Sabtu, 5 Juli 2025

Hubungan Strategis Indonesia Yang Jelas Tertangkap di G20 & Catatan Singkat

Oleh: Maria Pakpahan *

PERTAMA kali saya menginjak luar negri adalah perjalanan yang membuat saya mampir di Hongkong yang saat itu masih dibawah protektorat Inggris, ya tahun itu 1989 dan saya mampir ke kantor ASA (Asian Student Association ) di Hongkong. Jaman itu gerakan mahasiswa sudah membangun jaringan regional dengan serius, sempat makan siang di kawasan Kowloon.

Awal December ini dimana 2 minggu usai sudah pertemuan tingkat tinggi G20 yang dihadiri 17 kepala negra dan pimpinan institusi international seperti PBB, IMF dan juga beberapa negara yang diundang seperti munculnya Presiden Zalensky dari Ukraina secara virtual membuat G20 di Bali ini sangat kaya bumbu, dari urusan vaksin, sustainability, krisis finansial hingga hingga perang Ukraina numplek semua. Saya memperhatikan banyak juga forum pararel seperti Women 20, Religion 20, Business20, Ocean 20 hingga Music20 pun ada. Menjadi trend adalah hal yang biasa, bagian dari partisipasi publik dan kalangan dengan berbaga thema-thema yang diminati serta memang relevan.

Absennya Upaya Perdamaian

Dari begitu banyak thema yang dibahas di G20 seperti ulasan diatas, sayang sekali saya perhatikan dari 5 point pesan Presiden Jokowi di G20 tidak satupun kata perdamaian terucap.

Presiden RI Joko Widodo dan KTT G20. (Ist)

Tidak ada kata damai, yang ada agar perang dihentikan. Ini berbeda dengan makna damai. No war does not mean peace prevails. Peace is not the absent of war. Sehingga tidak cukup RI menghimbau perang dihentikan. Perlu untuk bersuara kencang agar kepentingan-kepentingan yang menggangu perdamaian dunia di bongkar, misalnya ekpansi NATO yang semaking merengsek kemana-mana dan membuat seakan akan masalah utama dan semata-mata adalah Rusia. Juga hingga kini tidak ada arahan , diplomasi untuk kedua negara dalam perang ini bernegosiasi, berdiplomasi. Sejak invasi Rusia 24 Februari 2022 memang pernah ada upaya yang dimotori Turki untuk membawa ke meja perundingan namun gagal total karena bagaimanapun pihak Ukraina tampaknya tidak melihat ini sebagai opsi atau menutup kemungkinan ini karena salah satunya, supporter terbesarnya yakni USA tidak mensupport inisiatif diplomasi. Juga Inggris yang bisa disebut sebagai pimpinan cheer leaders para negara-negara Eropa Barat untuk terus mensupplai pasokan senjata ke Ukraina menghadapi Rusia. Tanpa memikirkan ujung dari peperangan ini dimana pihak Rusia sebagai 3 dari great powers menurut realist school hubungan international (2 lainnya USA dan RRC) jika terus terpojok, tersungkur bukan tidak mungkin akan menggunakan senjata nuklir dan duniapun akan semakin tidak karuan bahkan punah.

Jadi memang tidak rasional jika segala upaya diplomasi hilang dalam perang Ukraina vs Rusia ini dan justru hampir menjadi perang proxy di awal invasi terjadi. Bisa dibilang India dan RRC cukup berkepala dingin tidak masuk dalam perangkap proxy war ini.

Indonesia perlu untuk mengadvokasi perdamaian dunia dan ini memang tidak mudah karena ini berarti Indonesia tidak usah ragu maju menjaga perdamaian di kawasan Asia Tenggara misalnya.
Tanpa perdamaian, kegiatan kehidupan masyarakat sipil, perputaran ekonomi akan jelas terganggu.

Terlebih lagi mewujudkan perdamaian dunia ini amanat konstitusi Repulik Indonesia seperti tercantum explicit dalam alinea ke 4 pembukaan UUD 1945.

Dalam konteks ini kawasan Laut China Selatan menjadi tantangan langsung diplomasi Indonesia untuk menjaga agar kawasan ini tidak menjadi medan perang antara RRC vs USA yang juga jelas membangun jaringannya di kawasan Samudra Pacific lewat terbentuknya AUKUS pakta kerjasama keamanan terbaru antara Australia, Inggris Raya dan Amerika Serikat misalnya yang menurut RRC dianggap sebagai provokasi. Indonesia perlu cerdik dan jernih melihat dinamika ini dan kepentingan rakyat Indonesia merupakan kompas dari negara Indonesia dalam diplomasi percaturan Internasional.
Indonesia juga perlu ingat bagaimana para negara besar baik secara militer maupun ekonomi tidak selalu setia dengan sekutunya. Liat saja bagaimana Korea Selatan sekutu utama USA di Asia juga ditinggalkan dan masuk ke krisis ekonomi 1997/1998/

Video Ekonomi Global Di Persimpangan:

 

Amerika dan Republik Indonesia memulai 8 hubungan kerja sama strategis. Dalam bagian ini ini saya khusus memperhatikan bagaimana RRC dan rivalitas USA tertangkap dalam G20 ini dalam hubungannya dengan Republik Indonesia.

Amerika muncul dengan inisiatif yang baru dimunculkan ke media, tidak terendus sebelumnya oleh ahli hubungan international Indonesia.

Inisiatif ini yakni 8 kerja sama strategis dengan RI di tanda tangani kedua pimpina negara dan hal ini meliputi :
Millennium Challenge Corporation (MCC) Compact.
– Sustainable Fishing and Marine Biodiversity.
– Carbon Capture.
– Coast Guard Capacity-Building.
– Investing in Food Security & Critical Supply Chains.
– Reducing Plastic Pollution.
– Greening Public Transit.
– Investing in Cutting-Edge Energy Technology

Kalangan pengamat hubungan internasional sebagian mengakui tidak menduga tahu-tahu sehari sebelum hari H KTT G20 dibuka Presiden Biden dan Presiden Jokowi bertemu dan 8 hubungan kerja sama strategis ini muncul. Tentunya tidak bim sim salabim, byar ada ! Ini tentunya sudah dipersiapkan dan munculnya 8 point ini patut dicermati, apa artinya misalnya kerja sama strategis carbon capture maksudnya apa, financial atau ahli teknologi atau kedua-duanya atau apa?

Apakah harga carbon akan dihargai setara dengan carbon trading di negara maju atau teknis mengenai carbon capture. Perlu dicatat salah satu yang terus menganjal di agenda COP27 (27th Conference of the Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change 6-18 November di kota tepi pantai Sharm-El Sheik yang juga pernah sempat saya santroni tahun 1994 saat mampir ke Mesir) adalah agenda yang meneruskan COP26 Glasgow.

Memastikan janji-janji negara maju akan memegang komitmentnya soal pendanaan proyek-proyek perubahan iklim dan juga dana mitigasi akibat kerusakan lingkungan hidup. COP27 di Mesir berdampingan dengan G20 berlangsung di Bali tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Sudah sering negara maju bikin pledge, membuat komitmen namun saat delivery tersendat atau medit. Jauh api dari panggang.

Pendek kata 8 kerja sama strategis RI dan USA perlu dilihat lebih detail, bagaimana pelaksanaanya dan siapa-badan apa yang menjadi institusi/agency yang memimpin ke 8 kerja sama diatas.

Masih dalam konteks menjaga perdamian dunia, Indonesia juga jangan lupa bagaimana USA bisa tega terhadap sekutunya dan Ukraina penting untuk Indonesia karena memang Indonesia banyak tergantung akan gandum Ukraina.RI perlu menjaga perdamaian dunia bukan semata karena kepentingan RI atas eksport gandum dari Ukraina terganggu misalnya. RI sejak 2016-2020 diposisi lebih tinggi(15%) dalam mengexport gandum dari Ukraina, diatas negara Asia lainnya seperti Thailand, Philipina dan Korea

Negara-negara utama pengimport gandum dari Ukraina rata-rata selama tahun 2016-2022. (Ist)

Memang memasuki 2023 kebutuhan pangan dalam negri Indonesia harus dijaga dan perlunya beras sudah jelas merupakan kepentingan nasional dan BULOG sebagai badan logistik nasional sudah mulai import beras. Juga sebagai negara yang penduduknya mengkonsumsi gandum (baik roti maupun mie dsbnya) Indonesia sangat tergantung akan bahan gandum dari Ukraina yang membuat posisi Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi

Kerentanan pasar domestik terhadap gandum dan Indonesia di level kerentanan yang tinggi. (Ist)

Pendek kata Indonesia dalam politik dalam negrinya dan politik pangannya perlu mengambil langkah-langkah strategis mengatasi masalah diatas dan diversifikasi pangan bisa menjadi satu langkah awal. Tidak lagi membuat makanan-makanan berbasis karbohidrat sebagai panglima dalam makanan nasional karena dampak pengasup karbohidrat melulu yang kaya akan gula adalah meningkatnya diabetes di kalangan rakyat Indonesia. Politik pangan Indonesia perlu melihat kekayaan alam Indonesia sendiri dan alternative terhadap beras dan gandum ada sorgum, jagung, singkong dll. Perlu mengkuatkan pertanian dan mensupport petani Indonesia, perlu tulisan tersendiri soal ini.

RRC dan Republik Indonesia memiliki Kerja Sama Startegis

Hubungan China dan kawasan Nusantara sudah lama berlangsung, bisa ditarik kembali ke abad 7 Masehi. Saat itu bentuk negara Tiongkok dan kawasan Nusantara belum menjadi dalam Republik Bangsa. Namun tidak bisa dipungkiri kontak, hubungan sudah terjalin dan kota Semarang bisa menjadi bukti nyata serta bukti prasasti tertulis juga ada mengenai hubungan lama ini. Saat G20 kerjasama RI dan RRC menjadi semakin solid juga dengan pertemuan bilateral antara Presiden Xi Jin Ping dan Presiden Jokowi dan melihat uji coba kereta api cepat yang akan membuat perjalanan Jakarta-Bandung dipangkas dari 3 jam menjadi 40 menit dan proyek ini bisa dibilang sudah selesai 85% sehingga di harapkan paling tidak di akhir penghujung tahun 2023 sudah selesai dan rakyat bisa menikmatinya dan RI bisa juga bangga.

Presiden Xi Jinping dan Presiden Jokowi saat meresmikan Kereta Api Cepat Jakarta Bandung. (Ist)

Soal harga ticket yang mahal, di Eropapun ticket kereta api memang mahal, mulai yang cepat seperti TGV di Perancis maupun kereta api di Inggris yang biasa-biasa saja jalannya, juga bullet train di Jepang mahal juga harganya. Bukan berarti tidak ada jalan untuk membuat ticket tercapai. Misalnya di Scotlandia, usia pensiun, semua ticket transport dibuat gratis karena memang pensiunan incomenya terbatas atau untuk student ada potongan 25% untuk membuat kartu kereta api.

Selain KA Cepat ada juga proyek RRC dan RI yang lain seperti pusat tanaman herbal di kabupaten Humbang Hasudutan Sumatra Utara, Universitas di Bali dan juga proyek di kawasan industri Kalimantan Utara hingga kerja sama pembuatan vaksin. Ini semua tidak lepas dari program RRC yang membangun Initiastif Jalur dan Sabuk (Jalan Sutra abad 21 , istilah saya) dimana RRC ingin memastikan kepemimpinannya di dunia dan juga sebagai balancing act dari sistem unipolar yang dikendalai oleh USA.
Ini semua berguna buat Indonesia dan kita perlu mengawal pemerintah agar tidak lupa mandat dari rakyat Indonesia dalam berpolitik di kancah International.

* Penulis, Maria Pakpahan pengamat politik Internasional

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru