JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, dirinya tidak setuju terhadap wacana kenaikan gaji hakim jika alasannya adalah untuk mengurangi praktik korupsi.
“Naik gaji hakim saya tidak setuju kalau artinya kalau naik gaji hakim itu alasannya karena korupsi. Kalau memang untuk kesejahteraan biasa, setuju lah naikkan. Jangan hanya hakim, semua sama,” kata Mahfud dalam program Gaspol! Kompas.com, dikutip Bergelora.com Rabu (14/5/2025).
Menurut Mahfud, praktik korupsi di kalangan aparat penegak hukum bukan disebabkan oleh rendahnya gaji, melainkan karena keserakahan.
Ia menilai, nilai korupsi yang mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah tidak masuk akal jika hanya dikaitkan dengan alasan kesejahteraan.
“Gini, naik gaji hakim karena banyak korupsi. Ini banyak korupsi ini orang tidak kurang uang. Gimana kalau karena kesejahteraan? Tidak mungkin sampai nyimpan uang di atas Rp 10 miliar. Ini sampai ratusan miliar, triliunan. Itu bukan karena gaji tidak cukup, itu karena serakah,” tegas Mahfud.
Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu kemudian membandingkan kondisi saat ini dengan situasi pada masa Orde Baru.
Menurut Mahfud, pada masa lalu, isu hakim yang terlibat korupsi menjadi sesuatu yang sangat sensitif dan jarang terjadi.
“Nah, dulu pada zaman Orde Baru itu sensitif sekali lho kalau hakim ada hakim korupsi itu, sehingga dulu menjadi berita luar biasa kalau ada hakim korupsi. Saya kira sepanjang ingatan saya hakim korupsi yang menjadi berita itu satu atau dua, itu pun ya kecil,” ucap Mahfud.
Mahfud juga menceritakan bahwa praktik pemberian hadiah kepada hakim di masa lalu kerap terjadi tanpa ada perjanjian sebelumnya, dan biasanya hanya berupa bentuk syukuran usai perkara diputus.
“Tapi ada kecil-kecilan cara (terima hadiah hakim yang) gajinya kecil itu tadi. Saya punya contoh ya, dia mendapat uang dari orang yang punya kasus tapi bisa dikatakan halal. Gimana caranya? Dia periksa perkara itu benar diputus, lalu yang menang itu datang syukuran bawa singkong, bawa beras, itu hakim-hakim miskin,” ujar Mahfud.
Ia menyebut salah satu temannya, Wahid Oscar, seorang hakim yang menurutnya jujur dan sempat bercerita soal praktik seperti itu.
“Saya punya teman namanya Wahid Oscar, bagus, masih hidup sekarang tapi sudah pensiun. Dia jadi hakim di mana-mana cerita.
‘Mas, sampean pernah nerima pemberian tidak dari orang berperkara?’ ‘Iyalah, tapi sesudah perkara diputus mereka syukuran, ada yang bawa ayam, bawa buah-buahan, ada ngasih amplop juga. ‘Saya syukuran, tidak ada perjanjian di depan.’ Itu waktu itu hakim gajinya kecil banget,” tutur Mahfud. (Web Warouw)

