Minggu, 24 Agustus 2025

GAK SELALU NEGATIF..! Peneliti Belanda Nilai Fenomena Buzzer Sudah Jadi Industri di RI

JAKARTA- Antropolog politik komparatif Universitas Amsterdam Ward Berenschot menyebut fenomena pendengung atau buzzer di dunia maya telah menjadi suatu industri di Indonesia.

“Kami sudah sekitar lima tahun melakukan penelitian tentang fenomena kejahatan siber di Indonesia,” kata Ward saat workshop  yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jumat (22/8).

Riset dilakukan dengan mewawancarai orang-orang dengan ‘profesi’ buzzer , memahami bagaimana cara kerjanya, serta dari mana uang yang digunakan untuk membiayai berasal.

“Temuannya memang [ buzzer ] menjadi industri karena justru banyak elite politik, elite bisnis yang menumpuk tentara siber tersebut untuk mempengaruhi opini publik di media sosial,” tambahnya.

Ia berharap agar hasil penelitian tersebut dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang fenomena buzzer . Menurutnya, pemerintah Indonesia juga harus membuat kebijakan untuk menghentikan fenomena tersebut.

“Pemilik suatu akun media sosial harus jujur ketika unggahannya dibayar, harus transparan,” katanya.

Sementara itu, Wakil Rektor (Warek) IV Undip Semarang Wijayanto mengatakan, alasan penelitian tersebut dilakukan di Indonesia adalah karena negara ini menjadi salah satu pengguna media sosial terbesar. Adanya praktik pemilihan langsung juga jadi alasan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, menurut dia, diperoleh kesimpulan tentang perlunya peningkatan literasi digital, etika politik, serta transparansi platform digital.

“Kita harus membantu memastikan ruang publik bebas dari kabar bohong dan tidak mudah dimanipulasi,” katanya.

Buzzer Tidak Selalu Negatif

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Dosen Sekolah Vokasi IPB University, Dr Hari Otang Sasmita, menyampaikan pandangannya mengenai fenomena buzzer di media sosial yang kerap menjadi perhatian dalam pembentukan opini publik.

“Buzzer tidak selalu identik dengan hal negatif, meskipun sering diasosiasikan dengan manipulasi opini publik,” ujar Dr Hari.

Menurutnya, ada sisi positif yang muncul ketika buzzer digunakan untuk mempercepat penyebaran informasi yang benar dan mendukung tujuan sosial. Contohnya dalam kampanye kesehatan, edukasi publik, dan mitigasi bencana.

Lebih lanjut ia menjelaskan, buzzer dapat berperan sebagai information amplifier, yakni mempercepat penyebaran pesan penting ke masyarakat luas yang sulit dijangkau dengan metode konvensional. Namun, efek sosialnya menjadi kompleks ketika buzzer memengaruhi pembentukan opini publik secara masif melalui media sosial.

“Buzzer bekerja dengan memanfaatkan network effects dan algoritma personalisasi dari platform media sosial. Mereka mengoordinasikan narasi tertentu dan memperbanyak eksposur agar opini tampak seolah didukung oleh mayoritas,” jelasnya.

Fenomena ini menciptakan bandwagon effect, yakni kecenderungan masyarakat mengikuti opini yang terlihat dominan di lini masa mereka.

⁠Namun, ia mengingatkan bahwa ketika buzzer digunakan secara manipulatif, dampaknya bisa destruktif.

“Jika dikelola secara tidak etis, buzzer dapat mempercepat polarisasi sosial, memperkeruh ruang publik, dan menyebarkan disinformasi,” tambahnya

Dr Hari juga membahas peran akun bot dan kecerdasan buatan (AI) dalam memperkuat pengaruh buzzer. Menurutnya, meningkatnya penggunaan akun otomatis dan semi-otomatis telah mengubah lanskap wacana publik. Akun-akun ini mampu menyebarkan pesan dalam volume besar dan digunakan secara strategis untuk membentuk opini publik, sehingga kualitas diskursus menurun.

“Ruang digital kita makin dipenuhi oleh noise ketimbang dialog yang substansial,” jelasnya.

Kondisi ini, sebutnya, memperbesar risiko terciptanya echo chambers, yakni ruang gema digital yang hanya menampilkan pandangan seragam.

Menghadapi tantangan tersebut, Dr Hari menekankan perlunya peningkatan literasi digital guna membangun kesadaran masyarakat. Ia mengutip gagasan filter failure dari Clay Shirky, bahwa permasalahan utama bukan terletak pada jumlah informasi, melainkan kegagalan dalam memfilter informasi penting dan akurat.

Strategi yang disarankan meliputi integrasi kurikulum literasi digital, perluasan program edukasi untuk populasi dewasa dan lansia, serta intervensi pemeriksaan fakta yang tidak menimbulkan skeptisisme ekstrem terhadap sumber informasi sah.

Selain itu, kampanye publik untuk mengenali berita palsu dan pelatihan keterampilan analisis visual juga diperlukan.

Dr Hari menjelaskan, “Semua strategi ini diarahkan untuk memperbaiki filter failure, membangun kembali mekanisme penyaringan informasi di tingkat individu dan komunitas.”

Kembali ia tegaskan, tanpa filter yang baik, masyarakat berisiko besar terjebak dalam banjir informasi palsu, memperburuk polarisasi, dan memperlemah kualitas diskursus publik yang sehat. (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru