Kamis, 17 Juli 2025

Menyelamatkan Dunia Dengan Pancasila Dan Nasakom (Bagian 1)

Oleh: Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi *

Memperhatikan tanggapan banyak pihak yang pro maupun kontra terhadap tulisan saya dengan judul “Bukan Bangsa Pendendam” di Bergelora.com, salah satunya dari Mayjen TNI (Purn) Budi Sujana,  saya menulis tanggapan balik  dengan tulisan serial di Bergelora.com. Tulisan serial termaksud, juga untuk menjawab pertanyaan sejumlah pembaca tentang apa solusi yang saya tawarkan. Sudah barang tentu bagi mereka yang belum switching “mind set” dari otoriter ke demokrasi, tulisan serial termaksud bisa jadi akan menambah alasan untuk kembali menstigma saya sebagai kader PKI (Partai Komunis Indonesia) yang disusupkan ke Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Membicarakan tragedi G-30S sendiri tidak bisa lepas pengalaman pahit kekalahan tentara Amerika Serikat di Vietnam yang membawa korban meninggal dan cacat dari anak-anak muda dengan  jumlah yang tidak kecil pada masyarakat Amerika. Besarnya penolakan rakyat Amerikas Serikat dalam hal pengerahan tentara mereka untuk menghadapi bahaya komunisme membuat rumusan kebijakan baru dalam menggarap Indonesia. Apalagi geopolitik Amerika Serikat juga menempatkan Indonesia tidak boleh jadi negara komunis. Inilah yang membuat terjadinya tragedi G-30S. Dan dokumen terkait hal tersebut, kini di Amerika Serikat sendiri sudah terbuka untuk dibaca dunia.

Komunisme telah jadi bangkai. Sejumlah negara juga telah meramu sejumlah cara dari sejumlah ideologi dalam tata kelola negara. Mengapa kita harus memelihara dendam masa lalu. Bukankah masa depan negeri ini jauh lebih penting untuk dibangun bersama segenap rakyat Indonesia tanpa kecuali termasuk oleh anak-anak ex-PKI. Lantas  model tata kelola negara  bagaimana yang cocok untuk negara yang berdasarkan Pancasila tercinta ini. Itulah tugas bersama kita saat ini.

Menguji Nation-State Corporation

Francis Fukuyama, ahli sejarah Amerika Serikat keturunan Jepang yang menulis buku  berjudul “The End of History and the Last Man” (1992)  mengatakan bahwa akhir evolusi perkembangan politik adalah demokrasi-liberal dan akhir evolusi perkembangan ekonomi adalah kapitalisme. Inti dari dua sistem tersebut pada hakekatnya adalah liberalisme, yaitu liberalisme politik dan ekonomi.

Samuel  Huntington, dengan bukunya “The Clash of Civilization”  (1993) melihat arah yang berbeda. Huntington justru melihat timbulnya 5 benturan antar-peradaban. Yaitu antara delapan peradaban besar, di antaranya yang terpenting adalah Barat (Yahudi-Kristen-Yunani Kuno), Islam dan Konfusianisme  yang mendominasi peradaban Cina-Jepang. Huntington melupakan faktor Buddha, Taoisme dan Sinto yang bersama-sama dengan Konfusianime, mendominasi peradaban di kawasan itu.   

Hingga kini, baik tesis Fukuyama maupun Huntington masih menjadi kontroversi.  Globalisasi memang punya banyak sisi. Bisa dilihat sebagai gejala homogenisasi dan sekaligus hegemonisasi. Homogenisasi adalah gejala meningkatnya kesamaan di tingkat global. Sedangkan hegemonisasi adalah konsentrasi kekuasaan pada suatu negara atau peradaban  yang menciptakan pusat (core), yang merupakan hasil konsolidasi pusat hegemonik, dengan pinggiran (periphery) yang mengalami marjinalisasi.

Dewasa ini saja, telah timbul gejala paradoks, di satu pihak globalisasi sebagai gejala baru atau metamorfosis modernitas, dan dilain pihak lahir pula  gejala yang disebut pasca-modern.
Globalisasi adalah gejala penyatuan dan penyeragaman, sedangkan pasca-modern merupakan gejala desentralisasi dan keanekaragaman.  Dengan perkataan  lain, globalisasi mengandung integrasi sekaligus fragmentasi, dua gejala yang melahirkan paradoks atau kontradiktif.  Ketika modal menjadi makin mengglobal, maka identitas menjadi semakin lokal. Dengan perkataan lain, globalisme diikuti dengan lokalisme. Ketika Eropa cenderung menyatu, maka Uni Soviet justru pecah bertebaran yang melahirkan negara-negara etno-nasionalis.

Ahli Hubungan Internasional dari Universitas Georgetown, Washington D.C. Amerika Serikat, Dr. M.A. Muqtedar Khan menjelaskan globalisasi sebagai sebuah gejala yang terdiri dari tiga perkembangan utama. Pertama adalah globalisasi modal dan integrasi ekonomi menjadi satu pasar tunggal.

Kedua, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang membuat ruang menjadi cepat tidak relevan. Dan ketiga, konvergensi kepentingan di antara kelompok-kelompok dan timbulnya korporasi multinasional yang memadukan kembali kekuatan-kekuatan sosial pada tingkat global. Tiga perkembangan yang merupakan gejala tunggal itu sering juga digambarkan sebagai kemunculan sebuah masyarakat  dunia (global society) dan merupakan manifestasi dari budaya dunia (global culture).

Mirip dengan MacLuhan dengan “global village” nya, dunia ini jadi hanya sebuah desa saja. Mereka yang memandang globalisasi sebagai integrasi ekonomi, banyak berbicara mengenai “jangkauan mendunia” (global reach), dunia yang tak bertapal batas (borderless world), impian buana (global dreams) dan ujung-ujungnya ke “lenyapnya negara-bangsa” (the end  of the nation-state).

Gelombang pasar bebas dan globalisasi sedang menguji kembali konsep dan kekukuhan (soliditas) dari bentuk “negara-bangsa” (nation-state) di dunia. Gelombang ini pula yang telah mendorong semua negara untuk menata kembali “perusahaan negara bangsa” (nation-state corporation) yang sedang dikelolanya untuk bisa masuk dalam integrasi global secara elegan dan percaya diri.

Pemerintah di seluruh dunia sedang berbenah untuk merumuskan kembali peranan mereka untuk menjaga eksistensinya. Dalam era yang serba “market driven”, peran pemerintah juga akan dinilai dari kinerjanya dalam mekanisme pasar. Apakah kinerjanya mengganggu kondisi pasar, apakah kebijakannya membebani keseluruhan sistem karena tidak-mampuannya dalam menjaga keseimbangan. Apakah peran pemerintah sudah efisien dari kacamata manajemen perusahaan modern. 

Perdebatan global antara “Market Forces versus Government Forces” amat menarik.
Peran pemerintah semakin hari semakin berkurang diambil alih oleh mekanisme pasar, apalagi pemerintah yang lembam, lambat, tidak efisien ditambah lagi korup.
Maka persoalan negara gagal bukan hal yang mustahil, bahkan bisa jadi berimbas pada terancamnya eksistensi negara bangsa. Karena pemerintah semacam itu hanya akan  menjadi beban bagi rakyatnya dan buat keseluruhan sistem karena “high-cost bureaucracy”.

Pemerintah yang korup dan tidak efisien akan berhadapan langsung dengan mekanisme pasar yang semakin hari semakin menawarkan efisiensi dan biaya manajemen termurah tapi dengan layanan terbaik. Mekanisme pasar bebas ini langsung berhadapan dengan rakyat sehingga rakyat secara demokratis dapat menentukan pilihannya.

Indonesia di persimpangan jalan. Kalau tidak segera bertindak dan menyikapi globalisasi dengan tepat, maka Indonesia menuju kehancuran, tanpa disadari, namun pasti akan terjadi.

Take It Or Die

Jadi pemerintah tidak punya banyak pilihan. “Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah “The Death of Government”. Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan berperan dalam paradigma baru maka orientasi birokrasi pemerintahan seharusnya segera diubah menjadi public services management. Yang pasti high-cost bureaucarcy pada akhirnya berakibat pada kesengsaraan rakyat dan punahnya peran pemerintah.

Sebenarnya, dalam “economy circle” (lingkaran ekonomi) di era pasar bebas, dimana kekuatan kapital sangat dominan, maka peran pemerintah adalah penyeimbang lingkaran ekonomi tersebut.

Kalau diterjemah secara kongkrit, maka tugas besar pemerintah adalah pelindung lapisan masyarakat yang paling bawah melalui berbagai bentuk insentif kesejahteraan sosial ekonomi (welfare program) tidak hanya melalui sumbangan pajak dari mereka yang kuat, namun lebih dari itu melalui korporasi kerakyatan yang terorganisir dengan sistem berbasis multimedia sehingga rakyat juga bisa merasakan nilai tambah secara langsung tanpa melalui tangan-tangan elite politik dan partai-partai.

Ali Mazrui, Direktur Institute of Global Cultural Studies di Universitas Binghamton, USA, melihat adanya empat mesin (engine) globalisasi, yaitu agama, teknologi, ekonomi dan imperium (politik). Tapi yang menonjol adalah globalisasi karena teknologi, khususnya teknologi informasi dan telekomunikasi, yang mendorong globalisasi kapital untuk melakukan penetrasi ke seluruh dunia mencari tempat yang paling menguntungkan. Mesinnya adalah korporasi multi-nasional.

Memang korporasi multi-nasional adalah bentuk “negara” baru di era globalisasi. Maka, kalau negara-bangsa mempunyai peta geografi secara fisik. Peta tersebut kini diatasnya terdapat peta ekonomi yang merangkai kekuatan korporasi multinasional.

Dewasa ini kekuatan yang ada masih pada sistem dan teknologi. Lalu banyak yang mengatakan adanya pergeseran dari kekuatan sumberdaya (resource-based economy) menjadi kekuatan ilmu pengetahuan (knowlegde-based economy).  

Persaingan yang ketat sebenarnya masih terjadi pada sumberdaya mineral, sumberdaya alam karena peta politik dunia masih didominasi oleh kekuatan sistem keuangan global yang erat dibarengi oleh perdagangan emas dan minyak.

Disanalah ketimpangan antara pemilik sumberdaya mineral dengan pemilik teknologi dimulai. Karena mereka yang tidak memiliki kekayaan alam justru yang menikmatinya melalui sistem keuangan global yang mereka ciptakan.

Noam Chomsky  pernah melakukan riset tentang volume perdagangan antar negara yang disebut dengan ekspor impor, kenyataannya adalah 80% dilakukan oleh korporasi multi nasional. Inilah sektor formal yang diperhitungkan dalam indikator-indikator ekonomi makro seperti GNP (Gross National Product), GDP (Gross Domestic Product) dan lainnya.

Padahal kalau kita kembali menempatkan fokus pada manusianya, setidaknya untuk Indonesia, yang juga terjadi di negara-negara berkembang lainnya, jumlah sektor informal, yang tidak diperhitungkan dalam indikator ekonomi makro, adalah mayoritas.

Di Indonesia tercatat 99,9% karena konglomerat hanya 200 orang dibanding dengan 220 juta warga negara. Bagi para pemikir strukturalis, realita ini dianggap sumber masalah. Saya lebih cenderung memilih aliran rekonstruksionis yang melihat ini sebagai peluang.

Bagi pemerintah yang cerdas, ini adalah peluang dalam tarik-menarik kekuatan menuju “borderless world”,  “the end of nation-state” dan lain-lain yang katanya fungsi pemerintah akan tergeser oleh mekanisme pasar.

Hanya saja, pemerintah tidak mungkin dengan terus mempertahankan cara-cara lama. Kita harus berpikir “out-of-the-box”, bahkan kalau dalam buku “Blue Ocean Strategy” (Strategi Samudra Biru) disebut sebagai mencipta ruang pasar baru. Pemerintah juga jelas pasarnya, yaitu rakyat, jadi peranannya jauh lebih sederhana.

Tinggal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana tuntutan MDG (Millenium Development Goals). Masih mengacu kepada “Blue Ocean Strategy”,  kalau disitu dikatakan bagaimana membuat kompetitor tidak lagi relevan, maka sesungguhnya peran pemerintah adalah mudah sekali, karena pada dasarnya kompetitornya tidak ada.

Pemerintah itu bentuk monopoli kekuasaan. Semua sudah ada di tangan. Jadi jauh lebih mudah menerapkan strategi baru tersebut.

Adalah benar juga adanya global paradoks, dimana korporasi multi-nasional juga lah yang ikut membangun kesadaran sosial secara global. Inisiatif seperti Green Peace, One Earth for All, Soil Association, Friend of Universe, dan lainnya  terus berkembang pesat menjadi gerakan yang juga mendunia.  Ini juga peluang untuk berkolaborasi secara global.  Mekanisme pasar yang sekaligus menunjukkan peranannya secara nyata dalam hal distribusi sosial, sehingga bisa dibilang mendorong terjadinya “the death of government” bukan tidak mungkin, sebuah nation-state baru yang berbasis “wired-society” terbentuk secara pasti menurut dorongan pasar.

Inilah negara baru yang akan kita hadapi dalam waktu tidak lama lagi. Berbagai model persaingan layanan masyarakat, semakin hari semakin menunjukkan kecanggihannya. Siapa yang pandai memikat hati rakyat dengan berbagai produk dan layanan atau jasa, dialah yang akan berhasil membentuk negara baru. Fenomena Gojek.com, Uber.com, Airbnb.com dan lainnya yang mengubah tatanan sosial dalam interaksi bisnis dan sosial tidak bisa dibendung, suatu keharusan jaman karena dipaksa oleh teknologi.

*Penulis adalah Asisten Teritorial Kepala Staff Angkatan Darat ABRI (2000) dan anggota DPR-RI-Fraksi ABRI (1995-1997)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru