Oleh: Riswan Lapagu SH*)
SETIAP tanggal 10 Desember, diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia atau HAM.
Secara konseptual HAM adalah sebuah konsep hukum dan norma yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. HAM berlaku kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut dan juga dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak Asasi Manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta.
Dalam terminologi modern, Hak Asasi Manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat), serta hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak atas perumahan).
Berkenaan dengan konseptual dan terminologi HAM tersebut serta merefleksi kondisi HAM di Indonesia pada hari HAM 10 Desember 2020 ini, berikut dua catatan pendek yang saya mau share.
Catatan Pertama, peristiwa tewas enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI).
Tiga hari jelang peringatan hari HAM atau tepatnya pada Senin (7/12/2020) dini hari, terjadi penembakan yang menewaskan enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 Jawa Barat.
Peristiwa ini melahirkan beragam pendapat pro dan kontra. Disini saya mau mengutip tiga versi :
–Versi Polri. Pada pokoknya Polri mengatakan, anggotanya ditembak Laskar Khusus FPI yang mengawal MRS (Muhammad Rizieq Syihab). Lihat video Konferensi Pers Polda Metro Jaya (https://youtu.be/udELapt3lSY).
— Adapun menurut versi FPI dalam Keterangan Pers dan Konferensi Pers pada intinya menjelaskan bahwa rombongan Imam Besar Habib Rizieq Syihab (IB HRS) lah yang lebih dulu dihadangan sekelompok orang yang berpakaian sipil, sehingga mereka menduga akan dirampok orang tak dikenal di jalan tol.
Baca KETERANGAN PERS FPI TENTANG KRONOLOGIS PENEMBAKAN ROMBONGAN IB-HRS
(PDF) Tanggal 7 Desember 2020 dan lihat video Konferensi Pers FPI (https://youtu.be/kerApRGxh9k).
–Adanya kronologi yang berbeda antara versi Polri dan versi FPI, menarik dicermati versi dari Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Saya merangkum ada 3-poin dari IPW yang menarik yaitu :
1. IPW mendesak Presiden RI Joko Widodo mencopot Kapolri Idham Aziz dan kabaintekam Polri Komjen Ryco Amelza (law-justice.co – 7/12/2020).
2. IPW minta Presiden RI Joko Widodo harus membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 (Bisnis.com – 7/12/2020), dan
3. IPW juga mencatat “ada 7 kejanggalan dalam tewasnya 6 laskar FPI” seperti terlansir pada Refly Harun Chanel (https://youtu.be/ZFtdTd_WL1Y).
Saat ini Komnas HAM tengah membentuk tim investigasi untuk mengungkap kebenaran terkait insiden penembakan yang terjadi terhadap enam orang laskar FPI. Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta Polri menyingkap terjadinya penembakan terhadap anggota FPI. Kepolisian juga diminta transparan.
“Jika polisi yang terlibat dalam insiden itu melanggar protokol tentang penggunaan kekuatan dan senjata api, mereka harus diungkap secara terbuka dan diadili sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia,” kata Usman dalam keterangannya, Senin (7/12/2020) sebagaimana dilansir Bisnis.com.
Catatan Kedua mengenai ‘Pasal Karet’ UU ITE.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik- populer disebut UU ITE, saat ini menjadi ganjalan terbesar bagi demokrasi di Indonesia. Pasal 27-30 dari UU ITE banyak disoroti publik karena di nilai sebagai ‘pasal karet’ yang telah menjerat banyak korban. Utamanya mereka yang kritis terhadap pemerintah.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Unsur pidana pada pasal tersebut mengacu ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang selama ini telah diatur dalam KUHP.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini paling sering digugat ke Mahkamah oleh para pemohon. Namun gugatan terkait pasal itu selalu kandas. Dalam salah satu kesimpulan penolakan itu, MK menilai norma Pasal 27 ayat 3 adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.
Jaringan relawan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara/Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia (18/08/2020) bahwa sejak disahkan pada 2008 hingga 2019, jumlah kasus pemidanaan terkait undang-undang ini mencapai 285 kasus. Angka ini meningkat pada 2020 selama Covid-19 mewabah di Indonesia, yaitu 110 tersangka.
Pasal pencemaran nama baik dan pasal ujaran kebencian dalam UU ITE paling banyak digunakan sebagai dasar pelaporan. Menurut Damar Juniarto Direktur Eksekutif SAFEnet, kecil kemungkinan untuk bebas dari jerat undang-undang tersebut.
Data SAFEnet menyebutkan 38 persen pelapor UU ITE adalah pejabat publik, termasuk di dalamnya kepala daerah, kepala instansi, menteri dan aparat keamanan. Disusul pelapor awam 29 persen, kalangan profesi 27 persen dan kalangan pengusaha 5 persen. Sementara terlapor mayoritas adalah warga awam, jurnalis/media, aktivis, dosen/guru, hingga artis, budayawan dan penulis.
*)Direktur RISLAW institute