Sabtu, 5 Juli 2025

Nah! Setara Institute: Apakah Perda Diskriminatif dan Intoleran Juga Dibatalkan?

JAKARTA- Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Kemendagri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah yang bermasalah. Pembatalan ini memecahkan rekor praktik pembatalan perda yang sejak diberlakukannya otonomi daerah terus berlangsung. Setara Institute mempertanyakan apakah pembatalan termasuk juga pada Perda Diskriminatif dan Intoleran yang selama ini telah melanggar Konsitusi UUD 45 dan Pancasila.

Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, menjelaskan bahwa sebelumnya dari tahun 2002-2009 sebanyak 2.246 perda dibatalkan. Berikutnya pada 2010-2014 sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Dan pada November 2015-Mei 2015 sebanyak 139 perda dibatalkan. Jika ditotal maka sejak 2002 hingga saat ini terdapat 7.029 perda telah dibatalkan.

“Namun, pembatalan dengan mekanisme pengawasan administratif oleh Kemendagri selaku organ pengawas pelaksana otonomi daerah tersebut hanya berfokus pada perda-perda yang berhubungan dengan pajak, retribusi, dan aturan lain yang pada intinya melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis,” jelasnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (13/6).

Sementara itu menurut pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, perda-perda yang diskriminatif dan intoleran atas dasar agama, keyakinan, peran jender, dan diskriminatif terhadap perempuan luput dari perhatian Kemendagri.

“Jikapun Kemendagri pada Mei 2015 mengklaim membatalkan perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan Aceh di atas pukul 23.00, faktanya, ketentuan tersebut tidak di atur dalam perda Aceh (qanun) melainkan Intruksi Walikota Banda Aceh No. 2 Tahun 2015, yang bukan merupakan obyek pembatalan,” ujarnya.

Dalam kelompok 3.143 perda yang baru dibatalkan, Kemendagri pun tidak merilis detail jenis perdanya. Jokowi menyebutkan bahwa jenis perda tersebut adalah meliputi (a) perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, (b) menghambat proses perizinan dan investasi, (c) menghambat kemudahan berusaha, dan (d) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Apakah pembatalan ini mencakup 21 perda diskriminatif yang pernah dikaji Mendagri? Atau apakah mencakup 365 perda diskriminatif yang dikaji Komnas Perempuan? Dan 53 perda diskriminatif atas dasar agama yang dicatat oleh Setara Institute?” ujarnya.

Ia memastikan bahwa besarnya jumlah perda yang dibatalkan menunjukkan bahwa kualitas legislasi daerah sangatlah rendah dan mekanisme preventif dalam pembentukan perda yang seharusnya dijalankan oleh Kemenkum HAM dan Kemendagri tidak berjalan optimal.

Di tengah solidaritas dan kecaman atas dampak perda diskriminatif di Kota Serang yang menimbulkan korban, seharusnya Kemendagri lebih bergegas tidak hanya berorientasi pada penghapusan faktor penghambat daya saing ekonomi tapi juga penghapusan pelembagaan intoleransi dan diskriminasi dalam perda-perda diskriminatif yang tersebar di seluruh Indonesia, karena perda-perda tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945. 

“Di atas semua itu, reformasi mekanisme legislasi daerah dan mekanisme yang memungkinkan adanya konsistensi pembentukan peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi termasuk dengan Konstitusi dan Pancasila, merupakan kebutuhan nyata dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia,” ujarnya.

Memenangkan Kompetisi

Sebelumnya, Senin (13/6) Presiden Joko Widodo membatalkan 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang bermasalah, yakni menghambat kapasitas nasional, menghambat kecepatan untuk memenangkan kompetisi serta bertentangan dengan semangat kebhinnekaan dan persatuan.

“Dari hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah terhadap peraturan daerah dan Peraturan Kepala Daerah, terdapat 3.143 peraturan,” kata Presiden saat konferensi pers di Istana Merdeka Jakarta, Senin.

Jokowi mengungkapkan ada empat kriteria Perda yang dibatalkan, yakni Perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi.

Selanjutnya Perda yang menghambat proses perizinan dan investasi, ketiga Perda yang menghambat kemudahan berusaha, dan keempat Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Saya tegaskan bahwa pembatalan ini untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, yang toleran dan yang memiliki daya saing,” kata Presiden yang didampingi Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Jokowi mengatakan sebagai bangsa besar, Indonesia harus menyiapkan diri sehingga mempunyai kapasitas nasional yang kuat sehingga mempunyai kapasitas nasional yang tangguh untuk menghadapi persaingan antar negara yang semakin ketat.

“Sebagai bangsa yang majemuk, kita juga harus memperkuat diri dengan semangat toleransi dengan persatuan di tengah kebhinekaan dengan toleransi dan persatuan,” katanya.

Untuk itu, kata Presiden, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan memiliki visi yang sama serta saling berbagi tugas.

Tjahjo menambahkan 3.143 Perda yang dibatalkan ini dinilai menghambat investasi dan pemerintah ingin memotong jalur perpanjangnya birokrasi di daerah dari paket kebijakan pemerintah yang sudah diterapkan dan daerah harus mengikutinya.

Mendagri juga mengatakan Perda yang dibatalkan ini karena menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Dia mencontohkan jika akan membuat usaha di daerah tidak perlu harus ada izin prinsip, tidak perlu harus ada izin usaha, tidak perlu harus ada IMB, tetapi cukup satu aja izin usaha.

Tjahjo juga mengatakan Perda yang dibatalkan ini termasuk retribusi-retribusi yang tidak perlu, termasuk izin-izin gangguan yang masih menggunakan peraturan jaman Belanda.

Mendagri juga mengapresiasi bahwa daftar Perda yang telah dibatalkan ini atas inisiatif Gubernur sendiri karena dinilai menghambat investasi perizinan yang terlalu panjang dan dianggap bermasalah. (Calvin G. Eben-Haezer)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru