JAKARTA- Pengumuman nama rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan yang menerima vaksin palsu oleh Menteri Kesehatan justru menyebabkan perang horisontal antara rumah sakit, dokter dan masyarakat bahkan menimbulkan kerawanan sosial yang berdampak pula pada pelayanan kesehatan lainnya. Menteri Kesehatan cuci tangan akibatnya rakyat dan dokter jadi korban. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Nasional Dokter Indonesia Bersatu (DIB) dr.Eva Sridiana, Sp.P kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (19/7)
“Adanya vaksin palsu di rumah sakit seharusnya juga menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan melalui keberadaan BPRS (Badan Pengawas Rumah Sakit) yang semestinya melakukan pengawasan dan pelaporan kepada pemerintah,” tegasnya.
Melalui pengumuman itu menggambarkan Pemerintah (Kemenkes) cuci tangan dan menimpakan keseluruhan tanggung jawab kepada rumah sakit dan pelaksana di lapangan.
“Tidak adanya koordinasi antara pemerintah dengan RS serta belum adanya SPO (Standar Prosedur Operasional) yang jelas dalam menangani korban vaksin palsu menyebabkan kegelisahan masyarakat yang memicu tindak anarkis,” ujarnya.
Ia menjelaskan, produksi dan distribusi vaksin palsu yang telah berlangsung selama 13 tahun menunjukkan tata kelola vaksin yang buruk, kurangnya peran pemerintah selaku regulator sekaligus penanggung jawab serta rendahnya pengawasan distribusi obat-obatan oleh BPOM.
“Secara tidak langsung hal ini menggambarkan buruknya Sistem Kesehatan Nasional secara keseluruhan dan kegagalan negara dalam melindungi rakyat,” tegasnya.
Untuk itu menurutnya, pemerintah wajib menciptakan situasi yang kondusif dalam penyelesaian kasus vaksin palsu agar masyarakat tetap tenang dan tidak menimbulkan masalah baru dalam pelayanan kesehatan.
“Pemerintah wajib memberikan jaminan perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan khususnya dokter dalam rangka memberikan kepastian dalam melakukan upaya terapeutik kepada pasien,” ujarnya.
DIB juga mendorong organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk segera mengambil sikap proaktif terhadap penyelesaian kasus vaksin palsu terutama terkait dengan pembentukan opini bahwa dokter secara profesi terlibat dan layak mendapatkan hukuman.
“Karena hal ini merupakan pengalihan tanggung jawab negara dalam melindungi rakyatnya di bidang kesehatan kepada profesi dokter sekaligus pembunuhan karakter dokter Indonesia yang dapat berimplikasi buruk bagi kualitas pelayanan kedokteran di tanah air,” ujarnya.
Terkait dengan dokter yang dijadikan tersangka, menurutnya IDI wajib memberikan pendampingan hukum dan mengawal proses hukum agar berjalan secara adil dan transparan. IDI harus memastikan pelayanan imunisasi berjalan dengan aman untuk pasien maupun dokter.
“Bilamana terbukti dokter hanya sebagai korban, Pemerintah harus menyampaikan permohonan maaf dan klarifikasi agar terbentuk kembali suasana yang mendukung hubungan terapeutik antara dokter dan pasien,” tegasnya. (Web Warouw)

