Oleh : Adriansa Manu
PALU- Sulawesi Tengah di dalam masa lebih dari 13 tahun ini, investasi terutama di sektor pengerukan sumber daya alam berkembang luar biasa menonjol, di antaranya perkebunan kelapa sawit, pertambangan, minyak dan gas, selain sektor konstruksi/infrastruktur, perhotelan, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan investasi ini di satu sisi membuat dinamika ekonomi semakin hidup, tetapi di sisi lain, telah memicu konflik-konflik sumber daya alam yang meluas terutama dengan warga pedesaan yang kehilangan akses mereka terhadap sumber daya alam. Sebagian di antara konflik-konflik ini ditandai dengan kekerasan berdarah dan mematikan. Selain itu, berkembangnya politik lokal yang ramai termasuk melalui manipulasi sentimen kesukuan dan agama, seperti konflik berdarah-darah yang bertahun-tahun pernah terjadi di Poso dan Morowali.
Â
Paradigma pembangunan semacam ini, sepertinya menjadi alternatif satu-satunya dalam menjawab kesenjangan ekonomi di daerah ini. Apalagi dengan terbitnya Peraturan Presiden (PP) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Sejumlah proyek infrastruktur segera diluncurkan. Seperti pembangunan jalan nasional Palu-Parigi bypass, revitalisasi Bandar Udara Mutiara Sis Aljufri Palu, pembangunan pelabuhan Pantoloan Palu, dan pengembangan kapasitas pelabuhan Parigi.
Rencananya sejumlah proyek infrastruktur akan segera dilaksanakan di sejumlah daerah yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA). Seperti di Kabupaten Morowali, Buol, Banggai dan sejumlah daerah lainnya.
“Semua proyek itu sangat strategis untuk mempercepat peningkatan akses guna menarik naiknya investasi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” demikian Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulawesi Tengah, Patta Tope kepada media beberapa waktu lalu.
Bagi kami, pembangunan berbasis kapital benar membuat dinamika ekonomi daerah Sulawesi Tengah menjadi hidup. Tetapi, di sisi lain, menciptakan kerentanan kehilangan akses tanah bagi petani, sementara pemerintah tidak pernah menjamin jaminan sosial transformatif seperti pekerjaan tetap dengan upah yang layak, perumahan layak jika mereka tersingkir dari tanahnya, pendidikan gratis hingga perguruan tinggi bagi anak-anak lingkar tambang dan layanan kesehatan gratis bagi penduduk di sekitar lokasi pengerukan SDA, apabilah mereka sakit akibat aktivitas perusahaan.
Justru angka kemiskinan di daerah ini menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 mencapai 392.650 jiwa atau 13,9 persen dari total penduduk 2.831.283 jiwa. Wilayah pedesaan yang menjadi sasaran investasi menempati posisi tertinggi yakni berjumlah 335.780 jiwa (83,92%), dan perkotaan sebanyak 64.320 jiwa (16,08%).
Sehingga kami melihat bahwa pembangunan di Sulawesi Tengah, tidak bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Patta Tope. Tetapi, bertujuan semata-mata demi keberlangsungan investasi. Hal tersebut telah terbukti semenjak 13 tahun terakhir, terutama sebelum diberlakukannya PP No. 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang intinya adalah larangan bagi setiap perusahaan untuk melakukan ekspor bahan baku dalam bentuk mineral ke luar Indonesia.
Sehingga, kami memandang proyek infrastruktur merupakan upaya pemerintah untuk memberikan subsidi bagi pelaku usaha seperti pertambangan mineral, perkebunan sawit dan gas di Sulawesi Tengah. Sementara, petani selalu saja menjadi korban dari sejumlah proyek tersebut baik karena tanahnya di rampas, maupun karena kehilangan basis produksinya.
*Penulis adalah Manager Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Sulawesi Tengah
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â