Oleh: Dr. Kurtubi*
KASUS terkait Importasi LNG yang dialami oleh Karen Agustiawan mantan Dirut PERTAMINA yang di vonis 11 tahun penjara bisa dikatakan sebagai “korban”,– dampak dari UU Migas No.22/2001 yang memindahkan wewenang Kuasa Pertambangan dari Perusahaan Negara PERTAMINA yang dibentuk dengan UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971.
Sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, PERTAMINA telah berhasil membangun industri LNG Nasional, dengan diawali dengan membangun KILANG LNG di Arun Aceh dan di Bontang Kaltim.
Kuasa Pertambangan yang diberikan kepada PERTAMINA oleh undang-undang, adalah semacam intengible asset yang bernilai tinggi, sehingga pihak perbankan international sangat percaya kepada PERTAMINA ketika PERTAMINA membutuhkan financing pendanaan untuk membangun dua kilang LNG, tanpa menggunakan dana APBN.
Selain PERTAMINA sangat dipercaya oleh para pembeli LNG di Jepang Korea dan Taiwan karena Supply LNG ke para Customer/Pembeli selalu on time karena PERTAMINA mengoperasikan dua kilang LNG.
Manakala kilang LNG yang satu ada maintenance/trouble sehingga tidak bisa mengapalkan LNGnya, maka otomatis akan digantikan supply nya dari kilang LNG yang satu lagi.
Harga jual LNG Arun dan LNG Bontang sangat menguntungkan negara/APBN dsn FAIR bagi para Pembeli. Dimana formula harga jualnya dikaitkan dengan harga minyak yang disepakati mengikuti harga minyak dunia yang bersifat dinamis dan fluktuatif, bisa turun dan bisa naik. Every body happy dengan formula harga jual LNG yang dibangun oleh PERTAMINA Indonesia muncul menjadi negara pengekspor LNG terbesar di dunia !!!
Penerimaan APBN dari ekspor LNG mendominasi APBN selama puluhan tahun. Pertumbuhan ekonomi sempat melejit tertinggi mencapsi 9,8% pada tshun 1980. Industri LNG yang dibangun oleh PERTAMINA mendapat pengakuan dunia.
Setelah wewenang Kuasa Pertambangan diambil dari PERTAMINA oleh Menteri ESDM/Penerintah dengan UU Migas No.22/200, cadangan gas besar yang ditemukan di Papua dan di Masela oleh Investor hulu migas, yang berwenang mengembangkan cadangan gas besar tersebut, tidak lagi PERTAMINA melainkan Menteri ESDM/ Pemerintah yang sebenarnya tidak eligible karena menteri tidak bisa dan tidak memenuhi syarat untuk memegang wewenang kuasa pertanbangan karena menteri tidak bisa melakukan kegiatan penambangan secara langsung, tidak bisa melakukan eksplorasi migas secaranya langsung, tidak bisa jual beli LNG secara langsung, tidak bisa membangun dan mengoperasikan kilang LNG atau kilang BBM secara langsung. Bisanya hanya menunjuk perusahaan atau pihak ketiga.
Wabilkhusus dalam hal mengembangkan cadangan gas besar di Papua, dan cadangan gas bedar di Masela, Menteri ESDM pemerintah menunjuk BP (British Petroleum) di Papua dan INPEX di Masela.
Kemudian fakta yang terjadi produksi LNG yang dihasilkan di kilang LNG Papua dijual murah ke Fujian China karena menggunakan formula harga jual yang sangat merugikan Indonesia dimana harga patokan minyak mentah di dalam formula harga jual dibatasi pada level yang rendah, sekitar $38/bbls.
Apabila harga minyak dunia naik diatas batas maksimal yang disepakati oleh Menteri ESDM/Pemerintah, harga jual LNG Papua ke Fujian China tidak boleh naik lagi.
Ternyata beberapa bulan kemudian, harga minyak dunia naik jauh diatas batas yang disepakati antara penjual dan pembeli.
Kondisi merugikan seperti ini terjadi bertahun-bertahun sebelum pihak buyer di Fujian China bersedia merevisi beberapa tahun kemudian.
Sedangkan pembangunan kilang LNG di Masela yang diserahkan ke INPEX tersendat terlambat bertahun, sampai-sampai SHELL sebagai patner INPEX hengkang dari Masela. Lalu Menteri ESDM lewat SKK MIGAS yang merupakan lembaga pengganti BP MIGAS yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, memerintahkan agar PERTAMINA membeli saham SHELL.
Keterlambatan kilang LNG Masela berproduksi, tidak sesuai seperti yang direncanakan semula.
Sementara produksi LNG dari kilang LNG yang di Papua sudah terikat kontrak dengan buyers. Perlu ada pembangunan tambahan kapasitas kilang Papua, ini butuh waktu.
Dilain pihak, demand/kebutuhan gas di dalam negeri terus meningkat. Baik kebutuhan PLN untuk keperluan pembangkit listrik di dalam negeri atau kebutuhan Industri dalam negeri yang berbahan baku gas.
Ketimpangan antara supply dan demand gas dalam negeri inilah yang mendorong PLN dan industri pemakai gas “berbondong-bondong” datang ke PERTAMINA untuk memenuhi kebutuhan gas mereka.
Di sisi lain, industri migas Amerika berhasil sukses mengimplementasikan teknologi gas shale sehingga produksi gas Amerika naik melejit, termasuk industri LNG menjadi kebanjiran produksi LNG yang membutuhkan pembeli.
Harga gas LNG menjadi relatif murah, termasuk di negara-negara produsen gas/ LNG yang baru, sepeti Mozambique di Afrika di mana PERTAMINA sempat juga mau membeli LNG dari Mozambique.
Munculnya kasus yang dialami oleh mantan Dirut PERTAMINA Karen Agustiawan terkait pembelian LNG dari Corpus Cristi di Texas Selatan, tidak terlepas dari dampak UU Migas No. 22/2001 yang memindahkan wewenang kuasa pertambangan dari PERTAMINA ke Menteri ESDM/Pemerintah. Sehingga wewenang untuk membangun Kilang LNG di wilayah-wilayah dimana ditemukan cadangan gas besar, seperti di Papua dan Masela berpindah dari PERTAMINA ke Menteri ESDM/Pemerintah, terjadi ketimpangan antara Supply dan Demand LNG di tanah air dimana PERTAMINA tidak terkait dengan Pembangunan kilang-kilang LNG yang baru. Namun PERTAMINA menjadi perusahaan migas yang diharapkan oleh perusahaan/ industri yang membutuhkan gas. Sehingga PERTAMINA wajar sekali merencanakan mengimpor dari AMERIKA meski jaraknya sangat jauh dari Indonesia dan harus disiapkan membangun Receiving Terminal dan Regasivication Unit di daerah-daerah yang membutuhkan gas.
Pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan ini bukan tugas PERTAMINA. Sebab kalau infrastruktur ini tidak/ belum ada, meski LNG yang diimpor dari Corpus Cristi Texas sudah dibayar dan jaraknya sangat jauh, tentu LNG nya tidak akan pernah bisa sampai di Indonesia.
UU Migas No.22/2001 sangat merugikan bangsa dan Negara. Karena Kuasa Pertambangan di tangan Esdm/Pemerintah, maka hubungan dengan investor berubah dari hubungan “B to B” manjadi hubungan “B to G” mengakibatkan proses investasi di Migas berubah yang semula prosesnya simpel dan semua perizinan yang dibutuhkan oleh Investor diurus oleh PERTAMINA sebagai penandatangan kontrak Bagi Hasil dengan investor.
Setelah UU Migas No.22/2001 proses investasi menjadi ribet birokratik. Pasal 31 UU Migas mewajibkan investor harus bayar pajak dan pungutan semasa eksplorasi. Dengan menggunakan PSC antara PERTAMINA dengan investor, tidak ada pajak semasa eksplorasi. Sebab bagian negara dalam PSC sebesar 65% dibayar setelah berproduksi karena dibayar dalam bentuk minyak hasil produksi.
Penyusunan UU Migas No.22/2001 bernuansa mirip dengan nuansa penyusunan UU Minerba No 4/2009 yang menggunakan wewenang Izin Usaha Pertambangan dimana UU Minerba ini dipengaruhi Washington.
Penyusunan UU Migas No. 22/2001 bernuansa mirip dengan nuansa penyusunan UU Minerba No.4/2009 yang menggunakan sistem Ijin Usaha Pertambangan dan Kontrak Karya seperti Zaman Kolonial, dimana UU Minerba ini patut dicurigai dipengaruhi oleh Washington Consensus yang bertujuan untuk melakukan Deregulasi, Liberalisasi dan Privatisasi atas Pengelolaan Sumber Daya Alam yg bertentangan dengan Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945.
Sementara UU Migas No.22/2001 disusun dengan mencabut UU No.44/Prp/1960 dan UU no.8/1971 yg sudah sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 dan sudah terbukti berhasil. Faktanya Mahkamah Konstitusi sudah mencabut 17 Pasal dari UU Migas No.22/2001 selain UU ini telah menyebabkan terus turunnya produksi migas nasional selama dua dekade. Sehingga negara kita harus impor migas terutama minyak mentah dan gas/LPG dalam jumlah yang sangat besar.
Saatnya Presiden RI mencabut UU Migas No. 22/2001dengan mengeluarkan PERPPU seperti yang dilakukan oleh PM Djuanda di Era Sistem Parlementer dengan mengeluarkan PERPPU Mencabut UU Pertambangan Zaman Kolonial yang kemudian PERPPU ini menjadi UU No.44/Prp/1960. Selain karena DPRRI sudah tiga periode gagal melahirkan UU Migas yg baru pengganti UU Migas No. 22/2001
*Penulis Dr. Kurtubi, pakar energi