JAKARTA- Majelis Ulama Indonesia mendukung langkah pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu.
“MUI mendukung langkah pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa, dalam hal ini adalah pelanggaran-pelanggaran HAM yang lama belum terselesaikan,” ujar Wakil Ketua Umum MUI Kiai Haji Marsudi Syuhud saat menerima kunjungan silaturahim Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Gedung MUI, Jakarta, Selasa (1/11).
Melalui pertemuan antara Mahfud dan Dewan Pimpinan MUI yang di antaranya adalah Kiai Marsudi, Waketum Anwar Abbas, dan Sekretaris Jenderal Amirsyah Tambuna itu diharapkan kedua belah pihak dapat memberikan kontribusi bagi penyelesaian segera kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu yang diketahui terdiri atas tiga belas kasus itu.
Kiai Marsudi juga menyampaikan bahwa dalam kesempatan itu, MUI memberikan masukan agar penyelesaian tiga belas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat dilakukan melalui jalan saling memaafkan.
“Tadi, juga ada masukan dari kami, salah satunya adalah untuk saling memaafkan. Lalu, bagaimana caranya itu masih kita bahas bersama di sini,” ucap Marsudi seperti dikutip dari keterangan resmi MUI.
Pada kesempatan sama, Mahfud mengatakan penyelesaian tiga belas kasus HAM berat pada masa lalu akan berfokus kepada korban, yakni perihal pemulihan, bukan pelaku.
“Ini yang dipersoalkan dan dilihat adalah korbannya, bukan pelakunya karena kalau pelaku biarlah Komnas HAM yang mencari bukti. Mencari pelakunya sulit sekali. Kita fokus kepada korbannya,” katanya.
Mahfud juga mengatakan kedatangannya menemui Dewan Pimpinan MUI bertujuan mengenalkan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) melalui jalur non-yudisial dan membahas mengenai masa depan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Ia menyampaikan tim yang diketuai oleh Makarim Wibisono itu banyak berisi orang-orang berpengalaman. Mereka telah melihat praktik penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial di banyak negara.
Oleh karena itu, Mahfud yakin usaha pembentukan tim PPHAM non-yudisial akan sedikit membuahkan hasil dibandingkan dengan jalur yudisial yang selama ini belum menemui ujung.
Mahfud menuturkan pula penyelesaian kasus HAM berat menjadi janji Presiden RI Joko Widodo sejak periode pertama kepemimpinannya. Janji tersebut juga sejalan dengan TAP MPR yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kemudian, pertemuan kedua belah pihak juga membahas persoalan kasus KM 50 atau penembakan anggota FPI.
Mengenai hal itu, Kiai Marsudi melayangkan pertanyaan kepada Mahfud mengenai tergolong atau tidaknya kasus KM 50 sebagai pelanggaran HAM berat.
“Komnas HAM mengatakan itu (KM 50) harus diadili, tetapi bukan pelanggaran HAM berat. Saya tidak boleh masuk ke proses itu (wewenang Komnas HAM),” jawab Mahfud.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Mahfud lalu mengatakan telah beberapa kali memanggil Komnas HAM. Akan tetapi, Komnas HAM tetap mengatakan bahwa peristiwa di KM 50 itu bukan merupakan kasus pelanggaran HAM berat.
“Komnas HAM mengatakan itu bukan pelanggaran HAM berat, melainkan kejahatan berat,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
13 Kasus Pelanggaran HAM Berat
Sementara itu dalam 13 kasus ini antara lain adalah, peristiwa 1965-1966 pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia, lalu peristiwa Talangsari 1989, peristiwa Trisakti, peristiwa semanggi I dan II, peristiwa kerusuhan Mei 1998, lalu penghilangan orang secara paksa dalam kurun waktu 1997-1998.
Kemudian peristiwa Wasior di Wamena Papua, pembantaian massal dukun di Banyuwangi pada 1998-1999, Insiden Simpang KKA, Aceh tahun 1999, Jambu Keupok Aceh tahun 2003, peristiwa Rumah Geudong di rentang waktu 1989-1998, dan Painai Papua 2004.
Dari 13 kasus itu, Mahfud mengatakan bahwa lembaga yang memiliki kewenangan untuk menentukan suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat atau bukan itu hanya Komnas HAM.
“Yang mengatakan itu Komnas HAM berdasarkan sebuah penyelidikan dan keputusan sidang pleno,” imbuhnya.
Berdasarkan itu maka Komnas HAM menentukan saat ini masih 13 pelanggaran HAM berat yaitu 9 kasus yang terjadi sebelum keluarnya UU Nomor 26 Tahun 2000.
“Dan empat kasus itu terjadi setelah keluarnya UU Nomor 26 Tahun 2000. UU tersebut adalah tentang pelanggaran HAM,” ujar Mahfud. (Calvin G. Eben-Haezer)