JAKARTA – Sebanyak 13 perguruan tinggi ternama di Indonesia menjadi sorotan dalam Research Integrity Risk Index (RI2) terkait kualitas
publikasi yang dihasilkan. Lima di antaranya masuk zona merah (risiko tinggi) yakni Universitas Bina Nusantara, Universitas Airlangga, USU, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Sebelas Maret.
Kemudian tiga perguruan tinggi ada di zona oranye (risiko sedang tinggi), yakni Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, dan Universitas Padjadjaran.
Sementara lima lainnya berada di zona kuning (risiko sedang), yakni ITS, UI, ITB, IPB, dan UGM.
Indeks ini menilai integritas riset kampus berdasarkan dua indikator utama, yakni jumlah artikel yang ditarik karena pelanggaran etik dan proporsi artikel yang diterbitkan di jurnal bermasalah atau telah dicabut dari basis data internasional.
Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) Togar M. Simatupang mengimbau kepada seluruh perguruan tinggi untuk tidak hanya mengejar jumlah, tetapi juga harus meningkatkan kualitas publikasi sehingga menjadi bermutu dan berdampak.
“Publikasi hendaknya jangan lagi mengejar jumlah, tetapi mutu dan dampak, misalnya menyasar jurnal bereputasi dan sitasi, bahkan produk yang digunakan oleh industri maupun masyarakat luas,” katanya seperti dikutip Bergelora.com di Jakarta, Rabu (9/7)
Togar mengatakan, hal ini memerlukan upaya yang serius untuk menumbuhkan kesadaran integritas akademik agar perguruan tinggi Indonesia dalam riset tersebut bergerak menuju risiko minim, zona hijau atau putih.
Menanggapi adanya penelitian tersebut, ia mengaku menyambut riset tersebut dengan baik, sebagai pelajaran dan kaca perbandingan pendidikan tinggi di Indonesia.
“Hasil penelitian yang pantas disambut dengan baik sebagai reflektif perlunya perguruan tinggi di Indonesia tetap berkomitmen meningkatkan mutu dan integritas akademik,” ujarnya.
Secara makro, Togar menilai, penelitian tersebut menunjukkan bahwa dosen-dosen di Indonesia yang mewakili perguruan tingginya berada pada taraf balig.
Togar mengakui, saat ini, pemerintah memang belum melakukan evaluasi menyeluruh terhadap integritas riset di tingkat institusi, tetapi mekanisme evaluasi terhadap individu sudah berjalan. Pemeriksaan dilakukan, antara lain saat pengajuan kenaikan pangkat dosen, dengan pengecekan aspek plagiarisme dan rekam jejak akademik.
“Sudah ada sistem evaluasi yang mencakup pencegahan dan penindakan. Kalau ada pengaduan atau laporan, kita bentuk tim pemeriksa. Tapi, secara institusi, memang belum ada evaluasi menyeluruh,” kata dia.
Tentang RI2 Research Integrity
Kepada Bergelora.com.di Jakarta dilaporkan, Risk Index (RI2) merupakan hasil riset yang mengukur proporsi jurnal yang telah ditarik dari publikasi ilmiah secara global. Indeks ini menjadi metrik gabungan pertama di dunia yang berbasis data empiris dan dirancang untuk memetakan tingkat risiko institusi terhadap integritas riset mereka.
RI2 dikembangkan oleh Prof Lokman Meho dari American University of Beirut. Ia merancang indeks ini sebagai respons atas kekhawatiran yang semakin besar terhadap sistem pemeringkatan universitas dunia yang dinilai terlalu mendorong publikasi dalam jumlah besar dan banyak kutipan tanpa mempertimbangkan kualitas serta integritas ilmiahnya.
Penilaian dalam RI2 dilakukan dengan mengacu pada dua indikator utama yang bersifat independen dan dapat diverifikasi.
Dalam laporan tersebut, terdapat setidaknya 13 perguruan tinggi terkemuka Indonesia (negeri dan swasta) yang menjadi sorotan dan disebut dalam bahaya integritas riset. (Web Warouw)