Oleh: Dita Indah Sari *
RENTETAN kekalahan pasukan Ukraina di garis depan Donbass semakin tidak bisa disembunyikan dari rakyat Ukraina dan publik barat.
Penyerahan massal ribuan sisa-sisa Nazi Ukraina di Mariupol segera disusul dengan kekalahan di Rubizne dan Popassna sehingga memerangkap 15-16 ribu pasukan di kuali Severodonetsk, Lishichansk, Zolote. Takdir pasukan yang terperangkap ini akan mengulang nasib bunker Azovstal: di eliminir atau menyerah massal.
Di sebelah barat Popassna, pertahanan pasukan Ukraina di Soledar dan Bakhmut, rute jalan terakhir ke arah Lishichansk sudah terputus. Bahkan Bakhmut sendiri terancam segera jatuh dalam waktu dekat. Setelah dikepung dari arah Popassna, Svetlodarsk yang baru saja direbut oleh Rusia, dan Zaitzevo.
Di garis depan utara, pasukan Rusia sudah menyatakan kemenangan dan mengambilalih kota Lyman, dikutin menyerahnya 500 an pasukan Ukraina. Lyman (Krassny Lyman versi Rusia) adalah kota strategis dimana merupakan pusat perlintasan dan persimpangan jalur kereta trans Ukraina. Persimpangan kereta ke utara ke arah Kharkov maupun ke arah Donbass selatan.
Jatuhnya Lyman akan segera disusul kejatuhan Bakhmut. Ini akan mengancam poros pertahanan Ukraina di Slavvyank-Krammatorsk, diserang dari tiga sisi: dari arah Lyman, Izzum dan Bakhmut. Kota Slavvyansk dan Krammatorsk adalah keping terakhir dari wilayah Donetsk.
Beberapa hari kemarin otoritas LPR menyampaikan bahwa ada 8 ribuan pasukan Ukraina yang menyerah atau tertangkap di seluruh wilayah Lugansk dan Donetsk. Dan akan semakin bertambah.
Keberanian Bisa Menular, Kekalahan Pun Demikian
AS-Nato dan rezim Kiev selama 3 bulan pertempuran di Donbass melalui media media barat berfokus pada 2 hal: pertama, memproduksi narasi heroisme dan keberanian dari prajurit ukraina dan unit unit pasukan Nazi nya; Kedua, kemunduran, kemandekan, rendah nya moral tempur pasukan Rusia, gosip gosip perpecahan di dalam Pemerintahan Rusia, stok rudal presisi Rusia hampir habis, glorifikasi aliran bantuan senjata yang akan merubah keadaan dan membawa kemenangan bagi Ukraina. Intinya propaganda meremehkan dan merendahkan kemampuan pasukan Rusia.
Namun semua narasi itu ambruk. Kisah kisah heroisme dan keberanian palsu itu tak butuh waktu lama selalu terbongkar dan berakhir memalukan.
Kisah heroisme 13 ksatria Pulau Ular yang memilih mengorbankan diri palsu, faktanya tak hanya 13 tapi 85 pasukan dan mereka memilih menyerah, dan diperlakukan baik oleh pasukan Rusia. Kisah kisah heroisme palsu semacam ini berserakan memenuhi media media barat. Kisah palsu Ghost of Kiev, Kemenangan dalam serangan di Pulau Ular, padahal yang terjadi sebaliknya: pasukan Ukraina, drone serang, pesawat tempur, heli dan kapal pendaratnya dihancurkan Rusia. Demikian pula kisah palsu “Sniper Wally’. Juga kemenangan fiktif dalam pertempuran Kharkiv, ketika pasukan Rusia memilih menarik mundur pasukan nya. Karena tugas nya hanya mengikat pasukan Ukraina agar tidak digerakkan ke Donbass.
Sementara realitas lapangan dari garis depan Donbass semakin tidak bisa ditutupi. Semakin jelas bagi publik bagaimana kenyataan sebenarnya perkembangan peta pertempuran di Donbass.
Kemunduran besar pasukan Ukraina di garis depan Donbass dimana bahkan aliran besar-besaran senjata barat tidak mampu memberi dampak yang merubah keadaan di garis depan.
Moral pasukan Ukraina runtuh. Kini semakin banyak unit-unit yang menyerah dan atau menolak melanjutkan pertempuran. Seperti unit peleton atau kompi dari Brigade Infantri Bermotor Ke-58, Brigade Teritorial Ke-155, Brigade Ke-115, Ke-71, Ke-14,dan Ke-110, juga dari Batalyon Senapan Ke-46.
Kolaps nya pasukan Ukraina selain karena efektifitas tempur pasukan Rusia juga disebabkan oleh buruknya komando tempur Ukraina. Unit unit tentara yang sudah kehilangan dukungan senjata berat atau lapis baja, amunisi dan ransum makanan tetap dilarang mundur untuk berkonsolidasi. Artinya para prajurit dibiarkan menjadi umpan meriam dari artileri Rusia.
Dampak bencana militer garis depan di Donbass meluas hingga ke Ukraina tengah dan barat. Kini semakin banyak Volkssturm/Batalyon Pertahanan Teritorial yang menolak untuk dimobilisasi ke garis depan.
Krisis Politik Mengancam Kiev
Kekalahan di Donbass menimbulkan guncangan hebat, tak hanya di Kiev tapi juga di barat, dan juga di negara negara tetangga.
Krisis kekuasaan mengancam Kiev, Zeleinsky akan menjadi kambing hitam dari kekalahan. Ancaman bisa atang dari dua arah.
Pertama, dari pusat komando militer reguler Ukraina, yang melihat puluhan ribu prajurit nya dikorbankan sia-sia dari ruang komando pertempuran yang dikendalikan oleh Zeleinsky, elit pimpinan Nazi dan Pentagon. Apalagi sudah sejak 2014, bibit permusuhan antara unit militer reguler dan unit militer Nazi (Garda Nasional) yang berlindung di Kementrian Dalam Negri sudah terjadi. Banyak wajib militer reguler yang dibunuh oleh unit Nazi selama kudeta Maidan 2014. Persaingan yang berlanjut selama bertahun tahun dalam berebut sumber daya, anggaran, akses persenjataan dsb. Serupa dengan persaingan antara unit unit SS dengan unit unit Wehrmacht di Jerman tahun 1930 an. Jika mereka menggulingkan Zeilensky perang bisa berakhir lebih cepat. Mereka yang memahami dengan baik realitas dari medan pertempuran akan segera memilih menyerah kepada Rusia, merundingkan yang terbaik dari yang tersisa dari Ukraina. Tak ada militer modern manapun yang sanggup menelan kekalahan dimana kerugian harian 1-2 batalyon musnah dan tanpa harapan untuk mampu merubah situasi di garis depan.
Kedua, ancaman akan datang dari elit elit Nazi dan Pentagon, mereka kuatir Zeilensky akan menyerah. Sehingga opsi menyiapkan “Fuhrer” baru selalu ada dalam kantong.
AS-Nato, dan media barat bereaksi canggung menyikapi kekalahan Ukraina di Donbass. Gedung Putih, Pentagon, Downing Street, Olaf Schultz menghindari diskusi rasional konsekuensi dari kekalahan itu. Berputar pada retorika liar soal tambahan bantuan senjata, retorika kosong Rusia tidak boleh menang dsb dsb.
Macron bereaksi samar, menyampaikan Kiev harus segera bernegosiasi dengan Rusia. Suara suara dari para politisi barat juga mulai terdengar untuk segara ada perundingan damai.
Cukup menggemparkan publik barat adalah pernyataan Herry Kissinger yang disampaikan di Davos (25/5) bahwa barat harus mengambil pendekatan realistis segera berunding dan bernegosiasi dengan Rusia, Ukraina harus memberi konsesi wilayah timur dan selatan Ukraina. Menunda langkah ini akan semakin memperburuk situasi dan keadaan akan semakin sulit diatasi. Gagasan yang kemudian disebarluaskan oleh banyak media barat: New York Times, Washington Post, WSJ dan media lainnya.
Victor Orban, PM Hungaria juga bersiap melihat perkembangan yang terus memburuk di Ukraina. Orban sudah mendapat mandat dari legislatif untuk menerapkan kebijakan Darurat Nasional (24/5). Dengan Darurat Nasional Orban punya otoritas untuk melakukan operasi khusus atau menggerakan pasukan jika situasi Ukraina terus memburuk masuk ke wilayah transcharpatia di Ukraina, dimana banyak etnis Hungaria tinggal seperti di Zakkarpattia. Tentu saja awalnya untuk tujuan melindungi etnis Hungaria. Ke depan bisa saja mengarah pada banyak kemungkinan politik yang bisa terjadi. Karena sudah lama Orban meminta Kiev untuk memberi otonomi ke wilayah itu.
Polandia juga bersiap. Sudah nyaring suara suara dari elit Polandia tergoda untuk mengambil kembali wilayah Galicia di Ukraina barat. Pernyataan bersama Presiden Polandia Andrzej Duda dan Zalensky tentang penghapusan perbatasan bersama bisa ditafsirkan macam-macam. Dari niat dan obsesi Polandia jelas, situasi politik Ukraina yang terus memburuk, mengambil keuntungan untuk Galicia. Zeleinsky mungkin berpikir dengan pernyataan bersama itu tentara Polandia akan masuk dan turut bertempur di garis depan. Harapan yang akan jauh dari kenyataan.
Sementara Kiev dan barat sedang kebingungan bereaksi terhadap kekalahan di Donbass, Rusia akan tetap fokus menyelesaikan pembebasan Donbass. Setelahnya bergerak ke 4 diskrik lain di Ukraina timur dan selatan (Kharkiv, Zaphorizhia, Nikolaev dan Odessa. Tujuh distrik dengan Donetsk, Luhank dan Kherson dari total 24 distrik/oblast/propinsi di Ukraina. Sepertinya nasa depan wilayah wilayah ini kian menjauh dari Kiev.
* Penulis, Dita Indah Sari, mantan Ketua Umum PRD, Dewan Penasehat Komite Persahabatan Rakyat Indonesia – Rusia