Rabu, 1 Oktober 2025

JANGAN SAMPAI NIH..! Rapat RUU KUHAP, Komnas HAM: Restorative Justice Tak Boleh Digunakan untuk Pelanggaran HAM Berat 

JAKARTA – Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menekankan bahwa keadilan restoratif (restorative justice) tidak boleh digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Hal ini disampaikan Anis dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR terkait revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Restorative justice tidak boleh digunakan untuk kasus pelanggaran HAM berat, karena ini akan berisiko melahirkan adanya impunitas,” kata Anis dalam RDPU Komisi III DPR RI dikutip Bergelora.com di Jakarta, Kamis (25/9).

Oleh karena itu, Komnas HAM meminta revisi KUHAP mengatur teknis soal restorative justice.

Sebab, menurut Anis, dalam draf RUU KUHAP saat ini masih ada potensi penyalahgunaan restorative justice untuk kasus transaksional.

Adapun dalam draf RUU KUHAP mengatur sederet tindak pidana yang dikecualikan dari keadilan restoratif, yakni extraordinary crime termasuk terorisme, korupsi, dan narkotika; kejahatan berat pidana di atas 5 tahun; serta tindak pidana kekerasan seksual dengan pertimbangan kerugian dan dampak yang signifikan terhadap korban.

“Untuk itu, aturan teknis penggunaan restorative justice perlu dibuat aturan pemerintah untuk detail pelaksanaan restoratif justice terkait dengan pelanggaran HAM berat,” kata Anis.

Terkait RUU KUHAP, Anis mengusulkan perlunya diatur soal sanksi tegas terhadap kejadian kebocoran data pribadi agar sejalan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik).

“Juga ada potensi bagaimana penggunaan data pribadi lebih sering bocor, maka perlu diatur sanksi tegas terkait dengan kebocoran data pribadi,” ucap dia.

Selain itu, Komnas HAM juga menyorot pengaturan perkara koneksitas yang melibatkan anggota TNI dan sipil. Dalam kasus koneksitas, RUU KUHAP dinilai perlu mengatur yurisdiksi peradilan umum atau peradilan militer berdasarkan titik berat kerugiannya.

Menurut Anis, ada tantangan dari perspektif HAM terkait perkara koneksitas, yakni potensi impunitas dan transparansi serta koordinasi oditur militer secara teknis yang bertanggung jawab kepada Jaksa Agung, tetapi secara struktural kepada Panglima TNI.

“Sehingga ini memunculkan adanya potensi konflik kepentingan,” imbuh Anis.

Maka itu, ia mendorong RUU KUHAP secara tegas mencantumkan teknis soal perkara koneksitas ini.

“Untuk itu, kami mendorong agar RUU KUHAP harus mencantumkan ketegasan terkait dengan makna dari titik berat kerugian untuk menentukan suatu perkara apakah akan diadili oleh peradilan umum atau peradilan militer,” ujar Anis. (Muff)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru