Kamis, 3 Juli 2025

WOW BANGET KAKA….! Papua Barat Kompak Tolak Mentah-Mentah Otsus dan Pemekaran

Aksi rakyat Papua menolak Otsus. (Ist)

MANOKWARI- Masyarakat adat Papua Barat telah menolak perpanjangan otonomi khusus (otsus) dan rencana pemekaran provinsi baru yang diumumkan oleh pemerintah pusat Indonesia.

 
Penolakan datang dari komunitas akar rumput di seluruh Papua Barat, dan pelajar Papua yang belajar di Indonesia dan luar negeri.
 
Menanggapi pemekaran provinsi baru, mahasiswa Mimika misalnya, berdemonstrasi di depan Kementerian Dalam Negeri, Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, pekan ini. Sekitar 30 mahasiswa yang saat ini menempuh pendidikan di Jakarta, mengikuti aksi unjuk rasa pada Senin (22/2), dilansir dari Asia Pacific Report.
 
Konon, seluruh pelajar Kabupaten Mimika kompak menolak pemekaran Provinsi Papua Tengah, mengembalikan pemekaran provinsi ke MRP dan DPRP Provinsi Papua, serta mengembalikan lembaga adat (LEMASA & LEMASKO) kepada masyarakat suku dan adat Kamoro di Kabupaten Mimika.
 
DPRP adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan MRP adalah singkatan dari Majelis Rakyat Papua. LEMASA merupakan singkatan dari Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme. LEMASKO adalah singkatan dari Lemabaga Masyarakat Suku Komoro.
 
Merespons ini, Jony Jangkup, Koordinator Umum Mahasiswa Kabupaten Mimika mengatakan, sebelumnya mereka telah melakukan tindakan di Timika. Namun, hal tersebut tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, sehingga mereka nekat mendatangi kantor Kementerian Dalam Negeri.
 
‘Dua suku besar’
“Di Mimika, ada dua suku besar, yaitu Amungme dan Kamoro. Namun, di kawasan ini ada PT Freeport yang membatasi pergerakan masyarakat adat Papua.”
 
“Selain itu, sering terjadi tindakan represif di sana. Kementerian Dalam Negeri harus berkomunikasi dengan bupati untuk mendorong musyawarah terbuka kedua lembaga tersebut. Tujuannya, guna mengatur wilayah adat dan tanahnya,” papar Jangkup kepada Asia Pacific Report.
 
“Kami meminta agar pemekaran Provinsi Papua Tengah tidak dilakukan secara sepihak antara pemerintah pusat dan bupati di wilayah adat Mapago. Kami mendukung penuh keputusan MRP dan Pemprov Papua,” imbuhnya.
 
Pernyataan itu juga menyebutkan, jika pemerintah pusat di Jakarta tidak menindaklanjuti tuntutannya, mahasiswa akan mengerahkan massa di daerah dan menempati pusat-pusat kantor pemerintahan di Mimika dan kantor pusat PT Freeport yang berbasis di Mimika.
 
“Kami menolak pencanangan pemekaran Provinsi Papua Tengah yang dilakukan oleh Bupati dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), LMA (lembaga masyarakat adat binaan Jakarta), dan pemangku kepentingan secara sepihak pada Kamis, 4 Februari 2021 di Mimika,” ujarnya.
 
Puluhan mahasiswa asal Papua melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Selasa, 1 Desember 2020. (Foto: Detik.com)
 
Menciptakan Provinsi Baru
 
Kepada Bergelora.com dilaporkan, sebelumnya pemerintah pusat ingin membuat tiga provinsi baru di Papua, sehingga total menjadi lima. Rencana perluasan ini sebenarnya sudah lama diketahui publik.
 
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD membenarkan rencana tersebut usai bertemu dengan Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Bambang Soesatyo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan perwakilan TNI-Polri di Gedung MPR/DPR, Jakarta, pada 11 September 2020.
 
Mahfud mengatakan, pemekaran ini merupakan perintah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
 
“Penegasan Pasal 76 tentang Pemekaran Papua yang rencananya dibagi lima, ditambah tiga dari yang sekarang,” ujarnya.
 
Pasal 76 UU Otonomi Khusus menyatakan, ”Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi dilakukan dengan persetujuan MRP dan DPRP, dengan memperhatikan persatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi dan pembangunan di masa depan.”
 
Namun, Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib menjelaskan, ketentuan Pasal 76 tidak akan terpenuhi karena rencana pemekaran provinsi di Papua sudah ditolak. Presiden Joko “Jokowi” Widodo, imbuhnya, belum pernah bertemu mereka meski sudah beberapa kali berkunjung ke Papua, catat Asia Pacific Report.
 
Pembangunan ‘terlalu top-down’
Ia mengatakan, pembangunan di Papua terlalu ‘top-down‘. Dalam banyak hal, Presiden memang tidak mendengar aspirasi masyarakat adat, termasuk soal pemekaran ini. Dalam hal ini, pemerintah gagal membangun Papua karena aktivitasnya tidak dikendalikan oleh masyarakat atau orang asli Papua.
 
“Model pembangunan ‘top-down‘ inilah yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan di antara masyarakat Papua, dan membuat persepsi bahwa Indonesia mencengkeram Papua semakin kuat,” ujarnya.
 
Dia juga mengkritik orang Papua karena pro-pemekaran. Dia menyebut mereka “kelompok yang secara tidak langsung melakukan genosida atau memberantas orang asli Papua di Tanah Papua.”
 
Sementara itu, Suara Papua mengabarkan, Aliansi Mahasiswa Dataran Tinggi Papua Indonesia (AMPTPI) telah mengeluarkan mosi tidak percaya kepada ketua DPR Papua. Mereka menuding lembaga itu tidak pro-Papua.
 
Sekretaris Jenderal AMPTPI Ambrosius Mulait berpendapat, pihaknya memberikan mosi tidak percaya kepada Ketua DPRP Papua, yang mengabaikan dan bertentangan dengan aspirasi masyarakat Papua.
 
Kebijakan diskriminatif
“Orang Papua memiliki ‘Memoria Passionist’ karena kebijakan Jakarta yang diskriminatif dan rasis terhadap orang Papua. Kalau legislatif tidak benar, kesan inilah yang akan diterima masyarakat,” ungkapnya, dikutip Asia Pacific Report.
 
“Untung saja Ketua DPRP Papua itu mundur dengan hormat, agar tidak berdampak buruk bagi nasib rakyat Papua di masa depan.”
 
Ia mengatakan, Pemprov dan Ketua DPRP sebagai cabang pemerintah pusat tidak boleh mengabaikan aspirasi masyarakat Papua.
 
Seharusnya pemerintah daerah menjadi jembatan dalam menindaklanjuti aspirasi masyarakat Papua, terkait penolakan perpanjangan Otonomi Khusus dan pemekaran Daerah Otonomi Baru di Papua, ujarnya.
 
Mulait menuturkan, upaya penyelesaian masalah di Papua secara holistik namun tidak sinkron dengan ketentuan perundang-undangan, akan memberikan kesan buruk bagi masyarakat Papua.
 
“DPRP harus menampung aspirasi rakyat, bukan aspirasi kelompok tertentu yang terkesan merugikan rakyat. Kehancuran fraksi anggota DPRP Papua ini merupakan wujud ketidakmampuan lembaga legislatif untuk menjalankan fungsi pengawasan dan kontrol atas kebijakan pemerintah,” ucap Mulait lagi.
 
Ia mengatakan, dua kubu yang berada di internal Legislatif Papua memberikan kesan yang buruk tentang sejarah DPR Papua.
 
Ketua DPRP Papua bisa merangkum semua fraksi karena sejak dilantik sebagai anggota DPRP Papua belum ada gebrakan baru. Dampak dua kubu di DPRP Papua berdampak buruk bagi politik masyarakat Papua, catat Asia Pacific Report. (Sam Awom)
 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru