JAKARTA- Dmitry Rogozin, Kepala Badan Antariksa Rusia (Roscosmos), pada Minggu 8 Mei 2022 mengklaim bahwa negaranya bisa saja menghancurkan negara-negara NATO jika terjadi perang nuklir.
“Penghancuran NATO hanya akan memakan waktu setengah jam (30 menit),” tegas Rogozin, melalui Telegram, dikutip dari Yahoo News, Senin, 9 Mei 2022.
“Tapi kita tidak boleh membiarkannya terjadi, karena konsekuensi dari pertukaran serangan nuklir akan memengaruhi keadaan bumi kita,” imbuhnya.
Ia juga menyebut NATO jelas-jelas melancarkan perang terhadap Rusia.
“Mereka belum mengumumkannya, tapi itu tidak mengubah apapun. Sekarang sudah jelas bagi semua orang,” imbuh Rogozin.
Kepada Bergelora.com di Jakarta, dilaporkan, pernyataan tersebut berlawanan dengan pernyataan sikap NATO. Organisasi beranggotakan 30 negara itu mengunggah pernyataan dalam situsnya April lalu yang menentang invasi skala penuh Rusia terhadap Ukraina.
“Pakta (NATO) meminta agar Presiden Putin segera menghentikan perang ini, menarik semua pasukannya dari Ukraina tanpa syarat, dan terlibat dalam diplomasi sebenarnya,” imbunya.
Ukraina disebut NATO sebagai negara merdeka, damai, demokratis, dan merupakan negara yang dekat dengan NATO.
Pada Februari, Presiden Rusia Vladimir Putin menetapkan pasukan pencegah nuklir dalam status siaga tinggi. Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (EU) saat itu mulai menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.
Rogozin sebelumnya mengatakan, Roscosmos telah memutuskan akan meninggalkan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Ia juga memprotes rangkaian sanksi ekonomi yang dikenakan Barat.
“Saya meyakini bahwa pemulihan hubungan normal antara mitra di Stasiun Luar Angkasa Internasional dan proyek-proyek bersama lainnya hanya mungkin terwujud dengan dicabutnya seluruh sanksi ilegal tanpa syarat,” ucapnya di Twitter pada April.
Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada akhir Februari, AS, EU, dan Inggris menetapkan rangkaian sanksi bagi Moskow, Putin, dan sejumlah individu yang dekat dengan Putin.
Dalam unggahan Telegram, Rogozin menambahkan bahwa perang yang disebut “operasi militer khusus” itu sudah berkembang jauh dari makna dan tujuan geografis asli. Perang disebutnya bertujuan memperjuangkan “kebenaran dan hak Rusia untuk berdiri sebagai negara tunggal yang merdeka.”
Para ahli menyanggah berbagai upaya Putin untuk membenarkan perangnya, termasuk klaim bahwa pihaknya hendak “denazifikasi” Ukraina. Kata-kata Putin terkait genosida, atau “pembersihan etnis” berbahasa Rusia di Ukraina, tidak benar.
“Ini adalah fiksi yang digunakan oleh Putin untuk membenarkan perang agresinya di Ukraina,” kata seorang ahli, Laura Jockusch, kepada NPR.
Jockush menambahkan dalam emailnya kepada NPR bahwa menggunakan kata “denazifikasi” juga merupakan bentuk nyata bahwa istilah “Nazi” telah menjadi istilah umum untuk ‘kejahatan mutlak’. Istilah “Nazi” kini tidak lagi berkaitan dengan makna dan konteks historis aslinya. (Web Warouw)