JAKARTA – Negara-negara anggota BRICS semakin gencar mengembangkan mata uang bersama berbasis emas yang digadang menjadi alternatif sistem keuangan global berbasis dolar Amerika Serikat (AS).
Proyek ambisius ini kini memasuki tahap percepatan, dengan target peluncuran diproyeksikan paling cepat pada 2026. Upaya ini lahir dari keinginan kolektif anggota BRICS untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional.
Meskipun nama resmi mata uang tersebut belum ditentukan, proyek ini memanfaatkan cadangan emas besar yang dimiliki negara-negara anggota untuk menciptakan instrumen pembayaran yang lebih stabil dan terukur.
Meski banyak spekulasi bahwa mata uang ini akan menggantikan dolar AS, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menegaskan BRICS tidak berupaya menyingkirkan mata uang AS.
“Alternatif yang sedang dibangun adalah sistem penyelesaian transaksi menggunakan mata uang nasional masing-masing anggota,” ujarnya, dikutip Bergelora.com dari Watcher Guru, Senin (1/9).
Kerangka multi-mata uang ini memungkinkan setiap negara anggota tetap mempertahankan kedaulatan moneter, namun nilainya akan diukur berdasarkan cadangan emas yang dimiliki. Skema ini diharapkan mengoptimalkan nilai tukar dan menciptakan ekosistem perdagangan yang lebih berimbang. Proyek ini tidak hanya menyasar penciptaan mata uang tunggal, tetapi juga membangun infrastruktur keuangan modern.
Bank Pembangunan Baru BRICS, misalnya sedang merancang sistem pembayaran lintas batas bernilai miliaran dolar untuk mendukung transaksi antaranggota.
Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov menyebut, pusat pembayaran lintas batas sedang diformalkan untuk memperlancar mekanisme perdagangan ini.
Di sisi lain, sistem Pembayaran Antarbank Lintas Batas (CIPS) milik China kini menghubungkan hampir 5.000 lembaga perbankan global.
Penggunaan teknologi blockchain yang memungkinkan waktu penyelesaian hanya tujuh detik juga mempercepat kesiapan peluncuran mata uang BRICS.
Langkah strategis lainnya adalah pembelian emas langsung oleh bank sentral negara anggota dari penambang domestik.
Data World Gold Council mencatat 19 dari 36 bank sentral telah mengadopsi model ini. Praktik ini mengurangi ketergantungan pada bursa komoditas Barat dan memperkuat kendali atas cadangan emas fisik.
Pusat perdagangan emas juga telah dibangun di lokasi strategis, seperti Shanghai dan Singapura.
Di Shanghai, Bursa Berjangka meluncurkan perdagangan emas fisik dengan penyelesaian instan (T+0) sejak 1 Maret 2024, menggeser mekanisme perdagangan berbasis kertas yang dominan di Barat.
Dorongan permintaan fisik emas yang tinggi dari anggota BRICS mulai mempengaruhi harga global.
Premi pertukaran fisik untuk perak, misalnya, sempat menyentuh 92 sen per ons, sedangkan suku bunga sewa jangka pendek emas melonjak ke 9,4 persen.
Analis memperkirakan harga emas bisa mencapai USD8.000 per ons jika tren ini berlanjut.
Pengembangan mata uang BRICS juga mengadopsi teknologi kontrak pintar (smart contract). Mekanisme ini memungkinkan penyesuaian nilai mata uang secara otomatis berdasarkan data perdagangan dan kondisi ekonomi terkini.
Aset fisik emas akan disimpan di brankas aman di negara-negara anggota untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas. Pendekatan digital ini dipandang sebagai transformasi signifikan terhadap sistem keuangan konvensional.
Proses audit rutin dan sistem penyimpanan terdistribusi akan mencegah kegagalan sistem sekaligus memastikan kepercayaan publik terhadap mata uang baru ini.
Dengan infrastruktur yang kian matang, pengembangan mata uang BRICS berbasis emas diyakini dapat mengurangi dominasi dolar AS dalam perdagangan internasional.
Jika sesuai rencana, mata uang ini akan resmi beredar pada 2026.
Apabila peluncuran sesuai jadwal, mata uang BRICS akan menjadi tonggak sejarah baru, membuka babak baru perdagangan internasional yang lebih beragam dan tidak lagi terpusat pada satu mata uang dominan. (Calvin G. Eben-Haezer)