Oleh: Joko Purwanto*
MENGEJUTKAN bahwa Dubes Ukraina di Jakarta menulis Surat Terbuka sehubungan dengan konflik di Ukraina dengan menagih balas budi dari Pemerintah dan bangsa Indonesia atas sejarah dukungan Ukraina terhadap perjuangan Kemerdekaan RI pada tahun 1946-1948. Agak diluar etika kepatutan diplomatik seorang Dubes dalam mencari dukungan politik memakai cara di luar saluran-saluran diplomatik resmi. Terlebih yang diminta adalah dukungan politik dari Pemerintah RI
Baiklah, agar tidak tersesat ke logika jungkir balik kita harus mundur jauh ke belakang ke tahun 1946. Pada 21 Januari 1946, Dmitriy Manuilsky, Kepala Delegasi dari Republik Sosialis Soviet (RSS) Ukraina membantu perjuangan RI dengan mengusulkan untuk sengketa Indonesia -Belanda dibahas di Dewan Keamanan Peserikatab Bangsa-Bangsa (DK PBB). Manuilsky tampil ke depan karena delegasi Belanda menentang pembahasan jika tidak ada negara yang mengusulkannya. Sebagai catatan RSS Ukraina adalah Republik Sosialis Soviet Ukraina. Di PBB Uni Soviet menempatkan 3 delegasi negara. Delegasi dari Uni Soviet sendiri dan delegasi RSS Ukraina dan RSS Byelorussia.

Pada tanggal 7-13 masalah konflik RI-Belanda dibahas di DK PBB. Dukungan perjuangan oleh Manuilsky dkk dan RSS Ukraina terhadap perjuangan kemerdekaan RI terus berlanjut, 1947,1948 hingga dalam sidang ECOSOC mengusulkan pengakuan kedaulatan terhadap RI.
Jasa tuan Dimitriy Mauilsky dan rakyat RSS Ukraina ini sangat dihormati oleh bangsa Indonesia, sehingga pada 4 Pebruari 1946 digelar pawai “Terima Kasih Ukraina, Terima Kasih Manuilsky” dibeberapa kota di Indonesia.

Sampai disini fakta sejarah yang disampaikan oleh Dubes Ukraina benar. Namun yang tidak disampaikan adalah pada tahun 1946 RSS Ukraina belum genap 2 tahun keluar dari perjuangan keras dan kejam melawan pembantaian dan perang pemusnahan oleh Fasisme Nazi Jerman. Jutaan warga Ukraina tewas dalam Great Patriotic War 1941-1945 melawan Nazi. Dalam perang besar itu banyak sejarawan yang bilang korban jiwa di seluruh Uni Soviet antara 20-30 juta orang. Sudah barang tentu korban terbanyak adalah dari RSS Russia dan RSS Ukraina, 2 republik dalam Uni Soviet yang berpenduduk terbanyak, wilayah terluas dan menjadi medan pertempuran besar.
Manuisky dan kawan-kawannya, juga mayoritas rakyat RSS Ukraina yang selamat tentu saja adalah para pejuang gigih dalam melawan Nazi. Hampir semua keluarga di Ukraina, dan di seluruh Uni Soviet kehilangan 1, 2, bahkan 3 anggota keluarganya dalam perang bengis melawan invasi Nazi Jerman. Sampai hari ini ideologi Fasis Nazi adalah luka bangsa yang dalam dan mendarah daging bagi semua warga Uni Soviet, termasuk warga Ukraina.
Nah, dari fakta ini mulai muncul persoalan dalam pernyataan Dubes Ukraina. Tapi kita lanjutkan dulu.
Dalam perjuangan berat dan kejam melawan Nazi Jerman ini Rakyat Ukraina dan Uni Soviet tidak hanya melawan tentara Nazi Jerman, tapi juga melawan tentara aliansi dan kolaborator Nazi lokal di Ukraina sendiri.
Kolaborator Ukraina terbesar dari Nazi Jerman ini dipimpin oleh Stephan Bandera. Banderatis ini mendirikan Divisi SS Galicia yang komandannya adalah Bandera sendiri. Dalam pembantaian massal di Ukraina selama perang termasuk genosida terhadap etnis Yahudi dan etnis Polandia Divisi SS Galicia ini aktif menjadi jagal/eksekutor bersama dengan Nazi Jerman. Termasuk pembantaian di Baby Yar yang terkenal, dimana 30 ribu Yahudi di bantai massal.
Bagaimana dengan Ukraina hari ini..? Ukraina hari ini adalah Ukraina yang pemerintah dan politik nya mengkhianati perjuangan Dmitriy Manuilsky, mengkhianati rakyat RSS Ukraina.
Ukraina hari ini adalah Ukraina yang pemerintahnya memuliakan fasisme dan Nazismenya Stephan Bandera. Bahkan mengangkatnya menjadi pahlawan nasional Ukraina.
Ukraina hari ini adalah Ukraina yang mengubur dan secara sadar menghapus jejak-jejak perjuangan Manuilsky dan kawan-kawannya dan rakyat RSS Ukraina. Menghilangkan dari buku buku sejarah, menghancurkan monumen monumen perjuangan melawan Nazi, melarang peringatan Victory Day/Hari Kemenangan 9 Mei.
Sejak tahun 2014, setelah kudeta, rejim di Kiev adalah pemerintah yang melegalkan, melindungi dari tuntutan hukum paramiliter fasis yang melakukan teror jalanan, dan pembunuhan terhadap warga Ukraina beretnis dan berbahasa Rusia dan terhadap etnis minoritas lainnya.
Teror berdarah yang dilancarkan oleh batalyon-batalyon Nazi ini sudah berlangsung delapan tahun sejak 2014, terutama terhadap warga Donbas di ukraina timur (Luhank, Donets, Kharkiv, Odessa) bahkan di Crimea sampai referendum pemisahan diri. Ribuan warga sipil Donbass dibunuh oleh batalyon-batalyon Nazi Ukraina (Asoz, Aidar, Don, Sektor Kanan dan lainnya).
Sebagai negara bangsa persatuan rakyat Ukraina sudah retak dan pecah sejak 2014, sejak batalyon Nazi melakukan teror kekerasan jalanan dan pembunuhan. Sejak rejim Kiev selama 7 tahun mengkhianati Perjanjian Minsk, perjanjian perdamaian dengan gerakan otonomi di Donbass yang di fasilitasi oleh trio Russia-Jerman-Perancis tahun 2015. Perjanjian damai yang dirancang untuk tetap mempertahankan persatuan teritorial Ukraina . Sejak haluan politik Nazi mengendalikan rejim di Kiev.
Sungguh akan sangat memalukan dalam sejarah, jika dalam situasi konflik di Ukraina hari ini pemerintah dan bangsa Indonesia ditagih balas budi oleh Dubes Ukraina dan mengamininya. Dubes dari rejim Kiev yang terang terangan memusuhi perjuangan Manuilsky dan rakyat RSS Ukraina.
Jika hendak membalas budi atas perjuangan jasa tuan Mauilsky dan RSS Ukraina kita harus mendukung perjuangan rakyat Donbass di Ukraina Timur yang sedang bertempur kembali melawan melawan Nazi Ukraina, mendukung perjuangan Denazifikasi dan demiliterisasi Ukraina. Karena Nazi Ukraina sudah mengendalikan militer Ukraina, baik di Garda Nasional maupun di unit-unit reguler militer Ukraina.
Kalau tidak berani bersikap sebaiknya netral lebih baik. Dan pemerintah sebaiknya fokus memberi bantuan kemanusiaan pada rakyat sipil yang banyak mengungsi. Akan lebih baik lagi kalau Indonesia dengan mempelajari sebab-sebab dari konflik mengambil peranan sebagai mediator perundingan damai, bisa bersama-sama dengan negara-negara netral lainnya yang tidak berpihak dalam konflik.
* Penulis Joko Purwanto, Ketua Komite Persahabatan Rakyat Indonesia – Rusia