Jumat, 24 Oktober 2025

VIJAY, IN MEMORIAM: Memilih di Tepi, Tak Terseret Arus Deras Perkubuan Politik

Oleh: AK Supriyanto*

WAKTU aku bezoek di RSA UGM beberapa bulan lalu, saat ia tergolek lemas ditemani Nining, digenggam erat tanganku.

“Aku seneng mbok tiliki,” katanya.

Divonis sakit kanker, ia tetap tabah. Sepertinya ia siap melawan ‘rezim’ sakit itu dan bakal memenangkannya.

Ngene iki yo kudu tak tompo, ikhlas,” dengan lirih namun tetap bersemangat.

Beberapa waktu sebelumnya, kami sempat berkontak via WA. Ia curious, ingin tahu, bagaimana bisa kawan-kawan seperti Jati berada di kubu Anies. Aku menjelaskan yang aku bisa. Itu setahun lebih sebelum Pilpres.

Aku iso nyambung diskusi karo kowe, nek karo Jemek ngono kae malah pengene nesu wae aku,” katanya dengan senyum lebar.

Tentu ia sedang menyatakan posisinya dalam riuh rendah catur politik yang ikut menyeret sebagian besar kawan-kawannya, meskipun dibumbui dengan hiperbola.

Ia memilih di tepi. Tidak terseret arus deras perkubuan politik. Ia hanya menekankan bahwa siapapun, bertanggungjawab atas pilihan yang diambil. Vije teguh dalam idealisme dan cita. Karena itu, ia, yang menonton dari pinggir, hendak mengingatkan bahwa tujuan besar dari politik yang dijalankan kawan-kawan tetap saja kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Tak lebih dan tak kurang.

Vijay juga menepi dalam laku hidupnya. Ia tak begitu tertarik masuk ke sektor formal, meskipun, mungkin, bisa dibantu oleh kawan-kawannya yang sudah masuk ke berbagai sektor khususnya politik pemerintahan. Ia memilih menekuni berbagai aktivitas kewirausahaaan yang membuatku kagum. Ia, di antaranya, pernah aktif dalam komunitas pehobi burung dengan aktivitas jual beli burung yang lumayan intens. Ia kaget ‘kegap’ olehku yang menanyakan perihal burung.

“Tahu dari mana bung?,” tanyanya menyelidik.

Lalu kesebut nama teman lamaku, yang melaporkan bahwa ada teman eks aktivis cum pendemo UGM yang ikut dalam komunitas mereka.

Aku mendapat kabar, Vijay berangsur pulih. Nining juga mengumumkan bahwa Vije telah rampung menjalani kemoterapi dan dinyatakan bersih.

Baru beberapa hari lalu, Nanang Kiwid, eks aktivis KPRP, mengirimkan foto ia mampir ke rumah Vijay dan Nining – yang memang jadi semacam ampiran bagi banyak teman. Vijay memakai stelan baju koko, sarung dan peci. Ia sedang siap-siap jumatan. Di foto itu, meski tubuhnya tampak kurus, senyumnya cerah. Ia hendak menghadap Tuhan dengan gembira, di Jumat terakhir tahun 2024. Tampaknya kawan satu ini benar-benar sembuh, pikirku.

Aku sebetulnya punya janji sama Nining, membawakan kaos dan topi SMID untuk Vijay. Rencananya mau kubawa ke Jogja dan kuhadiahkan untuknya. Tapi ternyata produksi kaos dan topi itu belum bisa kulaksanakan segera lantaran harus ngurus anak dan ponakan-ponakan mau masuk pesantren di Jogja.

Info mendadak bahwa ia kembali masuk rumah sakit tentu membuat kaget, apalagi endingnya menyesakkan dada.

Aku baru saja balik dari Jogja dan mengalami konstipasi: ambeienku kambuh. Tapi, rintihan sakit ambeien ini kalah nyaring dengan lolongan hati yang tersayat karena kehilangan kawan.

Bukan saja karena janji mengirimkan kaos SMID itu belum terlaksana sampai ia wafat. Kehilangan Vijay, adalah kehilangan kawan yang bisa menjadi pengingat dalam lirih tentang cita-cita aktivisme, yang baginya, tak pernah usang dan terus relevan didengungkan.

*Penulis AK Supriyanto, kawan seperjuangan

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru