JAKARTA- Persatuan nasional adalah kata kunci dalam menghadapi situasi ekonomi politik nasional yang sedang diterpa krisis multidimensi. Sebagai warga negara, penyelenggara
negara hingga anggota militer harus segera membicarakan upaya pembangunan ekonomi
bangsa melalui industrialisasi nasional, upaya menyejahteraan nasional bukan lagi bertarung sipil malawan negara/militer yang hanya berkutat seputar isu Hak Asasi Manusia yang juga
sangat penting dalam menghadapi krisis multi dimensional saat ini. Anjangsana Budiman Sujatmiko dan Prabowo Subianto menjadi terobosan penting untuk menapaki penyelesaian kasus-kasus HAM sekaligus memulai politik nyata persatuan nasional. Hal ini disampaikan
Revitriyoso Husodo, Ketua Umum Gerak Nusantra Sejahtera dalam rilisnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (27/7).
Ia menjelasakan, dampak pandemi Covid
19 yang berlanjut dengan krisis ekonomi dunia, krisis pangan, krisis energi, krisis mata uang disamping ancaman perang dunia hingga teknologi kecerdasan buatan yang semakin tidak
terkendali.
Memaafkan, Namun Tidak Melupakan
Revi menjelaskan untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat besar haruslah mengedepankan kearifan musyawarah dengan mengupayakan ISLAH NASIONAL bagi korban proses Reformasi 1998 dan pelaku pelanggar HAM. Sehingga tragedi semacam ini tidak lagi terulang di waktu selanjutnya, maka kami mendorong proses penyelesaiannya dengan cara RESTORATIVE JUSTICE.
Sebagai bangsa yang besar, kita harus bertambah dewasa dalam bernegara namun juga harus tegas dalam menjunjung tingi kemanusiaan. Dalam hal ini
kita harus bersikap memaafkan namun tidak melupakan (forgiving but not forgetting).
Kasus tragedi tindak kekerasan negara yang dilakukan oleh alat negara pada saat tragedi 1998 banyak korban yang berjatuhan dan bahkan sampai dengan saat ini belum juga usai. Sejak reformasi tregedi 1998 Indonesia sudah mengalami 5 (lima) pergantian Presiden, B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Sekarang Joko Widodo.
Sampai saat ini nasib Widji Thukul, Herman Hendrawan, Bimo Petrus dan lainnya belum jelas di mana berada atau kuburnya hingga Yu Pon, istri Widji hukul sudah
almarhumah. Luka bangsa ini belum terobati.
25 (dua puluh lima) tahun sudah reformasi di Indonesia berjalan akan tetapi proses
penyelesaian tragedi 1998 sampai dengan saat ini sedikit mendapat titik terang dengan pernyataan Bapak Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia pada 1 Januri 2023 bahwa
negara mengakui dan menyesalkan 12 (dua belas) pelanggaran HAM yang berat yang memang
terjadi 3 (tiga) termasuk rangkaian peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat:
“Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998”; “Peristiwa Kerusuhan Mei 1998”; dan “Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999” dengan penyelesaian non-yudisial namun
“tanpa menegasikan mekanisme yudisial” .
Langkah kongkrit dengan
menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Poitik, Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) Mahfud MD untuk mengawal proses penyelesaiannya. Karena
sampai saat ini masih menyisakan persoalan yang mendasar tentang bagaimana proses
penyelesaian dan penanganan HAM masa lalu.
“Kami yang tergabung dalam Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera dalam mensikapi
tragedi 1998 hanya menginginkan adanya pengakuan negara terhadap penghilangan nyawa
secara paksa dan pemulihan hak – hak para korban. Pelanggaran HAM akan menimbulkan kerugian yang harus diderita oleh korban maupun oleh keluarga korban. Oleh karena itu
korban merupakan pihak yang harus mendapatkan pemulihan kerugian dari terjadinya pelanggaran HAM,” ujarnya.
“Sebagai contoh Islah perdamaian yang terjadi diserambi Mekah yang terjadi pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sampai dengan saat ini berjalan dengan damai bahkan banyak perubahan yang siknifikan di tanah Rencong tersebut,” katanya.
Ia memaparkan, pengakuan negara terhadap terjadinya penggaran HAM dan ganti kerugian bagi
korban pelanggaran HAM merupakan sesuatu yang selama ini diidam–idamkan, negara seharusnya bertanggung jawab dan memberikan JAMINAN HAK ASASI termasuk hak korban.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk mendapatkan keadilan (in casu pelanggaran HAM)
belum menemukan titik terang yang dapat melindungi korban. Hingga muncul sebuah pemikiran tentang kemungkinan penerapan RESTORATIVE JUSTICE, keadilan restoratif dalam pelanggaran HAM.
Sistem Hukum Pidana Indonesia mengalami babak baru, RESTORATIVE JUSTICE
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama – sama mencari penyelesaian yang
adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang
diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait, prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan
dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamian, pelaku melakukan kerja sosial
maupun kesepakatan – kesepakatan lainnya. (penyelesaian masalah hukum diselesaikan
diluar pengadilan) peyelesaian dengan cara musyawarah mufakat sesuai dengan landasan
PANCASILA sila ke 4 (empat).
Tujuan utama dari restorative justice itu sendiri adalah pencapaian keadilan yang
seadil-adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan penghukuman. Restorative Justice adalah suatu pendekatan baru dalam
bidang hukum Pidana yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad dader straftecht” para ahli hukum telah meperkenalkan formula keadilan khususnya dalam pendekatan HAM, ada 3 (tiga) aspek pendekatan untuk membangun sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum yaitu Segi Struktur, Segi Substansi, Segi Budaya yang semuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel.
Dasar Hukum Restorative Justice
Pasal 310 dan Pasal 205 KUHP, Peraturan Kejaksaan Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian
Tuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak
pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, tanggal 22 Desember 2020 Tentang Pedoman Penerapan
Restorative Justice Di Lingkungan Peradilan Umum.
Mahkamah Agung sedang dalam Proses Pembahasan Restorative Justice untuk Pelanggaran HAM.
Syarat – syarat Restorative Justice
Syarat – syarat Restorative Justice meliputi perdamian dari kedua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan perdamaian dan ditandatanagani oleh para pihak.
Pemenuhan dan pemulihan hak – hak korban.
Prinsip – prinsip dasar Restorative Justice
adalah keadilan yang dituntut adalah adanya upaya pemulihan bagi pihak yangdirugikan.
Siapapun yang terlibat dan terkena dampak dari tindak pidana harus mendapat
kesempatan untuk berpartisipasi penuh menindaklanjutinya. Pemerintah berperan dalam menciptakan ketertiban umum, sementara masyarakat
membangun dan memelihara perdamaian.
4 (empat) Nilai Utama dari Restorative Justice
berupa Encounter (bertemu satu sama lain), yaitu menciptakan kesempatan kepada pihak-pihak
yang terlibat dan memliki niat dalam melakukan pertemuan untuk membahas masalah yang
telah terjadi dan pasca kejadian.
Amends (perbaikan), dimana sangat diperlukan pelaku mengambil langkah dalam
memperbaiki kerugian yang terjadi akibat perbuatannya.
Reintegration (bergabung kembali dalam masyarakat), yaitu mencari langkah pemulihan
para pihak secara keseluruhan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Inclusion (terbuka), dimana memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terkait untuk berpartisipasi dalam penangannya.
Proses Restorative Justice dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang mengkombinasikan satu mekanisme dengan yang lain.
Adapun beberapa mekanisme yang umum diterapkan dalam restorative justice adalah berupa
Victim offender mediation (mediasi antara korban dan pelaku), Conferencing (pertemuan atau diskusi),Circles (bernegosiasi), Victim assistance (pendampingan korban), Ex-offender assistance (pendampingan mantan pelaku), Restitution (ganti rugi), Community service (layanan masyarakat)
Adapun Dalam Rertorative Justice Adanya Permintaan Masyarakat berupa Rehabilitasi keluarga korban yang masih hidup maupun korban yang masih hidup. Adanya jaminan pendidikan dan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Diberi penghormatan kepada korban yang sudah meninggal maupun yang masih hidup sebagai pahlawan reformasi 1998. Adanya permintaan maaf dari negara atas pelangaran HAM. (Calvin G. Eben-Haezer)