Beberapa negara merepson tindakan ini dengan kritikan, seperti yang dilakukan Presiden AS Joe Biden yang menganggap bahwa Rusia tak sepantasnya di undang dalam KTT G20 tersebut, sedangkan China menganggap bahwa Rusia merupakan anggota penting dalam KTT G20 tersebut sehingga kehadirannya dianggap merupakan kewajiban. Lain lagi dengan Perdana Menteri Ingris David Cameron yang bahkan menyerukan untuk memboikot KTT yang akan dilaksanakan di Bali ini.
Menanggapi hal ini, Dewi Fortuna Anwar mantan penasihat wakil presiden RI mengatakan bahwa perpecahan antara anggota G20 soal pandangan untuk mengundang Rusia dan membahas krisis Ukraina merupakan tantangan bagi Negara Indonesia.
“Tekanan yang dihadapi Indonesia adalah untuk memastikan bahwa proses G20 tidak tergelincir karena krisis Ukraina. Indonesia telah mengambil sikap akan mengundang seluruh anggota G20 termasuk Rusia. Untuk itu Indonesia harus menjembatani semua perbedaan tersebut dan memastikan G20 dapat terselamatkan,” ucap Dewi seperti dikutip Hops.ID dari laman South China Morning Post pada hari Minggu, 3 April 2022.
Tetapi, ada yang perlu diketahui dibalik huru-hara soal diundangnya Rusia ke KTT G20, dan juga sikap netral yang diambil Indonesia atas konflik Rusia dan Ukraina. Diketahui bahwa sejak lama Rusia dan Indonesia memiliki hubungan ekonomi dan pertahanan yang kuat, meski volume perdagangan kedua negara ini relatif rendah.
Menurut informasi, Indonesia dan Rusia, di tahun 2021 lalu pernah melakukan perdagangan bilateral senilai 2,74 miliar dollar AS. Nilai ini mengungguli perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan China. Selain itu, jauh sebelum pandemi dan konflik Rusia Ukraina terjadi, turis Rusia termasuk dalam pembelanja terbesar di tempat-tempat wisata di Indonesia.
Tak hanya itu, Rusia diketahui juga memiliki megaproyek petrokomia di Tuban, Jawa Timur. Proyek senilai 13,5 miliar dollar AS ini merupakan hasil kerja sama antara perusahaan energi milik negara yaitu Pertamina dengan perusahaan energi Rosneft milik Rusia yang berkantor pusat di Moskow.
Dikutip dari laman kementrian luar negeri, perjanjian kerja sama ini ditandatangi pada 28 Oktober 2019 lalu dan merupakan proyek joint venture antara Pertamina dengan Rosneft, dimana 55 persen saham akan dimiliki oleh pertamina dan 45 persen untuk Rosneft. Proyek bersama dalam pembangunan dan pengembangan kilang minyak di Tuban ini diperkirakan akan memiliki kapastias produksi harian sebanyak 300.000 barel.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, saat itu, pada tahun 2019 di pertemuan delegasi Pertamina KBRI di Moskow, duta besar RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus, Wahid Supriyadi mengatakan bahwa kerja sama ini merupakan bukti dari eratnya hubungan Indonesia dan Rusia, dimana hubungan diplomatik ini akan memasuki peringatan ke-70 tahun pada 2020 lalu.