JAKARTA – Polemik penertiban kawasan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau, terus bergulir. Tindakan Satuan Tugas Penanganan Kawasan Hutan (Satgas PKH) dalam melakukan relokasi masyarakat dan menebang kebun sawit ilegal memicu reaksi beragam dari berbagai kalangan, termasuk aksi demonstrasi dan pengaduan ke lembaga negara.
Rentetan peristiwa dimulai pada 18 Juni 2025, ketika ribuan masyarakat yang terdampak rencana relokasi menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Riau. Mereka menolak relokasi yang direncanakan Satgas PKH dan menuntut Gubernur Riau untuk memfasilitasi pertemuan dengan pemerintah pusat. Gubernur Riau pun menyanggupi permintaan tersebut dan berjanji mengupayakan pertemuan paling lambat 18 Juli.
Tak berselang lama, pada 24 Juni, aksi tandingan muncul dari kelompok masyarakat yang mendukung upaya penyelamatan gajah di TNTN serta langkah-langkah relokasi yang dilakukan Satgas PKH. Suara pro-kontra terus bergulir.
Tanggal 2 Juli, masyarakat terdampak mengadukan persoalan ini ke Badan Aspirasi DPR RI. Dua hari berselang, pada 4 Juli, mereka juga menyampaikan laporan ke Komnas HAM, dengan tuduhan adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh Satgas PKH.
Sementara itu, Satgas PKH mulai mengambil langkah tegas. Penebangan terhadap kebun sawit ilegal di kawasan TNTN dilakukan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kebun sawit yang diduga milik oknum anggota DPRD, dengan luas mencapai ratusan hektar.
Menanggapi perkembangan ini, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) sekaligus Direktur AZ Law Office & Conflict Resolution, Ahmad Zazali, SH., MH., menilai langkah Satgas PKH sudah berada di jalur yang benar, namun belum sepenuhnya adil jika pemilik kebun sawit ratusan hektar tidak dikenai sanksi administratif berupa denda.
“Kami mendukung upaya penertiban, tetapi sesuai ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021, pemilik kebun sawit skala besar di kawasan hutan seharusnya dikenai sanksi administratif berupa denda,” ujar Zazali kepada dikutip Bergelora.com di Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2021, yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), menurut Zazali, menekankan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum. Artinya, pendekatan pidana seharusnya menjadi langkah terakhir. Oleh sebab itu, penyelesaian kebun sawit ilegal di kawasan hutan dibagi dalam dua kategori.
“Pertama, untuk badan usaha dan perorangan yang mengelola lahan lebih dari 5 hektar, dikenakan sanksi denda administratif. Kedua, untuk masyarakat yang telah tinggal paling singkat 5 tahun dan mengelola lahan tidak lebih dari 5 hektar, mereka tidak dikenai sanksi denda.
Sebaliknya, penyelesaiannya melalui program penataan kawasan hutan seperti Perhutanan Sosial, Kemitraan Konservasi, atau TORA,” jelas Zazali.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa penyelesaian untuk kelompok pertama juga disesuaikan dengan jenis kawasan hutan. Bila sawit berada di hutan produksi, maka pemilik bisa mengajukan persetujuan penggunaan kawasan hutan selama satu daur (25 tahun) atau menjalin kemitraan dengan pemegang izin kehutanan bila lahannya tumpang tindih.
Namun, jika sawit berada di kawasan hutan lindung atau konservasi seperti TNTN, maka tidak ada kompromi: kawasan hutan harus dikembalikan ke negara. Hal ini yang sedang dilakukan Satgas PKH saat ini.
“Namun perlu ditekankan, pengembalian kawasan saja tidak cukup. Pemilik kebun sawit skala besar wajib membayar denda administratif sesuai Pasal 33. Hal ini penting agar tidak muncul ketimpangan perlakuan hukum, di mana masyarakat kecil justru yang dipaksa hengkang, sementara pemilik modal besar lepas dari kewajiban,” tegas Zazali.
Zazali juga mengingatkan pentingnya keadilan hukum dalam penanganan konflik tenurial di kawasan hutan. Menurutnya, proses hukum harus membedakan antara masyarakat kecil yang bertani untuk bertahan hidup dengan korporasi atau individu yang melakukan ekspansi besar-besaran demi keuntungan semata.
“Penerapan hukum yang adil adalah kunci keberhasilan penyelesaian konflik agraria. Satgas PKH perlu menunjukkan bahwa hukum berlaku sama bagi semua, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” pungkasnya. (Enrico N. Abdielli)