
#ceritapinggirjalan
#isupublik
#pilkada2020