JAKARTA — Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Hidayat Arsani mengungkapkan pabrik pengolahan manufaktur ( smelter ) timah terbesar di Indonesia akan dibangun di wilayahnya.
Investasi itu akan dilakukan oleh investor asal China yang sejalan dengan Astacita Presiden Prabowo Subianto dalam meningkatkan hilirisasi komoditas ekspor Indonesia.
“Nilai investasi pembangunan smelter ini mencapai Rp1,5 triliun hingga Rp2 triliun dengan produk yang menghasilkan timah solder dan kawat timah,” ujar Hidayat Arsani di Pangkalpinang dikutip Bergelora.com di Jakarta, Senin (25/8).
Hidayat mengungkapkan pembangunan smelter akan dilakukan oleh PT Tong Fang yang dimiliki oleh Xiao Nai Cheng dan Wang Yu Long.
PT Tong Fang merupakan perusahaan besar dari Negeri Tirai Bambu yang bergerak di bidang hilirisasi timah.
“Jika proses pembangunan smelter ini berjalan sesuai timeline, maka direncanakan satu tahun ke depan pabrik pengolahan timah ini sudah mulai beroperasi,” ujarnya.
Hidayat bersama Bupati Bangka Tengah Algafry Rahman telah membahas rencana investasi itu dengan invetor pada pertemuan Jumat (22/8) sore.
Wilayah Bangka Tengah menjadi calon lokasi industri hilirisasi timah tersebut. Kapasitasnya direncanakan mencapai 300 ton per bulan.
“Investasi ini tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga potensi membuka lapangan kerja baru, karena 70 persen pekerjanya akan mengandalkan SDM lokal,” ujarnya.
Dalam mengoptimalkan pengoperasian smelter ini, Pemprov Kepulauan Babel akan bekerja sama dengan PT Timah Tbk sebagai pemasok bahan utama baku pencetakan timah smelter ini.
Dalam kesempatan yang sama, Xiao berharap investasi oleh PT Tong Fang dapat berhasil dan bisa menyerap banyak tenaga kerja dengan dukungan besar yang ditunjukkan Gubernur Kepulauan Babel.
“PT Tong Fang bergelut di bidang hilirisasi sejak tahun 1971 dan sudah melakukan ekspansi di berbagai negara, seperti Thailand, Vietnam, Singapura, Turki dan Meksiko itu, sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah ini,” ujar Xiao melalui penerjemahnya.
Baru 3 Perusahaan Kembangkan HilirisasiÂ
Kepasa Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, iegiatan hilirisasi khususnya timah di Indonesia masih berjalan lamban. Hal itu dibuktikan dengan minimnya perusahaan yang membangun smelter timah menjadi produk tin powder, tin chemical.
Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Harwendro Adityo mengungkapkan bahwa perusahaan yang sudah mengoperasikan hilirisasi timah adalah PT Timah Tbk (TINS) melalui anak usahanya yakni PT Timah Industri.
PT Timah Industri melakukan produksi tin solder dengan kapasitas 2.000 ton per tahun, Tin Chemical dengan kapasitas 21.000 ton per tahun, dan Tin Powder dengan kapasitas 100 ton per tahun.
“Hanya beberapa saja yang sudah membentuk hilirisasi, sehingga mengenai aplikasi logam timah pada industri turunannya masih sangat kecil,” kata Harwendro saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI, Jakarta, dikutip Selasa (20/5/2025).
Di samping itu, terdapat 2 perusahaan yang saat ini masih dalam proses pembangunan pabrik hilirisasi timah menjadi tin solder dengan target produksi 4.000 ton per tahun.
Ada pula, PT Cipta Persada Mulia melalui anak usahanya PT Tri Charislink Indonesia yang akan memproduksi jenis tin solder hingga 40.000 ton per tahun, dan PT Batam Timah Sinergi yang akan memproduksi tin chemical 16.000 ton per tahun.
Kemudian, terdapat pabrik hilirisasi timah yakni PT Solderindo dengan produk tin solder sebesar 48.000 ton per tahun, dan PT Latinusa dengan produk tin plate sebesar 160.000 ton per tahun.
Hilirisasi Timah Mandek
Harwendro mengungkapkan, alasan dibalik sulit terlaksananya hilirisasi timah di Indonesia. Pertama karena belum terbentuknya ekosistem industri hilir timah yang optimal.
“Hanya beberapa saja yang sudah membentuk hilirisasi, sehingga mengenai aplikasi logam timah pada industri turunannya masih sangat kecil,” jelasnya.
Kedua, lanjut Harwendro adalah lantaran adanya pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap bahan baku logam timah untuk memproduksi timah solder yang akhirnya menyebabkan produksi timah solder dalam negeri kalah saing.
Ketiga, impor tin solder saat ini masih tidak dikenakan bea masuk dan menyebabkan produk tin solder dalam negeri kurang kompetitif.
“Padahal peminatnya cukup banyak dan industri-nya cukup banyak di Indonesia. Ini juga berpengaruh karena mereka bebas masuk ke Indonesia tanpa adanya pajak dan lain-lain,” tambahnya.
Keempat, terang Harwendro, adalah lantaran pasar produk tin solder bervariasi mulai dari spesifikasi bentuk maupun komposisi yang menyesuaikan permintaan pembeli.
Sayangnya, regulasi ekspor tin solder dalam negeri hanya untuk spesifikasi tertentu, melalui Permendag No. 44/2014 yang mengatur standarisasi ukuran dan dimensi timah untuk ekspor.
“Kemudian pasar solder bervariasi dari segala bentuk itu juga mempengaruhi komposisi dari mesin-mesin yang dimiliki oleh pabrik-pabrik solder,” imbuh Harwendro.
Kelima, karena tidak ada keistimewaan kepada pelaku hilirisasi timah dalam hal kebijakan dan pemberian insentif fiskal, finansial, hingga infrastruktur kawasan khusus.
“Karena ini kita diminta untuk berjalan sendiri, mencari dana sendiri, kemudian mencari buyer sendiri tanpa didukung oleh kebijakan dari pemerintah,” tandasnya. (Enrico N. Abdielli)