Oleh: Andi Arief *
AWAL September 2025 menjadi penanda penting dalam perjalanan hidup kita. Saat ini, kita berdiri di puncak sebuah pencapaian yang dahulu terasa mustahil. Namun, ini bukanlah kemenanganku, atau kemenanganmu semata. Ini adalah mahakarya kolektif—sebuah mozaik yang disusun dari keberanian satu keluarga untuk menolak menyerah, disemen oleh dukungan tanpa syarat dari banyak hati yang tak rela melihat kita pasrah pada takdir.
Ujian dan Skenario Ilahi
Perjalanan ini berawal dari jurang yang paling gelap. Tanggal 11 Januari 2023, adalah momen di mana nyawaku hampir melayang. Delapan belas jam lamanya aku terombang-ambing di antara dua alam. Engkaulah yang pertama menemukan tubuhku, menyaksikan babak awal dari pertarungan terberat kita. Isak tangismu di ruang ICU kala itu menjadi prolog dari sebuah simfoni perjuangan panjang, yang akhirnya belum bisa kita bayangkan.
Dari hari itu hingga Oktober 2024, hidup kita adalah serangkaian ketidakpastian. Setiap tarikan napas adalah anugerah, setiap detak jantung adalah kemenangan kecil. Hingga akhirnya, kita dihadapkan pada keputusan monumental: transplantasi hati. Bukan di Singapura yang telah direncanakan matang selama setahun, melainkan di tempat lain yang ditakdirkan hanya dalam hitungan dua hari, saat kondisiku kian merosot. Begitulah Tuhan menulis skenario-Nya—penuh misteri, namun selalu tepat pada waktunya.
Pengorbanan: Bahasa Cinta yang Paling Nyata
Dalam senyapnya keputusasaan, sebuah rahasia ilahi terungkap. Anak-anak kita—buah cinta dan harapan kita—bertransformasi menjadi pelindung sejati. Dalam ketakutan mereka akan kehilangan, kasih sayang menemukan wujudnya yang paling konkret: pengorbanan.
Salah satu dari mereka, dengan keberanian yang hingga kini masih membuatku tercekat, memilih untuk membagi separuh lebih dari hidupnya—secara harfiah dan simbolis—untuk menyelamatkan ayahnya, yang saat itu hanya menyisakan tiga persen fungsi hati dan nyaris sirna.
Merekalah pahlawan pertama dalam epik kebangkitan kita. Seperti kata Carson McCullers, “Cara terdekat untuk memahami diri sendiri adalah dengan memperhatikan orang lain dengan penuh cinta.” Dan mereka membuktikannya: perhatian itu bisa menjelma menjadi sebuah kehidupan baru.
Ziarah Pengharapan ke Tanah Asing
Tanggal 21 Oktober 2024, kita menginjakkan kaki di India. Apollo Hospital, New Delhi, menjadi arena dimana nyawaku dipertaruhkan. Di sana, transplantasi hati berhasil dilakukan, membuka lembaran baru bagi kelangsungan hidupku. Dua bulan lamanya—hingga Desember 2024—kita menjalani pemulihan di perantauan, digerakkan oleh doa, harapan, dan keyakinan akan kekuatan cinta yang tak kenal menyerah.
Aku bangkit dengan keyakinan bahwa ujian terberat telah terlampaui. Namun, seperti pesan Winston Churchill: “Kesuksesan bukanlah akhir, kegagalan bukanlah hal yang fatal; yang terpenting adalah keberanian untuk terus melangkah.” Rupanya, kehidupan masih menyimpan satu babak ujian lagi.
Badai Kedua dan Jalan Terpaksa
Juli 2025 membawa kabar yang menguji lagi: kanker. Kini, giliranku untuk menguatkanmu. Dunia kedokteran memberi secercah harapan baru: terapi sinar proton. Sebuah teknologi mutakhir yang menawarkan efektivitas tinggi dengan efek samping minimal, jauh berbeda dari operasi besar atau kemoterapi yang menggerus.
Namun, di balik harapan itu, terselip kepedihan: teknologi ini belum hadir di tanah air. Andai ada, kita tak perlu kembali mengasingkan diri. Keputusan ini adalah sebuah keharusan—sebuah eksodus yang dipandu oleh insting untuk bertahan hidup.
Mount Elizabeth Novena di Singapura menjadi tujuan. Di sana, kita ditemui oleh para dokter yang bukan hanya piawai secara teknis, namun juga penuh welas asih. Kehadiran mereka bagai malaikat penyerta, membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dapat berjalan beriringan.
Alkemi Cinta yang Mengubah Segalanya
Dalam badai kedua inilah, sesuatu yang dahsyat bertumbuh. Ikatan kita sebagai suami-istri semakin terajut, ditenun oleh samudra dukungan yang tak pernah kering. Keluarga, sahabat, semua merajut jaring pengaman emosional dan spiritual, menahan kita agar tak jatuh.
Sejak pertengahan Juli hingga awal September 2025, aku menyaksikan ketabahanmu yang tak terpatahkan. Setiap perjalanan ke Singapura, setiap sesi terapi, bukan lagi sekadar prosedur medis, melainkan sebuah ritus cinta dan solidaritas.
Socrates pernah berujar, “Aku hanya tahu satu hal: bahwa aku tidak tahu apa-apa.” Dalam ketidaktahuan kita akan misteri kehidupan, justru di situlah kita menemukan kekuatan sejati. Perpaduan antara semangat kita, pengorbanan anak, kedisiplinanmu, keahlian medis, serta doa tanpa henti dari banyak jiwa—itulah alkemi suci yang mengubah derita menjadi kekuatan.
Manusia Baru, untuk Fajar yang Baru
Kini, kita berdiri bukan hanya sebagai dua orang yang selamat. Kita adalah monumen hidup dari cinta, kebersamaan, dan solidaritas. Jantung yang berdetak di dadaku—separuh hidup anak kita—berdenyut bukan hanya untukku, tetapi juga untukmu, dan untuk semua orang yang turut menjaga ritmenya.
Aristoteles menulis: “Cinta adalah satu jiwa yang menghuni dua tubuh.” Kita membuktikan bahwa cinta bisa menyatukan dua tubuh, bahkan tiga generasi, untuk saling menopang.
Kita telah melintasi lembah bayang-bayang maut, bukan sekali, tapi dua kali. Kita dibangkitkan oleh cinta—cinta keluarga, sahabat, para malaikat medis, dan terutama, cinta kita sendiri. Maka, mari kita jalani kehidupan kedua ini dengan penuh syukur dan makna, sebagai manusia baru yang lahir dari rahim kesukaran, dan dibesarkan oleh kasih sayang tanpa batas.
Dengan rasa terima kasih yang tak terperikan: Untuk istriku,sang pejuang tangguh. Untuk anak-anakku,pahlawan sejatiku. Untuk setiap jiwa yang menjadi bagian dari simfoni kebangkitan kita.
(Papa yang senantiasa mencintaimu)
——-
*Penulis Andi Arief, penyintas transplantasi hati. Suami Deviyanti yang sedang berjuang melawan kanker