Kamis, 3 Juli 2025

Membudaya Di Kotagede

YOGYAKARTA- Bis Rombongan DPD RI masuk ke parkiran sebuah masjid di daerah Jagelan, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibawah terik Matahari, Rombongan yang dipimpin Fahira Idris, Anggota DPD Provinsi DKI Jakarta, kemudian berjalan kurang lebih 500 meter. Mungkin tak jauh, tapi cukup membuat Anggota Dewan bercucuran keringat. Melewati gang sempit namun rapi, membuat perjalanan cukup menyenangkan. Bahkan ada beberapa Anggota DPD yang sambil berfoto di depan rumah-rumah tua sepanjang gang. Tak lama sampailah ke tempat yang dituju. Yaitu sebuah rumah Joglo tua. Tak ada perabotan yang terlihat. Hanya ada tikar panjang membentuk persegi diatas lantai berwarna coklat kusam. Anggota DPD, Dinas Kebuayaan, Dewan Kebudayaan dan tokoh masyarakat lesehan dan mulai bertukar fikiran.

“Rumah ini sepi karena baru dibeli Pemerintah Provinsi. Rumah ini dibeli dalam rangka konservasi. Harganya 1,3 Milyar. Banyak selebritis yang tertarik ingin membeli dengan harga yang lebih tinggi, tapi pemilik ingin Pemerintah Daerah yang memiliki. Karena, kalau pemda yang membeli berarti akan memenuhi 3 aspek konservasi yaitu: perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan”, kata Umar Priyono, Kepala Dinas Kebudayaan DIY.

Kunjungan Komite III DPD RI sendiri adalah untuk menginventarisir data dan aspirasi masyarakat dalam rangka penyusunan pandangan dan pendapat tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan.  RUU ini diinisiasi oleh DPR. Dan DPD diminta untuk memberikan pandangan dan pertimbangan. Ada  7 orang anggota DPD; Fahira Idris (DKI), Hj. Daryati Uteng (Jambi), Dra. Hj. Eni Khairani (Bengkulu), Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna (Bali), KH. Muslihuddin Abdurrasyid (Kaltim), KH. Muhammad Syibli Sahabuddin (Sulbar) dan Hj. Suriati Armaiyn (Malut).

Menurut Fahira Idris, RUU Kebudayaan harus mendapat perhatian dan diskusi yang berterusan. Kenapa? Karena, pertama, Apakah kebudayaan dapat diatur dengan sebuah undang-undang? Kedua, Apakah Kebudayaan dapat dikonservasi? Ketiga, bagaimana kalau nantinya undang-undang hanya akan membuat beku kebudayaan itu sendiri.

“Budaya bukanlah benda mati. Tidak statis. Budaya tumbuh dan berkembang. Saling melengkapi dan menyempurnakan. Apalagi kalau ada sensor kebudayaan nantinya hanya akan memperburuk kondisi kebudayaan kita” kata Fahira yang belakangan sering mengkritik Gubernur Jakarta ini.

“Ada perbedaan antara Jogja dan Bali dalam hal konservasi”, sambung Anggota DPD Bali, Arya Wedakarna. “Yang kami lakukan di Bali tidak hanya melestarikan bangunan, prasasti atau candi. Tetapi bagaimana orang-orang dibali juga hidup dengan budaya dan tradisi kami sendiri. Tanpa RUU sebenarnya budaya sudah menjadi kehidupan kami sehari-hari”.

Di Yogja sendiri, menurut Umar Priyono, bangunan yang dikonservasi diusahakan untuk tetap berguna dan berhubungan dengan masyarakat. “Contohnya Rumah sate di jalan gamelan. Dulu, tempat itu adalah tempat dimana Ngarso Dalem dan Jenderal Sudirman bertemu dan bertukar informasi. Aslinya warung sate, tapi diskusi dan dialog terjadi antar para pejuang, dan juga pertukaran senjata. Dan setelah dibeli Pemda, tempat ini lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat, seniman, pemuda dan pemerintah kota untuk berbagai macam kegiatan”.

Kotagede adalah pusat kerajaan mataram. Dari sini kita bisa belajar sejarah dan filosofi, pergerakan sosial masyarakat, arsitektur dan lingkungan, kesenian, kerajinan sampai kuliner. Setidaknya itu yang terlihat di gang-gang sempit jagelan. Dari rumah joglo tua. (Hari Subagyo)

 

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru