Oleh: dr. Erta Priadi Wirawijaya, Sp.JP*
Pernah saya mendapatkan pasien rujukan klinik mandiri/Puskesmas alasannya dirujuk sederhana. Harus periksa laboratorium, ronsen dan EKG. Kenapa dirujuk? Karena pemeriksaan tidak ditanggung di PPK1, karena kapitasinya tidak cukup. Padahal kalau kapitasinya cukup, atau pemeriksaannya bisa ditagihkan terpisah angka rujukan bisa lebih rendah.
Pernah saya mengirim pasien untuk pemeriksaan lanjutan di sebuah rumah sakit, pasien itu bolak balik antri dari subuh tapi kesulitan mendapatkan ruangan rawat untuk pemeriksaan CT Scan Arteri Koronernya. Kenapa harus dirawat? Karena kalau dikerjakan rawat jalan tarifnya tidak cukup. Akhirnya penuhlah rumah sakit itu karena merawat pasien hanya untuk keperluan diagnosis yang seharusnya bisa di rawat jalan.
Â
Pernah keluarga saya ada yang harus dioperasi, terpaksa dirujuk ke rumah sakit. Ia mengantri di UGD hampir 2 hari sebelum akhirnya dapat ruangan. Kenapa tidak dikerjakan di rumah sakit kelas C atau D yang dekat rumahnya? Karena tarifnya terlalu kecil, maka rumah sakit tersebut akhirnya memilih tidak mengerjakan kasus-kasus tersebut dan merujuknya. Akhirnya penuhlah itu rumah sakit itu.
Ada pasien BPJS baru saja kena serangan jantung. Serangan jantung dengan oklusi total/STEMI anterior. Beberapa hari yang lalu pasien mampir ke sebuah rumah sakit kelas C, saat itu nyerinya baru terasa beberapa jam saja. Tapi ternyata pasien tidak diberikan obat peluruh gumpalan darah fibrinolitik. Kenapa demikian? Karena kalau obatnya diberikan biaya yang ditanggung BPJS langsung habis dan rumah sakit defisit saat itu juga (BPJS tidak menanggung diluar kuota-red). Sekarang pasiennya gagal jantung dan sulit bekerja. Nasibnya mungkin akan lain kalau pasien langsung datang ke rumah sakit kelas A yang tarifnya cukup besar sehingga obatnya bisa diberikan. (Karena BPJS melakukan diskriminasi kuota antar rumah sakit- red)
Pernah saya mencoba merujuk pasien yang membutuhkan ruang rawat intensif. Hampir semua rumah sakit menolaknya. Penuh katanya. Ada rumah sakit yang punya ruangannya tapi bilangnya itu untuk pasien umum bukan untuk pasien BPJS. Kenapa kok pasien BPJS sulit masuk ICU? Karena tarifnya seringkali tidak mencukupi (tidak ditanggung penuh oleh BPJS-red).
Pernah ada pasien BPJS minta dirujuk ke rumah sakit Pemerintah. Mau dirujuk dimana-mana rumah sakit pemerintahnya penuh. Kenapa di rumah sakit pemerintah pasien nggak usah nambah biaya (iur biaya/co-sharing) tapi di rumah sakit swasta seringkali harus nambah biaya? Karena biaya operasional rumah sakit swasta lebih besar sedangkan paket tarif Ina CBGs-nya sama. Rumah-rumah sakit pemerintah defisit bisa ditutupi APBD, tapi rumah sakit swasta merugi, akan gulung tikar.
Pernah ada teman saya kerja di sebuah RSUD. Pasiennya banyak, sehari ada setidaknya 100 pasien. Tapi jasa medis dari pasiennya yang banyak itu tidak pernah diterimanya. Setahun berlalu belum saja keluar. Alasannya belum ada aturan yang jelas dari pak Bupati. Akhirnya dia memilih bekerja di tempat lain yang lebih jelas. RSUD nya akhirnya kesulitan cari dokter pengganti, akhirnya pasiennya bubar tidak bisa berobat ke situ lagi.
Itu hanya pengalaman saya pribadi terkait carut marut pelaksanaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) saat ini. Saya sudah duduk manis 2 tahun menunggu perubahan. Tapi ternyata perubahan tidak kunjung datang. Kasihan pasien-pasien saya. Karena itulah saya terdorong untuk mengikuti aksi damai teman-teman DIB (Dokter Indonesia Bersatu) tanggal 29 Februari 2016 nanti.
Apa sih yang ingin diperjuangkan DIB terkait JKN? Terkait carut-marutnya JKN, DIB menuntut pemerintah untuk peningkatan besaran kapitasi PPK1 yaitu puskesmas dan klinik mandiri (swasta-red) sehingga layanan sehingga lebih bisa lebih optimal.
DIB juga menuntut penghapusan selisih tarif Ina CBGs antar kelas rumah sakit yang besar (dan diskrimintatif-red) sehingga tidak ada perbedaan standar layanan karena tarif yang dibatasi.
Tarif InaCBGs juga harus diperbaiki, khususnya untuk tindakan operasi narkose umum yang berisiko atau membutuhkan perawatan ruang intensif yang tidak masuk ke unit-cost nya terutama di RS kelas C dan D. Berikan porsi tarif InacBGs yang layak bari rumah sakit swasta dan klinik mandiri dengan biaya operasional yang lebih besar.
Pemerintah harus segera membuat regulasi baku yang berlaku secara nasional terkait porsi jasa medis dokter dan tenaga kesehatan lain terpisah dari tarif InaCBGs sehingga tidak ada perselisihan antara dokter dan manajemen rumah sakit) yang tidak perlu di lapangan.
*Penulis adalah dokter spesialis jantung pembuluh. Aktif dalam gerakan Dokter Indonesia Bersatu (DIB), tinggal dan bekerja di Bandung