JAKARTA – CEO Danantara Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani, menanggapi isu soal rencana Sovereign Wealth Fund (SWF) tersebut yang dikabarkan akan mengakuisisi sebagian besar saham PT Bank Central Asia (BCA) Tbk.
Rosan pun menjelaskan adanya isu tersebut. Ia memastikan saat ini tidak ada rencana dari Danantara untuk mengakuisisi sebagian besar saham BCA.
“Enggak ada,” jawabnya singkat saat ditemui setelah menghadiri rapat tertutup bersama Komisi XI DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Saat dipastikan apakah sudah ada pembicaraan terkait rencana itu, Rosan tidak memberikan jawaban. Ia tetap berjalan meninggalkan media yang terjaga.
Isu Pengambilalihan Paksa 51% Saham
Sebelumnya publik dikejutkan oleh kabar usulan pengambilalihan 51% saham BCA secara paksa oleh negara melaui Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia).
Isu ini dikaitkan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang digelontorkan negara kepada BCA setelah bank tersebut dilanda rush saat Indonesia diguncang krisis moneter tahun 1998, berlanjutnya program divestasi yang dinilai bermasalah.
Kabar ini telah menimbulkan sentimen negatif di lantai bursa, ditandai dengan penurunan harga saham emiten bersandi BBCA tersebut. Secara year to date (ytd) atau sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu (Jumat, 15/8/2025), harga saham BBCA anjlok 10% ke level Rp 8.700.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Bola panas ini dilontarkan Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) yang juga ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Sasmito Hadinegoro. Sebelumnya, pada Juni 2023, Sasmito meminta skandal BLBI yang terkait dengan BCA dibongkar dan diumumkan kepada publik.
Belum ada penjelasan rinci dari mana angka 51% saham BCA yang diusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk diambil alih tersebut.
Isu agar saham BBCA diambil alih negara berembus semakin kencang setelah Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR/anggota Komisi XIII DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Ahmad Iman Syukri, mendukung usulan ini.
Kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (20/8) dilaporkan, kontroversi penjualan saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) sehubungan dengan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali menjadi sorotan, setelah lebih dari 20 tahun berlalu.
Berbagai kalangan, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mendorong pemerintah untuk mengusut kasut ini. Bahkan, sejumlah pihak menyebut pemerintah berhak untuk mengambil 51% saham BBCA, tanpa harus bayar.
Menurut pengamat ekonomi, masalah utama dari perkara ini bukan sekadar siapa pemilik BCA sekarang. Ekonom, Yanuar Rizky mengatakan persoalan dari perkara ini adalah kepastian hukum dan keadilan.
Ia mengatakan yang bisa dilihat dari perkara ini adalah valuasi aset yang diserahkan ke negara oleh pemegang saham lama, yakni Grup Salim. Selain itu, harga jual BCA saat dari pemerintah kepada investor baru, yaitu Grup Djarum.
Yanuar menjelaskan duduk perkaranya dimulai saat bank yang saat ini merupakan bank swasta terbesar RI menerima BLBI. Adapun BCA dilanda rush money saat krisis moneter tahun 1997.
Kata Yanuar, BLBI yang diberikan kepada BCA itu dalam bentuk obligasi rekap sebesar Rp60 Triliun. Kemudian, sebesar 93% saham BBCA diserahkan pemegang Grup Salim sebagai pembayaran kewajiban kepada pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Pada saat itu, Keluarga Salim sebagai pengendali BCA juga mengambil kredit ke bank itu sebesar Rp52,7 triliun. Pemerintah lantas menagih kredit itu ke Salim, tapi dengan skema Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), berupa uang tunai dan 108 perusahaan yang divaluasi oleh konsorsium Danareksa, Bahana, dan Lehman Brothers. Mereka mengeluarkan angka Rp51,9 triliun, sehingga utang Grup Salim ke BCA dianggap lunas.
Berbeda pandangan, Price Waterhouse Coopers (PwC) menilai aset 108 perusahaan Grup Salim tersebut hanya pada angka Rp20 triliun saja.
Lalu, pemerintah melalui BPPN menjual saham BCA, dengan skema strategic placement, yang mengacu ke aturan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) soal tender offer harga rata-rata bursa 45 hari sebelum pengajuan angka penawaran.
Dalam proses tender offer itu, Yanuar mengatakan Bapepam sempat meningkatkan proses pengaturan harga BCA ke proses hukum. Namun, kasus ini tidak dilanjutkan ke penegakan hukum.
“Jadi kontroversi BLBI-BCA, ada di nilai recovery rate di bawah utang pokok obligasi rekap yang disuntikan ke BCA, akibat rendahnya harga aset dari pemegang saham lama setelah dieksekusi,” kata Yanuar, Selasa (19/8/2025).
Selain itu, kontroversi terletak pada pemegang saham baru yang membeli saham BCA dengan harga murah dan tetap menikmati keuntungan karena bank itu sudah disuntik obligasi rekap oleh pemerintah.
“Jika investor baru membeli tanpa melakukan perbuatan melawan hukum, maka dia beli murah, ya sah,” kata Yanuar.
Tapi, ia melanjutkan, kalau ada bukti perbuatan melawan hukum, perkara ini harus dibawa ke ranah hukum. Begitu pula soal penyerahan aset dari pemegang saham BCA lama, harus ditindak secara hukum jika memang terbukti melakukan manipulasi dalam valuasi aset.
Sebab, Yanuar mengatakan beban obligasi rekap yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Oleh karena itu, ia menilai masalah ini tidak perlu diselesaikan melalui pengambilalihan saham. Yanuar mengatakan perkara ini harus diselesaikan melalui penegakan hukum yang pasti. Jika memang ditemukan adanya perbuatan melawan hukum, ia menekankan bahwa pemegang saham yang harus ditindak, bukan BCA.
“Kalau saya melihatnya tak perlu lah, isu ini ke arah ambil alih. Tapi dua peristiwa terkait aset pembayaran pemegang saham lama dan pengaturan harga itu yang dilakukan proses penegakan hukum yang kredibel. Dan objek pidana perdatanya ke pemegang sahamnya, bukan ke entitas usahanya,” terang Yanuar.
Tanggapan DPR
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI sekaligus Anggota DPR Komisi III, Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum mempelajari lebih lanjut mengenai perkara ini. Namun ia mengetahui bahwa BCA yang pada saat itu dimiliki Grup Salim masuk ke BPPN, dilelang, dan dimenangkan oleh Grup Djarum.
“Sehingga lelang tersebut yang dilakukan oleh BPPN, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, itu sudah dilakukan. Saya belum bisa berkomentar lebih jauh, karena hanya itu yang saya tahu,” ujar Dasco, Selasa (19/8/2025).
Menurutnya, sejauh ini Komisi III DPR belum memiliki rencana untuk mengusut perkara BLBI-BCA ini.
“Setahu saya, ini belum ada rencana Komisi III,” kata Dasco.
Senada, politisi Partai Gerinda yang juga Ketua Komisi III DPR RI membidangi urusan hukum, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan, Habiburokhman, mengatakan tidak ada jadwal pemanggilan terkait BCA.
“Kami baru saja selesai rapat internal menyusun jadwal untuk masa sidang ini. Tidak ada jadwal pemanggilan kepada KPK terkait kasus BCA tersebut,” kata Habiburokhman, Selasa (19/8/2025).
“Soal perbankan adalah soal sensitif, harus sangat hati-hati kita menyikapi. Jangan sampai pemberitaan yang tidak pas Membuat situasi yang tidak stabil.” (Muff)