Selasa, 1 Juli 2025

Ini Cara Efisien Pertamina Masuk Ke LNG Masela

Oleh: Dr. Kurtubi *

PENEMUAN cadangan gas di lapangan Abadi, di Blok Masela, Maluku, sekitar tahun 1999-2000 adalah hasil dari Kontrak Bagi Hasil “B2B” antara PERTAMINA dan INPEX pada tahun 1998. Saat itu PERTAMINA masih memegang Kuasa Pertambangan berdasarkan UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971.

Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada diperut bumi, termasuk migas menurut Pasal 33 UUD 45 harus dikuasai oleh negara. Bentuk penguasaan oleh negara adalah dengan cara negara membentuk Perusahaan Negara dengan UU dan diberikan Kuasa Pertambangan. Untuk itu lewat UU No.8/1971 negara membentuk Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan ( PNPKP) bernama PERTAMINA yang didisain sebagai perusahaan terintegrasi yang bergerak dari hulu sampai hilir.

PERTAMINA sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, sangat dihormati dan memperoleh kepercayaan (Trust) yang tinggi dari semua perusahaan minyak dunia dan juga dari lembaga keuangan/perbankan International. Sebagai satu-satunya Perusahaan Negara yang berwenang menambang dan mengembangkan SDA migas di Indonesia.

PERTAMINA membuka pintu bagi semua investor migas International dan dalam negeri. Proses investasi dipermudah, perijinan yang dibutuhkan oleh investor diurus oleh PERTAMINA dan investor tidak dikenai pajak dan pungutan semasa eksplorasi/belum berproduksi.

PERTAMINA mendirikan Anak Perusahaan Pelita Air Service untuk melayani investor migas yang hendak melakukan eksplorasi di daerah-daerah terpencil dan dilepas pantai.

Saat itu, porsi Bagi Hasil “B2B” yang standar mencerminkan implementasi Pasal 33 UUD45 dimana negara/APBN memperoleh bagian lebih besar, yaitu 65% dan Investor memperoleh 35% setelah cost recovery. Apabila investor menemukan cadangan gas, bagi hasilnya 60% untuk APBN dan 40% untuk investor.

Cara Indonesia mengelola migas sangat disukai oleh investor. Telah mendorong investor manca negara berbondong-bondong datang ke tanah air. Indonesia dinilai berhasil mengelola SDA migasnya, sehingga menjadi negara pengekspor minyak anggota OPEC sekaligus menjadi pengekspor LNG terbesar di dunia. Malaysia secara khusus mengirim Tim ke PERTAMINA untuk belajar dari PERTAMINA. Malaysia mengeluarkan PDA (Petroleum Development Act) yang mirip dengan UU No. 8/1971 sebagai dasar lahirnya Petronas.

Undang-undang No. 8/1971

Dengan UU No. 8/1971, investasi explorasi melonjak. Produksi minyak melejit naik dari 200 ribu bph hingga mencapai 1.7 juta bph dalam waktu yang relatif singkat, ditemukan banyak cadangan-cadangan gas besar,– di Arun-Aceh, di Bontang-Kaltim, di Tangguh- Papua, di Abadi-Masela, di Natuna Utara, dan lainnya.

PERTAMINA mengembangkan cadangan-cadangan gas dengan membangun Kilang LNG di Arun-Aceh dan di Bontang-Kaltim tanpa pakai dana APBN, melainkan dengan financing dari perbankan International dengan interest rate yang lebih rendah. Produk LNG nya dipasarkan oleh PERTAMINA ke Jepang, Korea dan Taiwan. Menggunakan Kontrak Penjualan Jangka Panjang dan formula harga jual yang saling menguntungkan dengan mengacu kepada harga minyak dunia.

Pengapalan LNG ke buyers selalu on time karena ada dua Kilang LNG di bawah kendali PERTAMINA. Jika terjadi hambatan dalam pengapalan ke buyers, maka supply bisa segera diganti dari Kilang LNG yang lain yang dioperasikan oleh PERTAMINA. Begitulah Industri LNG di tanah air dikembangkan sehingga memperoleh kepercayaan yang tinggi dari pasar dan buyers.

Hasil nyata dari pengelolaan migas dengan UU No.8/1971 adalah penerimaan devisa dan penerimaan APBN didominasi oleh sektor migas. Pertumbuhan ekonomi tinggi tercapai karena export minyak dan LNG yang tinggi. Pada tahun 1977 GDP tumbuh tinggi 8,7%. Pada tahun 1980 produksi minyak mentah mencapai sekitar 1,6 juta bph, GDP tumbuh 9,88%.

Ketika harga minyak mengalami penurunan, pada periode 1980 – 1996 GDP sedikit mengalami penurunan, secara rata-rata GDP tumbuh menjadi 7,5%.

Namun semua merosot setelah UU Migas No. 22/2001 diterapkan. Produksi migas setiap tahun turun, GDP turun dari sekitar 7% , turun menjadi sekitar 5%.
Hingga sekarang ekonomi tumbuh muter-muter di sekitar 5%.

Undang-undang Migas No. 22/2001

Pengelolaan migas di tanah air berubah total setelah UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971 dicabut oleh UU Migas No.22/2001 yang merupakan kehendak IMF lewat letter of intent (LOI), ketika Pemerintah memperoleh pinjaman dari IMF saat terjadi Krisis Moneter tahun 1998. Kejayaan industri migas dan industri LNG nasional dirusak oleh kehadiran UU Migas No.22/2001 yang menciptakan sistem tata kelola yang ribet ruwet, birokratis dan Investor dibebani pajak semasa eksplorasi.

Buruknya UU Migas ini juga dicerminkan oleh fakta bahwa Mahkamah Konstitusi mencabut 17 pasal dari UU ini. BP Migas yang sudah dibubarkan, muncul kembali dengan nama SKK Migas dengan status tetap sebagai lembaga pemerintah. Kehadiran SKK Migas ikut memperparah penyakit “Ketidakpastian Hukum” yang diderita oleh industri migas nasional hingga saat ini.

Dampaknya, investor migas ramai-ramai merencanakan hengkang dari Indonesia mencari negara lain yang lebih ramah investor dan memberikan kepastian Hukum !!!

Blok Masela

Salah satunya yang paling menghebohkan adalah rencana hengkangnya Shell yang memiliki Participating interest 35% di Proyek LNG Masela. Dimana Inpex mengajukan POD (Plan of Development) untuk membangun Kilang LNG Terapung (FLNG) berkapasitas 2.5 juta ton pertahun (MTPA) dan disetujui Pemerintah pada tanggal 30 Desember 2008 dengan biaya $14,8 milyar.

Sekitar tahun 2013 – 2014 cadangan gas ditemukan lagi oleh Inpex. Tahun 2014 Inpex mengajukan Revisi POD, menaikkan kapasitas FLNG menjadi 7.5 MTPA.

Pemerintah akhirnya minta lokasi Kilang LNG pindah ke on shore/darat agar multiplier effect ke ekonomi lokal bisa lebih besar. Biaya pembangunan naik menjadi $19.3 milyar. Didalam POD yang baru Inpex memasukkan pembangunan CCS (Carbon Capture Storage ) ke dalam biaya produksi LNG.

Target produksi 2024 tidak tercapai. Padahal pada tahun 2028 Kontrak PSC Blok Masela yang ditandatanganinya dengan PERTAMINA tahun 1998, akan berakhir.

Shell berencana hengkang dari Masela. Kemudian Menteri ESDM dan SKK Migas mendorong PERTAMINA untuk membeli saham Shell sekitar $1.5 milyar – $2 Milyar secara sendiri ataupun joint bersama Petronas.

Saya sarankan, sebaiknya PERTAMINA tidak diarahkan masuk ke Proyek LNG Masela dengan membeli saham Shell. Ada potensi kerugian negara yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Sebab ada cara yang sangat efisien dan konstitusional dimana PERTAMINA bisa masuk ke proyek LNG Masela tanpa mengeluarkan uang negara.Perppu Mencabut UU Migas No. 22/2001

Perppu Cabut UU Migas No. 22/2001

Presiden punya hak Konstitusional untuk mengeluarkan PERPPU mencabut UU Migas No.22/2001 yang sudah terbukti sangat merugikan negara dan 17 pasalnya sudah dicabut MK. Sekaligus untuk menghidupkan kembali UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971, yang dicabut oleh UU Migas.

Argumentasinya pertama, solusi dengan PERPPU sudah sangat mendesak karena kondisi Industri migas dan industri LNG nasional sudah darurat. Negara harus mengimpor minyak mentah sekitar 70% dan gas LPG 80% dari kebutuhan dalam negeri.

Kedua, DPR-RI sudah dua periode gagal melahirkan UU Perubahan atas UU Migas No.22/2001.

Ketiga, sekarang untuk ke 3 kalinya, Komisi VII DPR-RI dan Menteri ESDM membahas penyusunan RUU Perubahan atas UU Migas, dimana malah Menteri ESDM diarahkan untuk tetap diposisikan sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan seperti di UU Migas No.22/2001.

Justru kehancuran industri migas dan industri LNG terjadi karena Menteri ESDM/Pemerintah tidak eligible memegang Kuasa Pertambangan.

Keempat, dengan berlakunya kembali dua undang-undang yang dibatalkan oleh IMF, maka otomatis Kuasa Pertambangan akan kembali berpindah ke PERTAMINA.

Kelima, dengan demikian secara effisien dan Konstitusional, tanpa harus membeli P.I. nya Shell, PERTAMINA otomatis masuk ke Proyek LNG Masela dan menjadi leader dalam mempercepat pembangunan Kilang LNG Masela dan memasarkan produk LNGnya dengan cara yang paling menguntungkan negara

Keenam, Langkah presiden untuk mengeluarkan PERPPU juga akan mengakhiri Ketidakpastian Hukum yang menimpa Industri Migas dan Industri LNG Nasional selama dua dekade.

Ketujuh, KPK dihimbau untuk melakukan pencegahan kemungkinan terjadinya pengeluaran uang negara untuk suatu kebijakan yang sebenarnya tidak harus terjadi. Karena ada cara/kebijakan lain yang konstitusional yang lebih menguntungkan keuangan negara. Lebih baik mencegah dari pada membiarkan peluang terjadinya kerugian keuangan negara

*Penulis Dr. Kurtubi, pakar energi, alumni Colorado School of Mines, Institut Francaise du Petrole dan Universitas Indonesia

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru