Oleh: Yoga Aldo Novensi
KEMERDEKAAN yang kita rasakan hari ini adalah hasil dari keberanian para pendiri bangsa, yang berkorban demi sebuah mimpi besar, Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Namun delapan dekade berlalu, mimpi itu masih harus diperjuangkan.
Hari kemerdekaan ke 80 tahun ini bukan hanya soal perayaan atau seremoni, melainkan panggilan untuk menata ulang arah perjalanan kita sebagai bangsa. Kita butuh pendidikan yang humanis, ekonomi yang berkeadilan, dan politik yang benar-benar berpihak pada rakyat. Dengan itu, Indonesia akan berdiri tegak, berdaulat, dan mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain tanpa kehilangan jati dirinya.

Refleksi Hari Kemerdekaan
Di dalam semangat hari kemerdekaan ini, kita masih melihat dengan jelas, Bahwa banyak saudara-saudara kita generasi penerus bangsa yang putus sekolah karena tidak ada biaya, padahal 2030 Bonus demografi akan menghampiri bangsa yang besar ini, bukan tidak mungkin bukan bonus tapi kerugian demografi yang akan kita alami.
Bahkan Anak yang putus sekolah merupakan masalah serius di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2023, sekitar 29,21% anak Indonesia putus sekolah dari SD sampai SMA, Jumlah anak putus sekolah Mencapai 29,21% dari total 30,2 juta jiwa anak di tahun 2024.
Kemudian juga Data terbaru BPS memperlihatkan, angka pengangguran di Indonesia sebanyak 7,28 juta orang pada Februari 2025. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,76 persen.
Bukan tidak mungkin angka-angka ini akan semakin meningkat apabila bangsa kita tidak berbenah, bonus demografi kemudian indonesia emas 2045 Hanya menjadi tagline belaka.
Kita menyaksikan disintegrasi yang mengancam persatuan, pendidikan yang semakin dikomersialisasi, serta ketidakadilan sosial yang nyata di hadapan mata. Pertanyaannya: apakah kita masih merawat kepribadian bangsa, atau perlahan tenggelam dalam arus kepentingan pasar dan politik kelompok?
Realitas Jurang Ketimpangan Nasional
Indonesia tidak di dirikan atas fondasi modal atau kekuasaan dari segilintir orang saja, Indonesia lahir dari cita-cita luhur untuk memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Tapi di 80 tahun indonesia merdeka ini bukan keadilan justru ketimpangan terpampang jelas di depan mata antara si kaya dan si miskin, Ironis bila mana kita melihat sekarang hanya segilintir orang saja yang bisa menikmati kekayaan alam yang ada di bangsa ini.
Data tidak pernah berbohong, dan angka-angka yang tersaji melukiskan potret buram ketidakadilan. Laporan Credit Suisse pada 2023 menunjukkan betapa terpusatnya kekayaan di negeri ini: 10 persen orang terkaya menguasai 66,8 persen kekayaan nasional, sementara 1 persen terkaya bahkan menggenggam 37,4 persen. Di sisi lain spektrum, 20 persen penduduk termiskin—sekitar 55 juta jiwa—hanya berbagi remah sebesar 0,2 persen kekayaan nasional.
Padahal Dalam pidato soekarno 1 juni 1945 ia mengemukakan dengan lantang Pasal 33 UUD 1945, dalam sebuah prinsip “semua buat semua” ,Ia berjanji bahwa setiap jengkal tanah, setiap tetes air, dan setiap sumber daya alam di bumi pertiwi ini akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama, bukan untuk mengisi pundi-pundi pribadi atau kroni. Namun, 80 tahun kemudian, tapi janji itu terasa semakin jauh dari kenyataan.
Krisis Kepemimpinan
Belum lagi ditambah pemimpin-pemimpin pejabat yang korup, 1998 jelas bahwa menggulingkan soeharto berarti menumpas seluruh praktik, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang terjadi di bangsa ini, Tapi justru sekarang semua praktik itu kian merajalela,
Angka korupsi di Indonesia masih menjadi masalah serius bahkan setelah 80 tahun kemerdekaan. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), skor Indeks Integritas Nasional Indonesia berada pada angka 71,53 poin, menunjukkan bahwa situasi integritas di Indonesia masih rentan terhadap praktik korupsi.
Salah satu ciri kepribadian nasional adalah cinta rakyat dan pemimpin, Bagaimana kemudian ini bisa di terapkan apabila semua pemimpin di negeri berwatak culas dan korup, Lalu kemudian muncul sikap pesimistis dari anak-anak muda seperti tren #kaburajadulu, Negeri konoha, ada lagi istilah “negeri +62” ini adalah bentuk kritik anak-anak muda terhadap pemimpin nya, Kalau ini tidak di benahi bukan tidak mungkin bangsa ini akan mengalami krisis indentitas.
Derasnya arus globalisasi seringkali mengikis nilai-nilai kearifan lokal budaya kita, Maka kemudian refleksi untuk kita mengenali kembali kepribadian bangsa kita harus kita ilhami, agar kita tidak tercerabut dari akar sejarah yang menyatukan bangsa.
Menemukan Kembali Kepribadian Nasional
Tantangan besar memang ada, Namun, Indonesia bukanlah bangsa yang lemah. Kita memiliki modal besar, kekayaan sumber daya alam, energi budaya yang beragam, serta semangat persatuan yang telah terbukti mengalahkan penjajahan. Kepribadian Indonesia gotong royong, musyawarah, dan keberanian melawan ketidakadilan adalah fondasi untuk menghadapi zaman yang penuh tantangan.
Dengan menghidupkan kembali kepribadian bangsa, memperkuat pendidikan yang inklusif, serta membangun ekonomi yang berkeadilan, Indonesia dapat menata ulang arah kemerdekaan. Kedaulatan tidak boleh hanya menjadi jargon politik, melainkan hadir nyata dalam kehidupan rakyat sehari-hari, kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kedaulatan budaya, hingga kedaulatan digital harus benar benar kita implementasikan untuk menjadi bangsa yang maju.
80 tahun kemerdekaan harus menjadi momentum generasi muda untuk mengambil estafet perjuangan. Di tangan kita yang berani bermimpi dan berjuang, cita-cita Indonesia berdaulat, adil, dan makmur bukanlah utopia, melainkan keniscayaan.
Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan alat menuju cita-cita para leluhur bangsa. 80 tahun kemerdekaan adalah capaian besar, tetapi juga titik refleksi untuk menuju bangsa yang benar-benar adil, makmur dan bahagia sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945. Merdeka!
*Penulis Yoga Aldo Novensi Ketua LMND Sumatera Selatan