JAKARTA – Komisi VI DPR RI mempertanyakan izin impor yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) atas produk gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP) yang kerap digunakan konsumen rumah tangga. Adapun kuota impor itu diberikan sebesar 200 ribu ton untuk tahun 2025. Inilah jaringan kaki tangan mafia gula rafinasi dalam pemerintahan.
Mulanya, Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, meminta rincian dari kuota impor gula pemerintah sebesar 4,2 juta untuk tahun 2025. Hal ini menyusul adanya kasus kebocoran distribusi gula rafinasi ke pasar konsumsi.
“Terjadi kebocoran yang diimpor tadi, makanya saya minta rincian 4,2 juta ton itu, berapa gula rafinasi, gula konsumsi, dan raw sugar yang tadi dijelaskan sehingga jelas, dan kemudian total stok itu sekitar 427.890 ton. Terindikasi kuat bahwa adanya permainan neraca komoditas yang kemudian menjadi alasan kenapa kita harus impor. Karena gulanya ada di dalam negeri tapi masih impor,” kata Rieke, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kemendag di Senayan, dikutip Bergelora.com di Jakarta, Jumat (3/10/2025).
Merespons hal ini, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag, Moga Simatupang, merincikan kuota impor tersebut antara lain, pertama, gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal rafinasi sebesar 3,44 ribu ton.
“Kemudian gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih, selanjutnya 200 ribu. Kemudian gula kristal mentah selain untuk menjadi gula kristal rafinasi, itu nilainya 55.350 ton,” lanjut Moga.
Mendengar jawaban tersebut, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Gerindra Andre Rosiade mengklarifikasi kembali tentang adanya impor gula mentah untuk gula kristal putih yang biasa dipergunakan untuk kebutuhan konsumen rumah tangga.
“Untuk apa Pak? Ada di sini impor itu? Bapak keluarin? Coba Daglu (Dirjen Perdagangan Luar Negeri). Ada bapak terbitkan impor untuk gula kristal putih?” tanya Andre.
Lebih lanjut Plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Tommy Andana pun menjelaskan, hal ini sesuai dengan perhitungan dalam Rapat koordinasi (Rakor) tingkat menko, di mana impor gula telah ditetapkan dalam 6 pos.
“Gula yang diimpor sudah ditetapkan tadi ada 6 pos, ada gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi GKR, kemudian GKM untuk diolah menjadi GKP. (Untuk gula kristal mentah menjadi GKP) 200 ribu ton pak,” ujar Tommy.
Andre mempertanyakan kondisi tersebut. Sebab, menurutnya salah satu isu beberapa waktu belakangan ialah adanya masalah penyerapan produk GKP petani lantaran kebocoran produk gula rafinasi di pasar konsumen.
“Aneh ini, padahal sekarang, pemerintah, Presiden menginstruksikan Danantara melalui ID Food suruh nyerap nih, berapa ratus ribu ton, sampai (setara nilai) Rp 1,7 triliun. Dasarnya apa tuh pengambil keputusan hasil neraca-neracanya?Kan aneh, lucu ya? Ini pake logika ya Pak, mohon maaf ya,” ujar Andre.
“Di satu sisi, ya, tiba-tiba menerbitkan izin gula impor untuk konsumsi ini, GKP kan, tapi di satu sisi, punya rakyat nggak diserap. Kan gara-gara impor itu, rakyat nggak laku nih. Akhirnya, pemerintah turun tangan menyerap. Pak Prabowo ingin menyelamatkan petani, betul kan? Aneh juga kebijakan menterinya,” sambungnya.
Sebagai informasi, persoalan impor gula mentah 200 ribu ton ini juga sempat ramai dibahas pada awal tahun 2025. Sebab, sebelumnya pemerintah justru menggaungkan setop impor beberapa komoditas pangan, termasuk gula untuk mencapai target swasembada pangan.
Akhirnya pada bulan September kemarin, pemerintah memutuskan untuk melakukan penyetopan sementara 200 ribu ton gula kristal mentah (GKM) atau raw sugar. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso.
Dalam neraca komoditas (NK) 2025 kuota impor bahan baku gula rafinasi itu ditetapkan sebanyak 4,39 juta ton. Sebanyak 4,19 juta ton telah mendapatkan izin impor untuk masuk ke Indonesia.
Sisanya sekitar 200 ribu ton gula kristal mentah yang belum digunakan pengusaha untuk mendapatkan izin impor. Jumlah tersebut itulah yang ditahan sementara oleh pemerintah.
“Iya raw sugar untuk industri. Jadi kan 4,3 juta ton penatapan NK (neraca komoditas). Terus yang masuk, yang sudah mengajukan izin 4,198 juta ton. Berarti kan masih ada 200 ribu ton, itu belum ada yang mengajukan, itu kita tahan dulu. Berarti yang di-hold itu yang belum mengajukan,” kata dia ditemui di Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Jumat (12/9/2025).
Keputusan ini merupakan hasil rapat koordinasi terbatas tingkat menteri di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Kamis (11/9) kemarin. Budi mengatakan penyetopan sementara impor 200 ribu ton gula kristal mentah dilakukan sebagai langkah evaluasi tata kelola perniagaan gula.
Saat ditanya apakah langkah tersebut ada kaitannya dengan gula rafinasi yang bocor ke pasar, Budi hanya menyebut hal tersebut ditangani oleh Satuan Tugas (Satgas) Pangan.
11 Perusahaan Rafinasi
Anggota Komisi VI DPR RI fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Nasril Bahar menyoroti para produsen gula yang tak hanya memiliki satu perusahaan. Hal ini kata dia membuat para produsen gula bisa meraup keuntungan dari total izin impor yang dimiliki.
Dari 11 direksi perusahaan pemegang izin impor gula rafinasi saat rapat bersama Komisi VI, didapati rata-rata pemilik memiliki hingga dua perusahaan.
“Dari 11 perusahaan rafinasi ini adalah perusahaan raja-raja. Dalam persepsi saya, produksi rafinasi itu sama dengan produksi sabu-sabu. Keuntungannya yang dimaksudkan,” kata Nasril saat Raker bersama Kementerian Perdagangan dan perusahaan pemegang izin impor gula rafinasi, Rabu (1/10/2025).
“Terafiliasi tiga perusahaan satu onwer [pemilik], dua perusahaan satu owner, artinya seluruh yabg hadir di sini adalah bersifat apakah dikatakan monopoli?” tambahnya.
Nasrul menekankan, 11 direksi perusahaan tersebut menjadi penikmat produksi impor yang dijual ke pasar domestik Indonesia. Bahkan, kata dia, gula rafinasi itu disebarkan ke pasaran yang menyalahi peruntukkannya untuk makanan dan minuman.
“Punya logika berpikir nggak kita di sini? Satu sisi petani menjerit, karena rafinasi mesinnya bagus. Anda melawan mesin tahun 60-an, ya menang lah,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa seluruh produsen gula rafinasi itu harus bertanggung jawab terhadap penyebaran gula rafinasi di pasaran.
Sebelumnya, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengungkap kembali adanya praktik kebocoran gula rafinasi ke pasar tradisional. Sekretaris Jenderal APTRI, M. Nur Khabsyin, menegaskan praktik tersebut melanggar hukum dan harus segera ditindak aparat.
“Ya kita minta ditindak tegas lah itu. Karena itu kan melanggar hukum ya. Jadi itu kita serahkan ke aparat ya, Satgas Pangan untuk menindak kebocoran gula rafinasi di pasar itu,” kata Khabsyin saat ditemui di sela Seminar Ekosistem Gula Nasional, Rabu (27/8/2025).
Menurutnya, kebocoran gula rafinasi di pasar bisa terjadi di banyak titik. Pintu kebocoran itu bisa dari produsen, distributor, hingga melalui koperasi.
“Itu banyak pintu. Jadi kebocorannya banyak pintu. Bisa dari produsennya, bisa dari distributornya, atau dari koperasi pemasarannya. Itu yang pintu kebocoran,” ungkapnya.
Dia menilai jalur distribusi gula tersebut melalui koperasi menjadi celah yang paling rawan. Pasalanya, saat ini tidak ada batasan kuota bagi koperasi untuk memasarkan gula rafinasi, sehingga peredarannya sulit dikendalikan.
“Nggak ada batasan. Koperasi berapapun dia bisa memasarkan dan itu yang banyak kebocorannya di situ,” imbuhnya.
APTRI mengusulkan agar penyaluran gula rafinasi diperketat khususnya yang melalui koperasi.
“Kami mengusulkan dibatasi 20%. Sisanya itu dari perusahaan rafinasi langsung kepada industri mamin [makanan dan minuman]. Jadi perusahaan ke perusahaan. Jangan lewat distributor, itu yang menjadikan bocor nanti,” terang Khabsyin.
Dia membeberkan kebocoran gula rafinasi diperkirakan mencapai 500 ribu ton setiap tahun. Padahal, kebutuhan nasional hanya sekitar 2,7 juta ton, sementara impor mencapai 3,4 juta ton. (Web Warouw)