Tatanan dunia baru ditentukan oleh dominant variable kemampuan penanggulangan Corona dan dampaknya pada manusia. Selain tentu saja penggunaan tehnologi nuklir yang akan mengurangi polusi dari energi migas dan batubara. Pakar energi, Dr. Kurtubi menuliskannya kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Dr Kurtubi
Trump tidak begitu percaya dengan pandemi virus Corona meski rakyat Amerika Serikat yang tertular sudah lebih dari 7 juta dan yang meninggal sudah lebih 200 ribu orang.
Sama dengan fenomena climate change meski kebakaran hutan di California terjadi hampir setiap tahun dan bahkan kebakaran hutan di California tahun ini merupakan kebakaran hutan yang terbesar dalam sejarah Amerika, tetap saja Trump tidak percaya. Bahkan meskipun masalah climate change ini sudah bertahun telah menjadi issue dunia dan kemudian menjadi Kesepakatan Global lewat Paris Agreement untuk mengurangi kenaikan suhu bumi dengan mengurangi Emisi Karbon.
Kita bangsa Indonesia sebagai warga dunia telah bersepakat dengan Paris Agreement dan meratifikasinya menjadi UU No.6/2016. Sebagai Anggota Komisi VII DPR RI 2014 – 2019 yg antara lain membidangi masalah Energi dan Lingkungan Hidup. Kami ikut “membidani” dan menyetujui lahirnya UU tersebut.
Faktanya, bahwa adanya climate change itu merupakan hasil study science/ ilmu pengetahuan selama bertahun-tahun oleh para ahli dari seluruh dunia. Namun perlu dikritisi, implementasi dari UU No. 6/2016 segera disempurnakan dan diimplementasikan dengan Ketentuan-ketentuan dibawah UU terkait dengan produksi/pengelolaan sumber-sumber Energi Primer yang menghasilkan emisi CO2 maupun pengelolaan/pembangunan infrastrukrur produksi Energi Final (Kilang BBM. Pembangkit Listrik).
Misalnya, Kebijakan Energi Nasional yang masih harus disempurnakan dengan tidak lagi menempatkan Energi Nuklir sebagai opsi terakhir mengingat justru PLTN menghasilkan listrik yang sangat bersih bebas CO2, NOx, SOx dan debu. Teknologi PLTN Gen.IV type MSR ( Molten Sal Reactor) dan type SMR (Small Modular Reactor) juga sudah sangat aman dan lebih efisien, masa pembangunannya lebih singkat sehingga biayanya menjadi lebih murah.
Dalam soal virus Corona, meski Trump yang merupakan Presiden dari sebuah negara adidaya, ternyata tertular virus Corona juga. Corona tidak mengenal bangsa, kedudukan, dan agama. Tertularnya Trump oleh virus corona menjadi kontroversial dan menarik perhatian dunia selain karena Trump merupakan Presiden dari negara dengan ekonomi terbesar didunia dan dia cenderung “meremehkan” virus ini
Faktanya kemudian berita tertularnya Trump ini serta merta direspon pasar uang dan pasar komoditas global. Nilai mata uang, termasuk rupiah terhadap US$, harga komoditas strategis global seperti harga minyak mentah kembali tergoncang setelah badai lockdown yang juga dampak dari si Corona.
Secara pasti, di dalam jangka panjang Variable Pengurangan Emisi Karbon akan sangat menentukan berhasil tidaknya dunia mengurangi kenaikan suhu bumi sehingga anak cucu dan cicit bisa hidup dengan udara yg lebih bersih dan bisa memperpanjang life expectancy mereka.
Demikian juga dengan dampak pandemi virus Corona dalam jangka pendek dan menengah.
Upaya Penelitian dan Inovasi vaksin yang lulus uji klinis berikut vaksinisasi dan ditemukannya obat yang ces pleng bagi yang sudah tertular sangatlah penting, termasuk dengan protokol kesehatan yang ketat. Ini merupakan dominant variable dalam penentuan bentuk arsitektur dan landskap ekonomi dunia baru kedepan pasca pandemi.