JAKARTA- Dunia international kembali geger sejak Sputnik, kantor berita Rusia menelusuri jejak laboratorium biologi Namru-2 di Indonesia. Setelah temuan 38 lab biologi milik Amerika yang menjadi sumber senjata pemusnah massal di Ukraina,– Rusia memang sedang mengungkap semua operasi lab biologi Amerika Serikat di seluruh dunia, khususnya di Indonesia.

Denis Bolotsky, koresponden Sputnik sempat menelusuri Jalan Percetakan Negara di Jakarta Pusat. Ia melaporkan jalan yang sibuk, walaupun sempit di Jakarta Pusat yang padat penduduk itu.
Pada malam hari, ratusan kendaraan bermotor melewati lingkungan yang terkenal dengan toko bahan bangunan dan puluhan warung makan kecil di trotoar.
Video dari media lokal membahas ulasan Denis Bolotsky di Sputnik:
Menurut jurnalis senior dari Rusia ini, banyak warga Jakarta, kemungkinan besar tidak akan pernah tahu bahwa selama 40 tahun, lingkungan tersebut itu menjadi tempat dan riset biologi patogen dan virus berbahaya disimpan dan digunakan.
ia melaporkan sebuah Gedung di Jalan Percetakan Negara 29,– sebuah rumah remang-remang di tengah kompleks lembaga pemerintah Indonesia, sempat menjadi rumah bagi NAMRU-2,– sebuah lembaga riset biologi dibawah angkatan laut Amerika.
Sputnik menelusuri, Unit Penelitian Medis Angkatan Laut AS (NAMRU) bermula di Guam di bawah yayasan Rockefeller, sebuah lembaga yang sampai saat ini sangat aktif mendanai riset-riset medis.

Unit ini didirikan pada tahun 1955, sedangkan detasemen NAMRU-2 di Jakarta telah dibuka pada tahun 1970 “untuk mempelajari potensi penyakit menular yang signifikan secara militer di Asia”.
Lewat Tas Diplomatik Ke Los Alamos
Sputnik juga mengunjungi dan berbincang dengan Dr. Siti Fadilah Supari, seorang spesialis kardiologi yang menjabat sebagai menteri kesehatan Indonesia dari 2004 hingga 2009. Siti Fadilah mengungkapkan manfaat keseluruhan penelitian Amerika bagi Indonesia sangat dipertanyakan.
“Meskipun mereka fokus pada malaria dan tuberkulosis, hasilnya selama 40 tahun di Indonesia tidak signifikan (tidak berguna-red)”, kata Siti Fadilah. Wajar, sampai saat ini malaria dan TBC tidak pernah bisa musnah.

Dia menambahkan bahwa perjanjian antara Indonesia dan AS tentang pendirian laboratorium berakhir pada 1980,– “dan kemudian setelah itu mereka tidak memiliki kewarganegaraan”.
Namun, bukan hanya kinerja lab yang dapat diperdebatkan yang membuat Dr. Siti Supari prihatin dengan fasilitas Amerika.
“Saya hanya tahu lab mereka sangat tertutup. Dan para penelitinya adalah Marinir Amerika, yang semuanya memiliki kekebalan diplomatik”, kata Dr Fadilah Supari.
“Kami tidak pernah tahu apa yang mereka bawa dalam tas diplomatik mereka. Ada juga beberapa peneliti dari Indonesia yang membantu mereka”.
Dr. Siti Fadilah Supari juga menyebutkan kurangnya keterlibatan yang setara dari staf Indonesia dalam proyek tersebut sebagai alasan lain yang perlu dikhawatirkan. Tetapi yang terpenting adalah pengumpulan spesimen dari pasien menular untuk tujuan penelitian dan kemudian mengangkutnya ke luar negeri oleh staf Amerika dengan status diplomatik, menjadi kemarahan terbesar bagi menteri Siti Fadilah.
Pada saat itu, Menkes Siti Fadilah sedang melancarkan perlawanan terhadap regulator kesehatan global dan perusahaan Farmasi Besar atas ketidakadilan pembagian spesimen virus melalui struktur yang berafiliasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kepada negara-negara miskin yang menderita penyebaran H5N1 (flu burung).
Pada tahun 2006, NAMRU-2 yang berstatus sebagai pusat kolaborasi WHO mendiagnosis sejumlah kasus H5N1 di Indonesia. Negara tersebut diminta untuk membagikan sampel dengan Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat di
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Atlanta, yang juga berafiliasi dengan WHO. Menkes Siti Fadilah setuju sampel dibagikan dengan syarat tidak dibagikan pada pihak lain.
Namun demikian, menurut beberapa publikasi, CDC memasukkannya ke dalam sequence database pada Laboratorium Nasional Los Alamos AS,– sebuah laboratoriun yang awalnya didirikan untuk merancang senjata nuklir. Fakta ini memicu kekhawatiran Siti Fadilah dan banyak ahli bahwa spesimen tersebut digunakan untuk tujuan militer Pentagon. Protes dan keberatan Siti Fadilah semakin menambahkan ketegangan.
Dalam sebuah artikel tahun 2014 yang berjudul “Advancing science diplomacy: Indonesia and the US Naval Medical Research Unit” Frank L Smith III mengutip seorang mantan pegawai lab Jakarta yang mengatakan bahwa by sharing the samples with Los Alamos Laboratory and with the Big Pharma, CDC practically “threw [NAMRU-2] under the bus”.
Kebakaran Di Namru-2
Pada April 2008, Menteri Kesehatan saat itu Supari melakukan kunjungan mendadak ke NAMRU-2, dan mengungkap kepada pers tentang laboratorium yang tidak transparan dan fakta bahwa laboratorium tersebut tidak membagikan hasil kerjanya pada pemerintah Indonesia.
Menurut seorang pria yang meminta untuk disebut dengan nama samaran “Henry” dan yang telah menjadi jurnalis di salah satu media utama Indonesia selama hampir 30 tahun, kampanye Dr Supari melawan fasilitas militer Amerika menjadi berita utama nasional, dan begitu pula peristiwa lain yang terkait dengannya. Henry mengatakan, saat Menteri Siti Fadilah mulai menekan NAMRU-2, gedungnya hampir habis terbakar. Meski api dapat dipadamkan dengan cepat, penyebab kebakaran masih belum diketahui hingga hari ini. Dia ditugaskan untuk meliput cerita, jadi dia pergi ke lokasi.
“Saya ingat dua Bule [‘Kaukasia’, ‘orang asing’ dalam bahasa Indonesia – red. Sputnik] laki-laki di tengah situasi yang kacau balau. Mereka berada di kejauhan dan kami tidak dapat berbicara dengan mereka. Mereka bukan security, karena petugas keamanan di pintu gerbang (kami menyebutnya ‘anggota satuan pengaman’) – adalah orang Indonesia. Kami tidak diizinkan oleh mereka untuk melewati pagar kompleks, dan hanya bisa melihat fasilitas dari kejauhan”, kata Henry.
“Sepertinya kebakaran itu terjadi di bagian administrasi NAMRU, tempat semua dokumen disimpan. Saya tidak terlalu memperhatikan fakta ini pada saat itu, tetapi jika dipikir-pikir mungkin terlihat seolah-olah seseorang ingin menyembunyikan sesuatu”.
Laporan Denis Bolotsky di atas bisa dibaca lengkap dalam artikelnya di Sputnik berjudul ‘Evidence Points to US Continuing Biological Research in Indonesia Despite Lab Ban’
The Next Pandemic
Menanggapi laporan di atas salah seorang mantan pejabat di Kementerian Kesehatan hanya mampu melihat segi pragmatis tanpa melihat resiko dibaliknya. Mantan Kepala Kerja sama Teknik dan Perjanjian Internasional Kementerian Kesehatan Dicky Budiman menyatakan ada banyak keuntungan yang didapat yakni pengalihan aset NAMRU sehingga Indonesia memiliki teknologi lebih maju.
“Bukan berkaitan bahaya lab biologis, tapi ini dalam rangka menata pengetahuan dua negara ini seimbang dan saling menguntungkan dan tentu harapannya kalau saya di saat itu adalah tentu utamanya (keuntungannya) lebih besar di kita,” beber Dicky kepada pers Senin (30/5/2022).
“Oleh karena itulah yang diuntungkan adalah kita mendapat pengalihan aset NAMRU, jadi itu bukan sudah punya AS lagi sejak 2009,” sambung dia tanpa mampu menjelaskan maksud dari ‘keuntungan lebih besar’ itu.
Menurutnya, sebelumnya hubungan Indonesia dengan banyak negara dalam kesehatan selalu mengupayakan aspek kesehatan nasional. Kerja sama tersebut juga meneliti penyakit infeksi yang ada di Indonesia seperti malaria dan bermanfaat bagi SDM di Tanah Air.
“Ini tentu juga bermanfaat karena beberapa menghasilkan doktor-dokter di Indonesia. Artinya orang Indonesia yang bisa melakukan riset,” katanya tanpa mampu menjelaskan manfaat para periset pada perkembangan sistim kesehatan Indonesia saat ini.
Upaya Rusia mengungkap semua laboratorium Amerika baik di Ukraina maupun di negara lain seperti di Indonesia yang telah dilakukan Menkes RI Siti Fadilah Supari sejak tahun 2008,–sangat penting bagi kelangsungan hidup umat manusia. Dunia semakin sadar akan ancaman nyata senjata biologi pemusnah massal yang bisa diproduksi di laboratorium-laboratorium tersebut.
Saatnya negara-negara anggota mendesak PBB menutup dan memeriksa semua aktivitas 300-an laboratorium biologi Amerika Serikat di seluruh dunia yang sangat mungkin berhubungan dengan ledakan dan penyebaran penyakit-penyakit menular yang terjadi belakangan ini.
Lab biologi di Ukraina tersebut mempelajari kemungkinan penularan flu babi Afrika dan antraks melalui unggas, kelelawar, dan reptil, juru bicara Kemenhan Rusia Igor Konashenkov di Moskwa.
Catatan yang ditemukan oleh Rusia menegaskan, lab biologi ini menyelidiki penularan patogen oleh burung liar yang terbang di antara Ukraina dan Rusia serta negara-negara perbatasan lainnya, tambahnya.
Pandemi Covid-19 belum dinyatakan berakhir,–sudah terjadi outbreak Hepatitis Akut dan terakhir Monkey Pox di beberapa negara. Entah esok apa lagi,— yang pasti Bill Gates, ‘Bapak Pandemi Covid-19’ dalam buku terbarunya telah menulis ancaman pandemi berikutnya, setelah Covid-19. (Web Warouw)