JAKARTA- Kartu Indonesia Sehat (KIS) adalah salah satu program jaminan kesehatan yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo akan membebaskan pasien dari pembiayaan kesahatan. Namun pada kenyataannya KIS tidak berlaku dalam sistim asuransi yang dijalankan oleh Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Masyarakat yang datang berobat dengan menggunakan KIS pasti ditolak oleh BPJS di rumah-rumah sakit karena tidak masuk dalam sistim yang mereka jalankan. Sehingga pasien dengan KIS pasti kesulitan mendapat pelayanan di rumah sakit,” demikian oleh Presidium Dokter Indonesia Bersatu (DIB), dr. Eva Sri Diana, Sp.P kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (26/2).
Padahal menurutnya, kalau Presiden Joko Widodo dari awal konsisten menjalankan program KIS, tidak akan ada persoalan yang menyebabkan krisis layanan kesehatan seperti saat ini.
“Yang aneh, koq bisa Presiden Joko Widodo membiarkan program strategisnya yang pro rakyat disabotase oleh BPJS. Sehingga kartu yang dibagi-bagi Presiden sendiri bisa tidak berlaku saat digunakan pasien,” ujarnya.
Rumah-rumah sakit dan petugas kesehatan menurutnya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap pasien dengan KIS yang dibagi-bagi oleh Presiden Joko Widodo. Karena petugas BPJS tidak mau membayar klaim pelayanan yang menggunakan KIS. Kementerian Kesehatan dan dinas-dinas Kesehatan tidak juga tidak berkuasa atas sikap BPJS terhadap KIS.
“Jadi BPJS itu lebih berkuasa dari Presiden, Menteri, Kepala Dinas apalagi hanya direktur rumah sakit dan dokter-dokter. Tapi korban dari BPJS yang menjalankan JKN ini sudah pasti rakyat dan petugas kesehatan,” tegasnya lagi.
Sebelumnya, Dr Agung dari Lebak, Banten juga membenarkan bahwa KIS tidak berlaku saat dipakau pasien-pasien di Banten. Sehingga menurutnya, pemerintah setempat mengambil inisiatif menanggung biaya kesehatan pasien yang tidak ditanggung atau ditolak oleh BPJS.
“Kebijakan pemerintah daerah di Banten sangat membantu pasien-pasien yang tidak dibayar penuh oleh BPJS atau pasien KIS yang tidak ditanggung oleh BPJS. Sehingga dokter dan rumah sakit tetap dapat bekerja melayani masyarakat,” ujarnya kepada Bergelora.com
Dalam Konferensi Pers DIB Rabu (24/2) lalu dr. Eva Sri Diana, Sp.P mengatakan selain segera melakukan perbaikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemerintah juga perlu membangun prasarana terutama di daerah pelosok, dengan turut melibatkan pemerintah daerah. Menurutnya, bahan baku obat yang masih mengandalkan impor dan pajak PPnBM alat kesehatan juga menjadi biang tingginya biaya layanan kesehatan.
“Oleh sebab itu Pemerintah harus turut mendorong berkembangnya industri farmasi dalam negeri dan menghapus PPnBM alat kesehatan sebagai satu upaya mendukung suksesnya JKN dan KIS,” ujarnya.
Krisis Dokter
Selama ini menurutnya terdapat disparitas yang sangat besar dalam penyebaran dokter di Indonesia. Dokter Indonesia lebih memilih untuk hidup di daerah perkotaan dan enggan bertugas ke daerah.
“Ikatan Dokter Indonesia berpandangan alasan besar dokter enggan bekerja di daerah adalah rendahnya penghargaan / insentif yang diberikan. Era otonomi daerah juga melahirkan raja-raja kecil yang dengan seenaknya menindas dokter dan tenaga kesehatan lainnya dengan upah yang minim, serta menunda dan memotong pembayaran jasa medis. Akibatnya beberapa daerah terpaksa harus diblacklist sehingga kekurangan dokter,” jelasnya.
Ia mengatakan, dokter spesialis di Indonesia jumlahnya selalu kurang. Biaya pendidikan yang mahal dan keterbatasan kursi peserta pendidikan spesialis mengakibatkan sangat sedikit dokter umum yang bisa meneruskan pendidikan spesialisasi.
“Pemerintah berkewajiban menerapkan berbagai solusi agar pendidikan spesialis dapat segera memenuhi kebutuhan dokter spesialis di Indonesia,” tegasnya. (Web warouw)
Â
Â