Rabu, 23 Juli 2025

Vijay Tak Pernah Mengeluh, Setia Kawan Tanpa Batas

Oleh: Nezar Patria*

BERKALI-KALI saya bertemu Nur Widiatmaka aka Bathang aka Vijay Vije Btg dalam momen yang tidak biasa. Sewaktu kami kuliah di UGM Yogyakarta pada era 90an, saya mengenalnya sebagai seorang “jagoan”, dulu dia dan teman-temannya tak segan menyelesaikan pertengkaran dengan adu fisik. Meski tercatat sebagai mahasiswa Fisipol, jurusan Administrasi Negara, (sekarang nama jurusan itu menjadi Manajemen Kebijakan Publik), Vijay lebih kerap berkumpul dengan grup para “jago”.

Saya lupa sejak kapan dia dipanggil dengan nama Vijay. Barangkali, karena kulitnya legam dan wajahnya kerap disamakan dengan tokoh stereotip polisi di film India, “Inspektur Vijay”. Dia mungkin kurang cocok dengan peran itu, tapi juga tak ada yang memanggilnya sebagai Sarukh Khan.

Demikianlah nama Vijay melekat dalam, sampai bertahun-tahun kemudian, dan hingga teman-teman dekatnya pun nyaris lupa siapa nama aslinya. Sikap Vijay mulai berubah ketika kelompok diskusi dan aksi-aksi mahasiswa meningkat di kampus, dan dia lalu menjadi pendukung setia Tegaklima (Komite Penegak Hak Politik Mahasiswa) UGM. Kelak aktivismenya melebar hingga menjadi community organizer di luar kampus.

Perubahan sikapnya dipicu oleh hal sangat sederhana: dia tak suka Tegaklima, karena sikap kritisnya, diancam dan ditindas oleh kekuatan preman dari luar kampus. Hatinya bergetar. Dia menghimpun barisannya sendiri, sebuah unit berisi mahasiswa bernyali tinggi dan jago “gelut”, untuk mendukung Tegaklima. Semacam pengawal yang siap pasang badan dalam segala keadaan (Vijay, konon, memang jagoan sejak SMA).

Sejak saat itu pula dia rajin membaca buku dan berdiskusi dengan para lingkaran aktivis kampus. Kelak pergaulan itu mengubah cara pandangnya terhadap isu-isu sosial dan politik. Mula-mula dia membaca pemikiran politik para pendiri bangsa, terutama Sukarno dan Tan Malaka. Lalu dia beranjak lagi menguasai teori-teori kritis dan dengan meyakinkan berdebat dengan para mahasiswa yang tampil sok intelek. Saya terkesima melihat perubahannya, dia bahkan kelak menjelma menjadi aktivis mahasiwa yang tajam dan terampil mengelola organisasi di lapangan.

Vijay matang dalam berkawan, mungkin karena dia ditempa dalam berbagai medan pergaulan. Itu sebabnya, di organisasi mahasiswa pun dia membawa sifat solidaritas tanpa batas. Dia mencintai kawan-kawannya, dan kawan-kawannya pun mencintai dia. Setelah reformasi, Vijay menikah dengan Nining, seorang perempuan aktivis cum pelukis, dan mereka berdua seperti ditakdirkan sebagai pasangan tangguh dan tulus. Dalam keadaan yang sulit pun, tak pernah saya mendengar Vijay dan Nining mengeluh. Mereka berdua bahu membahu mengatasi segala persoalan. Nining seorang perempuan pemberani, meskipun pendiam. Dia adalah pelukis berbakat, pernah menjadi mahasiswi seni lukis di ISI Yogyakarta, dan juga di Fakultas Filsafat UGM.

Dalam soal setia kawan, saya hormat pada Vijay. Dia memang bukanlah tokoh yang suka berdiri di atas panggung dihujani lampu sorot dan rindu tepukan tangan. Bagi Vijay, perjuangannya selalu nyata, dan dia tangguh berada di tengah badai besar sekalipun. Dia tak pernah berburuk sangka pada kawan, dan selalu menempatkan dirinya secara patut.

Belakangan kesehatannya menurun, dan berulangkali dia harus menginap di rumah sakit. Sejam yang lalu, seorang rekan di Yogya mengabarkan, Vijay, kawan yang baik hati itu telah pergi. Saya mendadak terasa ada yang kosong. Seorang kawan yang pemberani dan baik hati telah pergi. Lahul Fatihah.

*Penulis Nezar Patria, kawan seperjuangan, Wamen Komdigi.

Artikel diambil dari FB penulis, judul dari redaksi

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru