JAKARTA- Salah satu akar persoalan kesehatan saat ini adalah kekurangan dokter akibat Ikatan Dokter Indonesia menjadi penghambat seoramg dokter bisa praktek mengabdi pada masyarakat.
Bukan saja dokter lulusan luar negeri, dokter lulusan dalam negeripun dipersulit bertahun-tahun untuk mendapatkan surat rekomendasi IDI agar mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP).
Seorang dokter dari Aceh menceritakan pengalamannya yang sudah 10 tahun berjuang dan sampai saat ini belum mendapatkan STR dan SIP. Padahal masyarakat di provinsi Aceh sangat membutuhkan keahliannya sebaga dokter.
Karena kuatir semakin dipersulit, dokter Mawar (bukan nama sebenarnya) menceritakan kesulitannya menghadapi IDI.
“Saya lulus fakultas kedokteran tahun 2013. Sejak tahun itu sudah ikut ujian UKDI ( Ujian Kompetensi Dokter Infonesia) tapi tidak lulus juga. Sampai 2016 ujian diadakan oleh AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia) dan organisasi yang lain.
Pada tahun 2O17 saya ikut ujian di Jakarta di PB IDI melalui kolegium dokter Indonesia. Sejak 2017 sampai saat ini tetap tidak diluluskan dan saya juga sudah ikut modul.
Dari 2017-2022 saya ikut ujian setahun 2 kali dengan biaya bervariasi dari Rp2,500,00 sampai Rp 3,000,000 dan biaya lainnya.
2017-2019 ujian offline di Jakarta, semua harus berangkat ke Jakarta. Ujian itu pernah dilaksanakan di PB IDI dan pernah juga di UMJ. Penyelenggaranya PBI IDI melalui kolegium dokter Indonesia.
Dari 2020-2022 kemarin ujian pakai online melalui zoom meeting tetapi tidak lulus. Sebelumnya juga ujian yang dimodulkan tapi juga tidak lulus.
Menurut panitia kalau sudah gak lulus 4 kali akan dimodulkan dan diluluskan. Tapi saya sudah lebih.4.kali dan sudah dimodulkan tidak juga diluluskan.
Saat tanya hasil nilai.kepada pihak kolegium, kami harus membuat surat pernyataan dulu dan ada prosedur lain yang harus kami ikuti agar nilai bisa keluar.
Stadarisasi selalu kami tanyakan pada pihak penyelenggara tapi mereka tidak menjawab. Mereka bilang hanya mereka yang tahu batas kelulusan kami.
Sejak ujian 2017 yang diadakan PB IDI melalui kolegium dokter Indonesia. Tidak ada trasparansi nilai berapa target kelulusan dan nilai kelulusan tidak diberitahukan. Bahkan mau ujian offline dan online juga seperti itu.
Setiap ujian selalu kami tanyakan tapi tak pernah ada jawaban. Kadang identitas disebutkan, kadang nomor ujiannya saja. Terakhir ditahun 2022 nomor CBT (Computer Based Test) nya yang ditampilkan bukan nama atau nomor ujiannya saja.
Sekarang website kolegium tidak bisa diakses lagi. Biasanya bisa kapan saja maunliat nilai ujian, siapa saja yang sudah lulus dan lainnya.
Pada tahun 2017-2019 itu kami yang diluar Jabodetabek harus ke Jakarta untuk ikuti ujian. Nah diluar biaya yang jutaan itu, kami juga membutuhkan biaya untuk berangkat ke sana, akomodasi disana dan tidak cukup untuk satu hari. apalagi yang jauh seoerti dari Aceh.
Saya harus berangkat dari Aceh ke Medan via darat, terus terbang lagi ke Jakarta. Sampai Jakarta saya harus cari penginapan, dan biaya lainnya. Diluar ujian biaya kira Rp 10 Juta.
beberapa orang mencoba datang langsung ke IDI dan berjumpa ketua IDI yang masih di jabat dr Daeng. Saat itu kami dipertemukan ke panel ahli kolegium yaitu dr Ramlan dan dr. Akbar selama di sana. Tapi kami belum mendapatkan titik terang solusi yang bagus untuk kami.
Baru-baru ini saya ke Jakarta mewakil teman-teman saya u bertemu dengan PB IDI lagi bertemu dengan ketua IDI. Tetapi mereka menolak menemui kami. Mereka mengatakan kami harus membut janji via email. Nah janji via email sudah saya buat sejak Agustus 2022 tapi tidak ada ditanggapi oleh pihak IDI.
Saat saya tagih saat itu mengapa tidak ada respon via email. Mereka menjawab lagi bahwa saya harus melengkapi berkas lagi dan kirim via email setelah itu mereka ajukan surat ke ketua IDI. Itupun kalau masalah kami bisa diselesaikan tanpa ketemu ketua IDI maka kami tidak bisa ketemu ketua IDI langsung.
Kemarin saya hanya bertemu Humas IDI dan disuruh menyurati ulang permohonan lewat email, walaupun sudah pernah saya buat pada bulan Agustus.
Jadi saya merasa kedatangan saya ke IDI itu seperti tidak diindahkan. Sepertinya kami itu tidak penting. Kami sama sekali tidak diterima.
Kami juga sudah coba menghubungi via telpon ketua IDI langsung. Jawaban beliau wewenang tidak pada mereka mengeluarkan rekom (rekomendasi) dan lainnya. Mereka bilang itu wewenang KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) untuk mengeluarkan STR. Sedangkan kami tanya pada pihak KKI, dijawab STR baru dikeluarkan kalau sudah ada rekom dari pihak IDI sendiri.
Kami seperti dilempar kesana dan dilempar kemari seperti tidak ada kejelasan dan apa yang harus dilakukan juga tidak ada. Sampai saat.
Kami sudah bolak-balik Jakarta ke IDI meminta jalan meminta solusi, gak hanya sekali dua kali. Karena kalau untuk ikut ujian mungkin kami sudah tidak bisa dikarenakan usia kami. Saya sudah 10 tahun lulus dari 2013 sampai saat ini. Tapi tidak bisa kerja hanya karena tidak ada selembar STR. Padahal saya sudah punya sumpah. Sudah punya ijasah dokter tapi karena tidak ada STR tidak bisa bekerja. Jadi untuk apa saya kuliah mahal-mahal dalam jangka waktu lama tapi saya tidak bisa mengabdi hanya karena selembar kertas”.
Satu lagi pengalaman dokter Anggrek (bukan nama sebenarnya) yang lulus tahun 2011 dari sebuah fakultas kedokteran disebuah kampus di Jawa Barat. Selama 12 tahun sampai hari ini tidak pernah bisa praktek karena dianggap tidak lulus ujian.
“Tahun 2011 itu setelah lulus fakultas kedokteran saya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh AIPKI dan sebelumnya pernah ikut bimbingan di Bandung.
Selama mengikuti ujian AIPKI terdapat standar nilai kelulusan dan berapa nilai kita. Jadi ada transparansi sehingga kita tahu semua saat itu.
Namun, kemudian ditahun 2017 kita mulai mengikuti ujian yang diadakan kologium di PB IDi.
Selama tahun 2017 sampai sekarangpun kami terus ikut ujian tanpa jedah. Biaya yang kami keluarkan tidak sedikit
untuk sekali ikut ujian. Biaya transpor, penginapan dan akomodasi sebesar Rp5 juta sekali berangkat. Belum lagi biaya ujian UKDI sbesar Rp2,500,000 diluar lainnya.
Selama ikut ujian di kolegium kami tidak tahu standar nilai dan hasil nilai ujian kita. Kalau ingin tahu kita harus membuat pernyataan lebih dahulu.
Dengan adanya UU ini kami berharap surat rekomendasi dari organisasi profesi ditiadakan karena memang sulit didapatkan untuk pembuatan STR.
Mohon bapak Menkes dan pejabat lainnya memikirkan nasib kami yang memang sudah berjuang dari 2011 sampai sekarang.
Besar harapan kami bisa mengabdikan diri kepada masyarakat demi bangsa ini.
Forum Dokter Susah Praktek
FDSP (Forum Dokter Susah Praktek) membenarkan bahwa dokter yang praktek di daerah susah untuk kumpulkan SKP dan seminar di luar kota karena biaya seminar, tiket, penginapan dan lainnya.
“Ada ribuan dokter yang keluhannya sama seperti dua kawan di atas. Tapi mereka tidak berani bicara walau puluhan tahun dipersulit dan diperas seperti itu. Hanya beberapa orang yang berani bicara,” demikian Ketua FDSP, dr. Yenni Tan, MARS menjelaskan.
Ia mengatakan untuk dokter umum lulusan luar negeri diwajibkan harus ikut placement test, adaptasi 1 tahun, UKDI/UKMPPD, internship 1 tahun baru bisa urus STR.
“Salah satu syarat untuk STR harus sumpah dokter, sangat tidak ada guna dan menghabiskan waktu,” tegasnya.
Ia berharap alur dan proses adaptasi untuk dokter diaspor diperjelas dan transparan dan masuk akal dan menjadi lebih mudah.
“Durasi adaptasi minta tolong dinilai sesuai kompetensi dan ranking Universitas asal atau dilihat dari negara lulusannya,” ujarnya.
Ia juga memohon tidak mewajibkan untuk mengikuti Internship, jika sudah mengikuti Internship dari asal Universitas negara yang bersangkutan.
“STR dan SIP tidak seharusnya diatur oleh ormas. Hanya di Indonesia yang begini. Kami FDSP baik dalam negeri dan diaspora mendukung RUU Omnibus Law Kesehatan,” ujarnya.
Menurutnya tidak mudah menarik dokter diaspora yang sudah well established di luar negeri. Sebaiknya menurutnya tidak membuat program adaptasi wajib tapi dengan tema sukarela. (Web Warouw)