Jumat, 18 Juli 2025

Amelia dan Cerita Pulau Buru*

Amelia Yani, anak Pahlawan Revolusi, Jenderal TNI (anumerta) Achmad Yani, korban paling telak dalam Peristiwa G30S, tapi ia pula yang paling dini berdamai dengan mantan tahanan politik  dan keluarganya. Padahal  ketika peristiwa itu terjadi, rata-rata putra-putri Pahlawan Revolusi sulit menerimanya Jiwa mereka  terguncang. Tak pelak, Amelia  menjalani perawatan kejiwaan selama tiga bulan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat GAtot Subroto dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dalam perjalanan waktu, dia memilih  tak mendendam.

“Tak ada benci dan dendam dalam diri saya, karena saya sudah menerima kejadian itu sebagai bagian dari hidup saya, dan berharap bisa berdamai,” tegas Amelia.   

Tak mengherankan,  Amelia menjadi pendukung terdepan ketika ide FSAB digulirkan, dan masuk sebagai Dewan Pendiri. Dia bersama  Ilham Aidit, anak tokoh PKI DN Aidit menjadi ikon perdamaian. Menurut dia, tak hanya dirinya yang menjadi korban dalam peristiwa ini

“Trauma itu juga dialami Ilham Aidit yang bertahun-tahun tak berani menggunakan nama ayahnya demi bertahan hidup. Atau Perry Omar Dani yang harus menyaksikan ayahnya dipenjara selama 30 tahun,”  kata Amelia penuh empati.

Bermula dari tragedi berdarah itu Amelia memulai aktivitas sebagai Ketua Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Santa Ursula, Jakarta. Tamat  Fakultas Sastra UI  jurusan Antropologi, Amelia  menetap selama lima tahun  di Inggris dan menimba ilmu di University of Hall, Yorkshire, dan di Pitman College, London. Pada tahun 1971 Amelia kembali ke Indonesia, bekerja sebagai Sekretaris Menteri Luar Negeri Adam Malik.

Sembilan bulan kemudian ia dikirim oleh Departemen Luar Negeri  untuk bekerja pada bagian Dokumentasi dan Sekretariat PBB di New York. Tahun 1975 ia kembali ke Indonesia dan menjadi Koordinator Program dan Pembantu Khusus Pimpinan United Nations Development Program (UNDP) di Indonesia.

Sama seperti Nani yang tersadarkan ketika menonton film. Demikian pula Amelia. Puteri pertama Jenderal Ahmad Yani ini  menonton film Amerika  Cold Mountain yang  memberikan kesan mendalam terhadap dirinya. Ceritanya,  dua tokoh sentral  Ada dan Imman, saling jatuh cinta. Tapi cinta mereka kandas di tengah jalan lantaran bapaknya Ada dan Imman kekasih Ada, mati terbunuh dalam   perang saudara yang berkepanjangan. Ada tidak mendendam kepada pembunuh bapak dan  kekasihnya. Sebaliknya ia memilih jalan  “make peace with the past”,  berdamai dengan masa lalu, sehingga dendam itu hilang.

Cerita film tersebut membuat Amelia merenung dan  membuat analogi dengan dirinya yang juga korban konflik masa lalu. Menurut Amelia, hampir di seluruh dunia pernah terjadi konflik. Amerika yang sekarang disebut negara demokratis, paling menjunjung tinggi HAM, juga memiliki sejarah hitam. Lalu dengan kesadaran tinggi terhadap pentingnya perdamaian atau rekonsiliasi, negara-negara tersebut berkembang menjadi negara yang dewasa. Suatu saat Amelia membaca di harian Kompas tentang kehidupan Pramudya Ananta Toer  sebagai Tapol di Pulau Buru, pulau yang tidak memiliki apa-apa. Mereka melakukan segalanya tanpa peralatan apapun. Membuat tempat tinggal, menggaru tanah untuk bercocok-tanam, dilakukan dengan tangan. Tak ada makanan sehingga apa saja dimakan, termasuk binatang yang tak pantas dimakan. Kisah ini sangat memukul sanubarinya, “Kenapa manusia diperlakukan seperti hewan,” dia bertanya. Amelia tergugah. Ia  ingin tahu Pulau Buru itu seperti apa.

Sesudah 14 tahun mengabdi di United Nation Development Program (UNDP) dan mengalami hal-hal kurang menyenangkan, sekitar tahun 1990-an, Amelia memutuskan masuk desa. Ia memilih tinggal di Desa Sleman, Yogyakarta, dan mengunjungi Desa Bantul yang penduduknya banyak mantan Tapol. Para tapol itu, memproduksi peralatan dari besi dan makanan seperti kerupuk rambak yang terbuat dari kulit lembu/kerbau, beternak itik, dan lain-lain. Penjualannya bagus tetapi mereka tak dapat meningkatkan produksi karena perlu modal.

“Mereka sebetulnya butuh dana hanya  5 juta rupiah tapi  tidak bisa meminjam dari koperasi atau bank karena stigma yang dilekatkan pada KTP  yaitu ET (Eks Tapol),” kata Amelia. 

Dari pengalamannya berhadap-hadapan dengan mereka, Amelia merasakan kehidupan para Tapol terisolir atau mengisolir diri karena takut. Ini ditunjukkan dengan  sikap  ketakutan bila berhadapan dengan orang yang baru dikenal.

“Saya iba  melihat keadaan mereka dan menyaksikan sikap ketakutan itu,” kata Amelia.

Di wilayah Yogyakarta itu,  Amelia membudidayakan salak pondoh di Sleman dan membuka usaha memelihara ulat sutera serta menanam pohon murbei sebagai makanannya di galangan-galangan  Bukit Menoreh dan Lereng Merapi. Dalam budidaya ini, ia memberdayakan para petani termasuk mantan Tapol tanpa ada perbedaan ketika dilibatkan dalam  memelihara ulat sutera yang makanannya daun murbei. Selama proses meleburkan diri dengan para Tapol, mereka  tidak tahu identitas Amelia yang putri Pahlawan Revolusi. Dia sengaja tak mengenalkan diri sebagai putri Pahlawan Revolusi. Hubungan mereka baik-baik saja, hingga akhirnya identitasnya terbongkar. Meski begitu, tidak ada persoalan di antara mereka.

Memang, dia mengakui sebagian masyarakat masih terpecah-pecah menerima keberadaan Tapol. Sebagian masih bimbang,  ada yang sudah menerima, sebagian lagi belum menerima mantan Tapol. Terhadap penilaian masyarakat tersebut, Amelia memilih tidak menyalahkan siapapun, karena masing-masing punya pengalaman, entah pahit, pedih.

“Saya pun pernah mengalami itu. Tapi  kalau kita meratapi terus kejadian itu, tidak akan sampai ke mana-mana. Orang luar akhirnya akan melihat bangsa kita mosok sih tidak bisa bangkit dari keadaan seperti itu?”

Di Yogyakarta Amelia giat pula  menghadiri peluncuran buku di kampus-kampus yang diselenggarakan penerbit Pustaka Sinar Harapan (PSH) yang dipimpin Aristides Katoppo. Peluncuran buku-buku terbitan PSH yang dikenal kontroversial pada jamannya sengaja  digelar di kampus-kampus di berbagai kota besar di Indonesia dan lazim dilengkapi diskusi yang mengajak mahasiswa dari berbagai lini untuk melakukan pembahasan.

Diskusi-diskusi yang dipandu Aristides Katoppo itu menabur semangat perdamaian dan rekonsiliasi.  Ketika itu pengawasan dari pemerintah Orde Baru sangat ketat terhadap kegiatan seperti itu. Meski begitu  Amelia tidak gentar dan wawasannya terhadap ide tersebut bertambah matang.

Ketika ia menjadi Ketua Umum Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) dan berkampanye, tempat nomor satu yang dituju adalah Pulau Buru di Kabupaten Buru yang beribukota Namlea,  Maluku. Ia diwanti-wanti orang-orang dekatnya, “Ibu kalau bicara di sana harus hati-hati.”

Kenyataannya, memang benar penduduk Pulau Buru bersikap takut-ketika Amelia berkunjung ke sana. Tapi dia tak gentar dan memulai berkampanye.  “Saya datang ke sini dari jauh,  ingin berjumpa ibu dan bapak sekalian, karena seperti juga ibu bapak sekalian, saya ini anak korban.” Seusai Amelia menyebut dirinya “anak korban”, sambutan menjadi hangat dan meriah.

Amelia dijamu di mana-mana, mengalir kisah masa lalu yang penuh derita. Masyarakat antusias menerima kehadiran Amelia. Tak terduga, kehadiran Amelia menghantarkan PPRN mendapat  dua kursi Anggota DPRD  Propinsi Maluku. 

Sejak Pulau Buru didiami para Tapol, keadaan daerah itu berubah. Amelia berkisah. Pulau Buru menjadi kawasan  subur dan  makmur, gemah ripah loh jinawi. Para mantan Tapol bekerja keras membangun pulau itu sehingga layak huni bahkan menjadi lumbung padi Propinsi Maluku. Mereka tidak ingin pulang ke Jakarta atau ke Jawa, lantaran sudah senang dan sejahtera di sana.

Sepulang ke Jakarta ia mengirim orgen untuk pemuda dan pemudi  Karang Taruna Pulau Buru untuk “manggung”. Tanpa pernah dia duga, pemberian orgen itu bisa menolong masyarakat Gunung Merapi yang terkena bencana letusan gunung api.

Ketika Gunung Merapi meletus, mereka menilpon Amelia, “Bu,  kami ada dana 6 juta hasil manggung, kami kirim untuk korban Merapi.” Amelia terharu, Pemberian orgen, sesuatu yang menurutnya kecil, ternyata besar artinya.

“Kita memberikan sesuatu yang kecil ternyata besar artinya. Ini mampu membangun persaudaraan, tolong menolong  antara saudara sebangsa dan setanah air.  Nilai-nilai kemanusiaan seperti inilah yang harus lebih gencar kita sebarkan dan tularkan kepada masyarakat untuk menjadikan bangsa kita bangsa yang besar.”

*Artikel ini ditulis oleh Bernada Triwara Rurit, Nina Pane dan Stella Warouw dalam buku kumpulan tulisan yang berjudul The Children Of War oleh Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang di terbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, Juni 2013

Amelia Yani saat ini menjadi Duta Besar Indonesia di Bosnia, putri dari Pahlawan Revolusi Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru