JAKARTA – The New York Times merilis daftar 100 film terbaik pada abad ke-21.
Dari deretan judul karya-karya tersebut, ada satu film yang mengangkat tentang sejarah Indonesia.

Film tersebut adalah dokumenter panjang berjudul Jagal: The Act of Killing.
Jagal yang dirilis pada 2012 berhasil menempati urutan ke-82.
Pembunuhan Massal 1965
Film ini menggambarkan kisah kelam Indonesia pada tahun 1965 lewat sudut pandang pelaku pembunuhan massal.
Salah satu tokoh yang diangkat dalam film ini adalah Anwar Kongo.
Anwar menceritakan bagaimana semua proses pembunuhan massal itu dilakukan olehnya bersama teman-temannya.
Pada beberapa adegan, Anwar bahkan membayangkan bagaimana senjata tajamnya dikuburkan ke arah korban.
Sesekali, Anwar menari-nari sebelum melakukan pelaut sebagai “penjagal.”
Jagal: The Act of Killing menampilkan sisi Anwar Congo dan teman-temannya yang dulu sangat dihormati karena aksi kejamnya.
Namun, di sisi lain, Anwar dan beberapa temannya mulai merasakan penyesalan atas perbuatannya pada masa itu.
Bukan Film Produksi Indonesia
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Film Jagal: The Act of Killing dibuat oleh sutradara Joshua Oppenheimer. Sebagian besar gambar diambil di Medan, Sumatera Utara.
Setelah merilis Jagal: The Act of Killing, Joshua Oppenheimer melanjutkan perjalanannya dengan merilis Senyap: The Look of Silence.
Sama seperti Jagal, Senyap juga menampilkan tragedi pembunuhan massal di Indonesia pada periode 1965-1966. Kedua film ini dilarang diputar di Indonesia
Nominasi Oscar
Selain mendapatkan nominasi Oscar, ‘the Act of Killing’ juga sudah meraih berbagai penghargaan bergengsi, antara lain European Film Award untuk kategori film dokumenter terbaik dan Panorama Audience Award.
Film dokumenter ini juga juga memenangkan penghargaan di festival film International di Berlin dan menyabet penghargaan Aung San Suu Kyi pada Human Rights Human Dignity International Film Festival tahun 2013..’
Dilarang Di Indonesia
Pemerintah Indonesia, Jumat (24/1/2014), mengeluarkan tanggapan terkait film dokumenter “The Act of Killing” yang masuk nominasi Oscars dalam katagori film dokumenter terbaik. Film yang mengupas pembantaian besar-besaran di Indonesia pada 1960-an itu ternyata dianggap memberikan citra buruk untuk Indonesia di mata komunitas internasional.
“Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara yang kejam dan tak berhukum. Film itu menggambarkan pada 1960-an Indonesia sangat terbelakang. Itu tidak sesuai kenyataan,” kata juru bicara kepresidenan Indonesia, Teuku Faizasyah.
“Harus diingat bahwa Indonesia sudah melalui sebuah reformasi. Banyak hal berubah. Persepsi satu orang seharusnya tidak terpengaruh hanya oleh satu film,” tambah Faizasyah.
Faisazyah mengatakan banyak negara di dunia memiliki masa-masa kelam dalam sejarahnya, sehingga jangan terlalu mudah menghakimi sebuah negara.
“Kita ingat sejarah perbudakan di Amerika Serikat, diskriminasi suku Aborigin di Australia, pengeboman Vietnam oleh AS. Ada elemen kekerasan terhadap kemanusiaan dalam semua peristiwa itu,” lanjut Faizasyah.
“Harus diingat kejadian di Indonesia itu terkait konteks perang dingin dan perang melawan komunisme,” Faizasyah menegaskan.
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pembunuhan massal pada 1960-an itu sebagai sebuah pelanggaran HAM serius dan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meski demikian, tak satu kelompokpun yang dimintai pertanggungjawabannya atas kebrutalan yang meluas mengincar sebagian besar pengikut komunis menyusul upaya kudeta yang gagal pada 1965.
Tak hanya Indonesia yang “meradang”, masuknya “The Act of Killing” dalam nominasi Oscars juga memicu kemarahan di China. Sebab, dalam film itu, komunitas warga keturunan China ikut menjadi korban pembantaian pada 1960-an itu. (Web Warouw)