JAKARTA- Anggota Komisi II DPR Romy Soekarno mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mulai memikirkan transformasi pemilu berbasis digital melalui sistem electronic voting (e-voting) dan teknologi digital lainnya. Dia mengatakan, penggunaan teknologi dalam pemilu bukan lagi sekadar wacana futuristik, melainkan langkah strategis yang harus dilakukan demi mewujudkan demokrasi yang efisien, transparan, dan minim kecurangan.
“Saya ingin KPU untuk bisa berpikir teknokratik bahwa demokrasi 5.0 itu perlu enggak sih buat Indonesia? Contohnya transformasi menuju e-voting,” ujar Romy dalam rapat kerja Komisi II DPR bersama KPU dan Bawaslu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/7/2025).
Politikus PDI-P itu menilai, e-voting sudah sangat mungkin diterapkan di Indonesia pada Pemilu 2029. Rencana Anggaran Polri Naik, DPR Bandingkan Gaji Polisi Indonesia dengan Malaysia-Brunei.
Menurutnya, teknologi seperti face recognition, sidik jari, dan e-KTP bisa dikombinasikan dalam proses verifikasi pemilih di TPS. Apalagi, pemungutan suara bisa dilakukan melalui tablet yang tersedia di TPS, di mana setiap pemilih akan langsung memilih dengan menyentuh layar. Setelah memilih, maka akan tercetak lima lembar bukti suara pemilih, yaitu untuk KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, dan saksi partai. Hasil suara akan langsung masuk ke server pusat secara real time tanpa perlu input manual.
Romy menekankan, penghematan anggaran pun bisa dilakukan secara signifikan. Dia meyakini biaya pemilu dapat ditekan menjadi sekitar Rp 52 triliun sampai Rp 58 triliun. Lalu, selain efisiensi dan keamanan, e-voting dinilai mampu menekan berbagai bentuk kecurangan yang selama ini kerap terjadi dalam pemilu konvensional berbasis kertas.
“Karena kan saya melihat zaman dulu itu kertas banyak sekali yang menjadi titik curang. Sehingga 100 persen dari kecurangan kertas dapat dihindari,” kata cucu Bung Karno itu.
“E-Voting” Harus Dimatangkan
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menilai, sistem pemungutan suara elektronik atau e-voting perlu dimatangkan apabila ingin diterapkan pada pemilihan kepala daerah (pilkada).
Bima mengatakan, meski e-voting relatif siap untuk pemilihan di tingkat desa dan kelurahan, sistem ini masih harus disempurnakan untuk jenjang pemilihan yang lebih kompleks.
“Ya kalau di desa itu relatif siap sebetulnya. Karena teknologinya sederhana. Nah kalau ditarik ke kota kabupaten tentu perlu sistem yang lebih matang,” kata Bima di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).
Bima mengatakan, saat ini pemerintah terus memaksimalkan penggunaan e-voting untuk pemilihan kepala desa agar siap dibawa ke ranah pemilihan tingkat nasional.
Mantan wali kota Bogor ini juga tidak memungkiri bahwa implementasi e-voting pada pemilihan tingkat daerah atau nasional bisa saja diusulkan lewat revisi UU Pemilu.
Namun, Bima menekankan bahwa itu semua bergantung pada kesepakatan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR.
“Ya tergantung kesepakatan dari pemerintah,” kata politikus Partai Amanat Nasional tersebut.
Diberitakan sebelumnya, Bima menyebutkan bahwa sistem e-voting telah terlaksana di 1.910 pemilihan kepala desa sejak tahun 2013-2024.
Usulan terkait e-vote ini pernah diungkapkan oleh anggota Komisi II DPR-RI Rahmat Saleh yang menilai sistem e-voting ini bisa menekan biaya dan meningkatkan partisipasi generasi baru.
“Terkait bagaimana pemilu elektronik dan digitalisasi, itu bisa menjadi perhatian khusus dan menjadi draf untuk pembahasan tahapan ke depan,” ujar Rahmat, 4 Februari 2024, dilansir dari Antara.
Namun, yang menjadi catatan adalah kesiapan infrastruktur yang harus disiapkan, juga koordinasi yang melibatkan antar kementerian/lembaga. Pada Pemilu 2024 lalu, pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga belum mempertimbangkan penerapan e-vote karena infrastruktur digital yang belum merata serta faktor kepercayaan publik terhadap mekanisme tersebut. Ketua KPU pada saat itu, Hasyim Asy’ari, menyebutkan bahwa keamanan data suara juga menjadi sorotan jika e-vote diterapkan.
“Pertanyaannya, siapa yang bisa melacak server (yang berisi data suara), padahal pemilu ada aspek rahasia. Kalau kemudian datanya dipertanyakan, jangan-jangan digeser atau terbaik, itu yang menjadi pertimbangan hakim MK di Jerman membatalkan (e-voting), kembali pakai surat suara manual, kertas,” ujar Hasyim, 22 Maret 2022 lalu. (Web Warouw)