Oleh: Dominggus Oktavianus *
PEMBICARAAN tentang tata dunia baru kembali mengemuka. Gugatan terhadap dominasi ekonomi, politik, militer maupun ideologi Barat (liberalisme) mendapatkan momentum untuk digemakan dalam krisis internasional sekarang.
Berkaca pada sejarah, Perang Dunia I dan Perang Dunia II adalah titik didih sebelum terjadi pembagian dunia di antara kekuatan-kekuatan yang paling kuat/berpengaruh atau pemenang. Kita tidak berharap perang dunia ketiga akan terjadi. Tapi tampaknya dunia sedang mencapai titik didih tertentu untuk melahirkan sesuatu yang baru.
Unipolar
Tatanan dunia merupakan suatu pola dan hubungan yang terstruktur antara pelaku-pelaku di level internasional. Setidaknya ada tiga aspek mendasar dalam tatanan ini, yaitu ekonomi, ideologi dan budaya, dan politik militer. Tiap aspek memiliki instrumen-instrumennya tersendiri namun tetap terkoordinasi pada pusat kekuasaan tertentu.
Idealnya, operasionalisasi dari aspek-aspek di atas diperankan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ini karena PBB adalah lembaga internasional yang paling representatif dengan perwakilan semua negara tanpa kecuali. Tapi kenyataannya, peran lembaga raksasa ini telah terkebiri sehingga tidak memiliki otoritas dan kemampuan untuk menciptakan tatanan dunia yang adil dan damai.
Tiga dekade sejak ambruknya Uni Soviet, peran ini dikuasai dan dimainkan oleh satu kutub, yaitu Amerika Serikat beserta blok Baratnya. Sebagian ilmuwan menilai, dengan dominasi tunggal tanpa penyeimbang—setidaknya dalam bidang militer yang sebelumnya dilakukan Uni Soviet, AS telah melakukan apa saja di dunia tanpa ada yang sanggup menentang.
Ekonomi AS merupakan yang terkuat di dunia sejak berakhir Perang Dunia II. Dolar AS dijadikan mata uang yang digunakan dalam setiap perdagangan antar negara. Sanksi ekonomi menjadi salah satu senjata andalan di bidang ini. Lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia menjadi instrumen AS untuk menekan negara-negara debitur patuh pada skema ekonomi pasar bebas.
Pada aspek politik militer juga jelas, hanya AS yang miliki pangkalan militer dan pasukan bersenjata di seluruh benua. Anggaran militernya sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan Rusia yang merupakan kekuatan militer terkuat kedua di dunia. Aliansi pertahanan yang dipimpinnya (NATO) semakin agresif justru ketika Uni Soviet—sebagai alasan keberadaannya (raison d’être)— tidak lagi eksis. Seorang peneliti, Nicolas Davies, memperkirakan lebih dari enam juta orang meninggal dunia di Afghanistan, Irak, Libya, Suriah dan Yaman, akibat konflik militer yang disponsori AS sejak peristiwa 11 September 2001.
Secara ideologi, gagasan dan nilai-nilai liberalisme dan kebebasan individu yang sebelumnya hanya berlaku di Amerika Utara, Eropa Barat, Jepang dan Korea Selatan, sekarang diadopsi oleh lebih dari separuh negara muka bumi. Menurut Freedom House, di tahun 1970 hanya 45 negara yang menjalankan sistem pemilu. Jumlah ini meningkat drastis menjadi 115 negara di tahun 2001. Negara yang tidak mengakui norma dan sistem tersebut akan dicap otoriter sehingga layak dimusuhi. Meski Barat sendiri berstandar ganda dalam perlakuannya; ketentuan yang sama tidak berlaku pada semua negara.
Dunia unipolar dengan hegemoni Barat ini sudah mengalami pengikisan dari berbagai sisi. Krisis dan ketidakadilan sosial di dunia menjadi gugatan rutin oleh banyak negara dan gerakan sosial internasional. Keberadaan IMF, Bank Dunia dan WTO dipertanyakan manfaat dan relevansinya bagi kehidupan dunia yang lebih baik. Di sisi lain kebangkitan China, Rusia, India, dan perubahan politik di Amerika Latin selama paruh pertama Abad-21 memberi tanda tentang datangnya perubahan tata dunia.
Krisis Ukraina dan Sikap Negara-Negara
Pergeseran geopolitik ini dapat dilihat juga dari sikap negara-negara terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Setidaknya dunia terbagi dalam tiga kubu.
Kubu pertama adalah AS dan sekutu Baratnya, yang mengutuk invasi tersebut sembari meningkatkan berbagai sanksi terhadap Rusia. Tidak hanya itu, kubu ini juga mengirimkan bantuan militer dalam skala luar biasa besar (bernilai miliaran USD) kepada Ukraina sehingga perang ini semakin berkepanjangan dan korban semakin banyak.
Kubu kedua secara terang-terangan mendukung “operasi militer” Rusia. Jumlahnya relatif sedikit, yaitu Belarus, Suriah, Eriteria dan Korea Utara. Dalam voting di Majelis Umum PBB keempat negara ini menolak resolusi yang mengecam serangan Rusia ke Ukraina.
Sementara kubu ketiga bersikap lebih independen, atau berupaya lebih obyektif, dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan di balik invasi Rusia. Termasuk dalam kubu ini adalah China, India, Brasil, Pakistan, sejumlah besar negara Afrika, negara Asia Tengah seperti Afghanistan, Khazaktan, Tajikizkan, dan Uzbekistan, dan lain-lain. Dalam voting mengecam invasi Rusia umumnya mengambil sikap abstain; dan, pada voting kedua (resolusi yang mendepak Rusia dari Dewan HAM PBB) mereka bersikap menentang dan/atau abastain (24 menentang + 58 abstain = total 82 negara). Indonesia, oleh banyak kalangan di Barat, dinilai termasuk dalam kubu terakhir ini karena, selain sikap abstain di voting terakhir, juga berkeras mengundang Vladimir Putin ke KTT G-20 di Bali, Oktober mendatang.
Sampai di sini, kubu kedua dan ketiga dapat dikategorikan dalam satu kelompok, yaitu sama-sama menolak patuh sepenuhnya pada dikte politik Barat. Tentu saja, setiap negara mengambil sikap berdasarkan kepentingan nasionalnya masing-masing, baik dalam aspek ekonomi maupun keamanan. Saya berpendapat, negara-negara ini mulai melihat dunia dengan cara pandang yang berbeda, seiring perubahan dalam imbangan kekuatan ekonomi dan militer—yang terutama dipelopori oleh China dan Rusia. Selain itu, juga mulai menguat kritik terhadap standar ganda Barat terhadap berbagai isu yang digunakan berdasarkan kepentingan mereka sendiri.
Kelompok ketiga ini lebih rasional memahami posisi Rusia yang terdesak oleh ekspansi NATO, dari hanya melibatkan 15 negara di akhir Perang Dingin menjadi 30 negara saat ini. Reputasi NATO sebagai pembawa perang di banyak negara tidak dapat dipercaya begitu saja oleh Rusia ketika rudal dan persenjataan mereka ditempatkan di perbatasannya.
Amerika berupaya menekan negara-negara berpengaruh seperti China dan India untuk bersikap lebih keras terhadap Rusia. AS mengancam akan jatuhkan sanksi terhadap China bila membantu Rusia, baik secara militer maupun ekonomi. Ancaman ini berlanjut dengan provokasi lewat kunjungan pejabat tinggi AS dan pengiriman senjata ke Taiwan.
Tekanan yang sama dialami oleh India, Pakistan dan Indonesia. Tapi sejauh ini tidak berhasil mengubah sikap negara-negara tersebut. Hanya Imran Khan, Perdana Menteri Pakistan, yang digulingkan melalui mosi tidak percaya parlamen baru-baru ini. Khan yakin bahwa penggulingan atas dirinya disokong AS yang tidak menyukai sikap politik luar negerinya, termasuk kunjungannya ke Rusia pada hari invasi ke Ukraina (24/2).
Uni Eropa, sebagai sekutu terdekat Amerika, terbelah ketika sampai pada isu embargo energi Rusia. Alih-alih mengembargo, Jerman, Hungaria dan Austria telah menyatakan kesediaan mereka untuk membayar gas Rusia dengan mata uang rubel sebagaimana disyaratkan Presiden Putin. Sekitar 40 persen energi Eropa bergantung pada Rusia. Para politisi maupun pakar di Eropa percaya bahwa energi Rusia tidak dapat digantikan dalam waktu dekat, berhubung persoalan infrastruktur dan harganya yang lebih murah. Sanksi ekonomi terhadap Rusia juga menjadi bumerang bagi Barat, sehingga menimbulkan persoalan sosial tersendiri.
Dokumen Tentang Multipolar
Proyeksi untuk dunia mulipolar rupanya telah lama disiapkan. Setidaknya 25 tahun lalu, tanggal 23 April 1997, Presiden Rusia Boris Yeltsin dan Presiden China Jiang Zemin menandatangani sebuah pernyataan berjudul “Russian-Chinesse Declaration on a Multipolar World and The Establishment of a New International Order”.
Dalam tujuh poin pernyataannya, Yeltsin dan Zemin, menyoroti perkembangan dunia pasca perang dingin yang ditandai dengan bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa untuk hidup berdampingan secara setara (equal), saling menghormati, saling mendukung, dan damai. Perbedaan dalam sistem sosial, ideologi, dan sistem nilai yang dianut suatu bangsa jangan menjadi penghalang dalam pergaulan internasional. Semua negeri, besar atau kecil, kuat atau lemah, kaya atau miskin, memiliki hak yang sama dalam komunitas internasional. Tidak boleh ada pihak yang menciptakan hegemoni dan memonopoli hubungan internasional. Kedua pemimpin juga menyebutkan keberadaan Gerakan Non-Blok sebagai “kekuatan penting yang mendukung multipolarisasi dan mendirikan tatanan internasional yang baru”.
Pernyataan ini juga mendukung didirikannya konsep keamanan baru yang dapat diterapkan sembari meninggalkan mentalitas perang dingin. Bila dilihat konteksnya, poin ini jelas untuk menyentil keberadaan NATO yang lekat dengan mentalitas perang dingin.
Melihat situasi internasional sekarang, dapat dikatakan dokumen ini merupakan titik berangkat yang sangat penting untuk melihat kedekatan Rusia-China sekarang. Hubungan kedua negara telah bertransformasi dari permusuhan selama puluhan tahun (Sino-Soviet split) menjadi mitra strategis yang sangat dekat, terutama di era Putin dan Jinping.
Komitmen tentang tata dunia multipolar ini kembali ditegaskan oleh Menlu Rusia, Sergei Lavrov dan Menlu China, Wang Yi, dalam pertemuan di Tunxi, Anhui, 30 Maret 2022 kemarin. Dalam pertemuan ini Lavrov mengatakan “dunia sedang melalui tahapan yang sangat serius dalam sejarah hubungan internasional. Kami, bersama anda (China), dan pihak-pihak yang bersimpati akan bergerak menuju dunia multipolar yang adil dan demokratik.”
Hegemoni Baru atau Multipolar?
Ray Dalio, seorang miliarder dan konsultan AS, menganalisa pergantian penguasa dunia dalam kurun waktu 500 tahun terakhir dalam bukunya Principles for Dealing With The Changing World Order (2021). Di sini Dalio menggambarkan perubahan sejak imperialisme Belanda menguasai dunia dengan mata uang Golden, diganti Inggris dengan Pounsterling, dan kemudian Amerika dengan USD. Dengan pengalaman praktis dan wawasan sejarahnya, Dalio memprediksi akhir dari peran USD di waktu dekat dan digantikan oleh Yuan China. Perubahan penggunaan mata uang dunia ini akan menandai pergantian penguasa baru dunia dari AS ke China.
Prediksi Dalio ini mungkin benar, dan bukan seuatu yang baru. Ekonom Michael Hudson mengatakan “super imperialis” Amerika diambang keruntuhan karena bertumpu pada ekonomi rente, serupa praktik feodalisme di masa lalu. Sebaliknya, China bergerak maju karena berpijak pada ekonomi industri—hal yang pernah dilakukan AS dalam kebangkitannya di Abad-19. Hudson menekankan perbedaan fondasi sistem ekonomi yang sedang bertarung, sembari menepis anggapan bahwa persaingan AS-China semata persaingan antar sesama kapitalis dunia. Menurut Hudson, sistem liberal AS melepas semua sektor ekonomi ke tangan privat, sementara China mempertahankan sektor publik (pendidikan dan kesehatan) serta sepertiga industrinya, termasuk perbankan, di tangan negara. Hudson memberi contoh Jack Ma yang coba-coba mengembangkan sistem kredit ke dalam bisnis teknologi informasinya segera didepak oleh otoritas China.
Perkembangan China memang mencengangkan dunia. Menurut World Bank, dalam empat puluh tahun terakhir China berhasil mengangkat 800 juta rakyatnya dari kemiskinan. PDB China tahun 2021 sebesar 15,6 triliun USD, diproyeksikan akan melampaui AS dalam dua tahun mendatang berdasarkan akselerasi pertumbuhan yang terjadi. Kekayaan bersih negara ini sudah melampaui AS. China juga mulai mengungguli AS sebagai negara kreditur (pemberi pinjaman) terbesar di dunia. Dalam bidang teknologi informasi pun China telah mendahului AS mengembangkan 5D.
Dengan demikian, pertanyaannya, apakah majunya China sebagai negara dengan ekonomi nomor satu di dunia akan serta-merta menciptakan hegemoni baru sebagaimana pendahulunya? Apakah China juga akan ‘mengekspor’ sistem nilai dan ideologinya sembari memaksa negara-negara lain untuk takluk dengan kekuatan militernya atau melakukan skenario “regime changes” sebagaimana yang selama ini dilakukan Amerika?
Saya kira, ada perbedaan-perbedaan mendasar yang perlu digarisbawahi, karena perbedaan historis ini menentukan, atau setidaknya mempengaruhi, watak dari suatu kekuasaan. Hegemoni Barat muncul dari persekutuan Amerika, Inggris, dan Prancis. Nilai-nilai demokrasi liberal dalam bidang politik bersumber dari revolusi Prancis, nilai-nilai liberalisme ekonomi bersumber dari perkembangan industri di Inggris, dan Amerika Serikat yang berhasil mengembangkan inovasi teknologi dan kekuatan militer, dengan dukungan sumber daya yang dimiliki, kemudian menjadi kekuatan utama dalam persekutuan tersebut. Sejarah kemunculan hegemoni Barat ini berhubungan erat dengan sejarah penaklukan dan kolonialisme, yang berkontribusi pada lahirnya watak superior (merasa lebih unggul), dominan, serta kecenderungan mendikte terhadap bangsa-bangsa lain.
Sementara China berkembang dari kekuatan feodalisme (kekaisaran) masa lalu yang sempat dihancurkan dan ditaklukkan oleh Barat. China baru bangkit setelah revolusi kaum nasionalis yang dipimpin dokter Sun Yat Sen (1911) dan revolusi Komunis (1949). Setelah mengalami situasi buruk pasca revolusi komunis, China baru benar-benar bangkit sejak Deng Xiaoping melakukan reformasi besar-besaran di bidang ekonomi. Dalam sejarah kuno maupun modern, China tidak pernah menjadi kekuatan penkaluk atau penjajah. Bahwa ada realitas segelintir etnis China yang menguasai sektor ekonomi seperti di Indonesia adalah perkara yang berbeda, dan bukan hasil dari kebijakan politik negara asalnya.
Kebangkitan China sebagai kekuatan baru juga akan membutuhkan sekutu geopolitik. Dalam hal ini Rusia, India, Iran, serta sejumlah negara di Timur Tengah dan Asia Tengah akan turut serta dalam proyek Eurasia. Komposisi yang beragam dalam hal kekuatan demografi, ekonomi, militer, dan perbedaan budaya dalam persekutuan ini tentu akan melahirkan rancangan kebijakan yang unik atau berbeda dibandingan hegemoni Barat yang cenderung seragam.
Meski demikian, kita tetap harus bersikap hati-hati karena perkembangan kapital, terlepas dari asal negara, memiliki watak ekspansif dan agresif yang sama. Kita menyaksikan banyak contoh tentang investasi yang berasal dari negeri Panda ini memicu konflik sosial karena menabrak hak-hak hidup komunitas masyarakat. Artinya, di sini negaralah yang harus mengontrol kapital dari manapun asalnya, bukan sebaliknya seperti yang terjadi sekarang.
Selain itu, pemimpin negara perlu memperkuat kerja diplomatik untuk mengantisipasi perkembangan dunia yang akan datang, baik melalui gerakan Non-Blok atau instrumen lainnya dalam rangka proyeksi tata dunia multipolar, dengan pembaruan dan penguatan peran dan fungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai satu-staunya lembaga internasional yang paling representatif.
* Penulis, Dominggus Oktavianus, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)