JAKARTA – Plt Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Pelayaran KNKT, Anggiat, menyebut air laut pertama kali masuk ke KMP Tunu Pratama Jaya melalui kamar mesin. Walhasil, kapal pun tiba-tiba miring ke kanan. Hal tersebut disampaikan Anggiat dalam rapat Komisi V DPR bersama Menhub dan KNKT di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (8/7/2025).
“Setelah sekitar 30 menit pelayaran, mualim jaga di anjungan merasakan kemiringan kapal ke sebelah kanan. Kemudian, juru mudi jaga dan kelasi jaga melihat air laut masuk ke kamar mesin melalui pintu kamar mesin. Juru minyak jaga yang juga berada di kamar mesin melihat hal yang sama,” ujar Anggiat.
Anggiat menjelaskan, setelah menyadari air laut masuk ke kamar mesin, juru minyak berlari keluar dari ruangan tersebut. Selanjutnya, mualim jaga memerintahkan awak kapal untuk membantu penumpang mengenakan life jacket dan bersiap untuk proses evakuasi.
“Sementara nakhoda yang saat itu sedang beristirahat segera dibangunkan oleh mualim jaga,” ucapnya.
Anggiat mengatakan, nakhoda pun segera mengambil alih kemudi dan memancarkan berita marabahaya di radio VHF frekuensi 16.
Tidak lama berselang, bagian belakang kapal bergeser dan bertumpu ke sisi kanan, di mana hal ini menyebabkan kapal semakin terus bertambah kemiringan sebelah kanan.
“Yang pada awalnya dalam keadaan masih perlahan-lahan kemudian semakin cepat (tenggelam),” tutur Anggiat.
“Beberapa menit setelah panggilan darurat, kapal mulai tenggelam dengan kondisi buritan atau bagian belakang kapal tenggelam terlebih dahulu sambil miring ke kanan,” sambungnya.
Menurut Anggiat, sebenarnya ada beberapa kapal lain di sekitar KMP Tunu Pratama Jaya. Namun, mereka kesulitan melakukan evakuasi karena kondisinya terlalu gelap.
“Kapal Gilimanuk 1 dan Tunu Pratama 3888 yang juga ada di sekitar lokasi mencoba menyoroti lampu ke arah Tunu Pratama Jaya, namun kesulitan juga untuk mengenali obyek terabung karena kondisi dalam keadaan gelap,” imbuh dia.
Tak Ada Anomali
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap, tak ada anomali atau keanehan saat KMP Tunu Pratama Jaya bertolak dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Pelaksana tugas (Plt) Ketua Subkomite Investigasi Kecelakaan Pelayaran KNKT Anggiat bahkan menyebut, mesin KMP Tunu Pratama Jaya beroperasi dengan normal saat bertolak pukul 22.51 WIB. Hal tersebut disampaikannya dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR, pada Selasa (8/7/2025).
“Ketika kapal bertolak, tidak ada anomali atau kemiringan atau keadaan yang tidak biasa. Kemudian juga mesin beroperasi dengan normal. Visibilitas atau jarak pandang juga cukup baik. Tidak ada hujan dan tidak berkabut,” ujar Anggiat, Selasa (8/7/2025).
Ketua Komisi V DPR Syaiful Huda mendesak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menginvestigasi penyebab tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali. Tegasnya, satu nyawa sangatlah berharga dan harus menjadi bahan evaluasi Kemenhub dalam hal perlindungan penumpang transportasi laut.
“Satu nyawa sangatlah berharga. Hilangnya 6 nyawa dan 27 korban belum ditemukan dalam insiden ini menjadi bukti bahwa perlindungan terhadap penumpang kapal masih lemah. Investigasi menyeluruh harus dilakukan untuk mengungkap penyebab pasti kejadian ini,” ujar Huda dalam keterangannya, Senin (7/7/2025).
Sebelum Tenggelam
Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi terhadap sistem perizinan pelayaran, khususnya dokumen Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang menjadi syarat mutlak kapal untuk dapat beroperasi. Sebab berkaca pada kasus KMP Tunu Pratama Jaya, ada dugaan kelalaian yang menyebabkan kapal tersebut tenggelam.
“Jika terjadi kebocoran mesin, perlu ditelusuri apakah ada kelalaian dalam pemeriksaan kelayakan sebelum keberangkatan,” ujar Huda.
Di samping itu, kasus KMP Tunu Pratama Jaya juga harus menjadi momentum bagi Kemenhub dalam memperkuat keselamatan dalam pelayaran. Apalagi Indonesia merupakan negara maritim, di mana kapal menjadi salah satu moda transportasi utama masyarakat kepulauan.
“Sudah saatnya keselamatan transportasi laut mendapat perhatian yang lebih serius. Kita tidak boleh lagi menganggap ini sebagai kejadian biasa. Apalagi, Indonesia adalah negara maritim,” ujar Huda. (Enrico N. Abdielli)