JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah menyepakati perubahan strategi pertumbuhan ekonomi nasional untuk jangka menengah. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan, arah kebijakan yang semula berbasis pada utang, diubah menjadi berbasis pada pendapatan negara.
Itu artinya, ke depan pemerintah tidak lagi mengandalkan utang untuk mengerek pertumbuhan ekonomi, melainkan melalui optimalisasi pendapatan negara.
"Badan Anggaran DPR bersama pemerintah juga telah menyepakati skema penting jangka menengah, kami menyepakati pengubahan strategi pertumbuhan ekonomi berbasis utang menjadi strategi ekonomi berbasis pendapatan dalam jangka menengah," ujar Said saat Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, dikutip bergelora.com/ di Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Sebagai tindak lanjut, pemerintah diminta menyusun peta jalan (road map) pengelolaan utang agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke depan semakin sehat.
"Pemerintah harus merumuskan peta jalan pengelolaan utang untuk menuju keseimbangan anggaran pada APBN kita ke depan," kata Said.
Terkait hal itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan, pengelolaan APBN harus dilakukan secara bijak dan kontrasiklikal sesuai dengan kondisi ekonomi, termasuk juga untuk pengelolaan utang. Misalnya, ketika ekonomi tengah tumbuh kencang maka penarikan utang direm. Sedangkan ketika ekonomi tengah lesu maka pemerintah boleh menambah utang untuk menstimulus ekonomi.
"Jadi, batas-batas utang itu harusnya enggak kaku, tapi tergantung pada kondisi ekonomi," ujarnya saat konferensi pers setelah Rapat Paripurna.
Kendati demikian, Purbaya menilai, prospek pertumbuhan ekonomi ke depan cukup positif sehingga kebutuhan penambahan utang tidak akan besar.
Pemerintah menargetkan pendapatan negara meningkat seiring percepatan pertumbuhan ekonomi, sehingga defisit anggaran dapat ditekan tanpa membebani pembiayaan melalui utang.
"Kalau saya enggak salah hitung, setiap tumbuh tambahan 1 persen ekonomi, saya dapat tambahan income sekitar Rp 220 triliun atau lebih. Jadi itu yang kita kejar. Kalau tambah 0,5 persen, income saya tambah Rp 110 triliun. Jadi itu yang kita kejar nanti," tuturnya.
Pasar Tunggu Kepastian Fiskal di Era Kebijakan Pro-Growth
Kepada Bergelora.com.di Jakarta dilaporkan, pelaku pasar masih menahan langkah dan mencermati arah kebijakan fiskal pemerintah setelah Presiden Prabowo Subianto mengganti Menteri Keuangan. Sri Mulyani Indrawati digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, dan langkah ini dinilai akan memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi maupun pergerakan pasar modal.
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto mengatakan, sejak 2016 Sri Mulyani dikenal menekankan disiplin fiskal dan transparansi anggaran.
“Dengan pergantian ini, mandat Presiden kepada Menteri Keuangan baru adalah mempercepat pencapaian pertumbuhan ekonomi delapan persen,” ujar Rully dalam Media Day: September 2025 bertema “New Economic Policy: Impact on Growth and Capital Market”, Selasa (23/9/2025).
Rully menambahkan, kebijakan fiskal ke depan diperkirakan lebih ekspansif, dengan peran pemerintah dan swasta yang lebih besar untuk mendorong pertumbuhan.
Tiga sorotan pasar di bawah Purbaya antara lain pergeseran dari disiplin fiskal menuju kebijakan pro-growth dengan target pertumbuhan delapan persen, peningkatan belanja pemerintah dan dukungan terhadap program prioritas, termasuk penyaluran dana kredit Rp 200 triliun ke bank-bank BUMN, serta optimalisasi peran sektor swasta dan pemerintah dalam investasi dan konsumsi.
Meski latar belakang Purbaya sebagai ekonom dan mantan pejabat BUMN dinilai memberi keyakinan atas kapasitasnya, Rully menyebut pelaku pasar masih menunggu kejelasan komitmen disiplin fiskal, transparansi anggaran, dan sumber pembiayaan program prioritas pemerintah.
“Pasar masih menantikan kepastian apakah kebijakan ekspansif ini akan tetap menjaga keberlanjutan fiskal.
Ketidakpastian tersebut menjadi salah satu faktor yang menahan pergerakan indeks saham dan meningkatkan volatilitas pasar obligasi,” jelas Rully.
Momentum Buy on Weakness
Ia menambahkan, pelemahan pasar saham berpotensi berlanjut dalam jangka pendek. Namun, kondisi ini justru bisa menjadi momentum bagi investor untuk membeli saham saat koreksi (buy on weakness).
Sektor perbankan, terutama bank-bank BUMN, diprediksi memiliki kinerja lebih baik berkat penyaluran dana Rp 200 triliun, asalkan tidak memicu lonjakan kredit bermasalah.
Selain saham emiten perbankan, Rully juga merekomendasikan saham TLKM, TOWR, MTEL, JPFA, KLBF, dan BRPT sebagai pilihan menarik selama periode konsolidasi.
Sebagai informasi, acara Media Day Mirae Asset Sekuritas Indonesia ini digelar secara daring sebagai agenda rutin bulanan untuk menyampaikan pembaruan prospek pasar, kebijakan ekonomi, dan peluang investasi bagi investor ritel maupun institusi. Mirae Asset Sekuritas Indonesia merupakan bagian dari Mirae Asset Financial Group dengan dana kelolaan sekitar 550 miliar dollar AS (setara Rp 9.075 triliun) pada akhir tahun lalu. Perusahaan efek ini termasuk anggota bursa teraktif di pasar saham Indonesia dalam empat tahun terakhir dan memiliki nilai modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) sekitar Rp 1,23 triliun, jauh di atas ketentuan minimal Rp 25 miliar. (Muff)